Muhammadiyah – BIANG KEKACAUAN


.
TheSalt Asin – merubah judul Naskah ini menjadi
.

Muhammadiyah bermain Dengan Aqidah

Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi.

Sama-sama ahli Hadits dan sama-sama ahli fikih.

Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.

Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto.

Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang.

Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia.

Allahummaghfir lahum.

Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri

ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama.

Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah

dan

kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

.

.

Saat beliau berdua masih hidup,

tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.

.

Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain :

Pertama,

Shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat.

Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya.

Kedua,

Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?).

Ketiga,

Baca doa qunut Shubuh.

Keempat,

Sama-sama gemar membaca shalawat (diba’an).

Kelima,

Dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha.

Keenam,

Tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran.

Ketujuh,

Kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali,

Kedelapan

Dan yang paling monumental adalah

itsbat hilal

sama-sama pakai rukyah.

Yang terakhir

Kesembilan inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.

Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat.

Semuanya tertulis dalam kitab Fiqih Muhammadiyah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh :

Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta,tahun 1343 an H.

Namun

Ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya ” harus beda ” dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya.

Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin.

Perkara dalil, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.

Disinyalir,

tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah.

Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.

Setelah uji takhrij berstandar mutawassith,

kesimpulannya adalah :

Bahwa mayoritas Hadits-Hadits yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah:

dha’if.

Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in.

Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadits dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha’il al-a’mal.

Tahun 1995 an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan.

Contoh,

ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir,

…………………..lalu bagaimana praktiknya………………….

Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3.

Empat rakaat satu salam,

empat rakaat satu salam.

Ini untuk tarawih.

Dan tiga rakaat untuk witir.

Model witir tiga sekaligus ini versi madzahab Hanafi.

Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir.

ini versi al-Syafi’ie.

.

Bab

Aqidah dipermak total

@

Kira kira Tahun 1987 anPraktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua.

Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya.

Beliau tampilkan hadits dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu.

Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk.

Akibatnya,

tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat.

Inilah fakta sejarah.

…………………………………………………………………………

.

Kini soal itsbat hilal pakai rukyah.

Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi  dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat.

tarik nafas dari mulut …… keluarkan dari hidung

Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi.

Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan pak Harto.

Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen Agama,

maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi,

Yang diterima hanya tiga derajat ke atas

dan

Menolak keras hilal batasan dua derajat.

Dan inilah yang selalu pakai pemerintah.

Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama  mengunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah.

Dalil mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal.

.

Oleh karena itu,

tahun 1990 an,

tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah,

sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal.

Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta.

karena Deartemen Agama dibawah MUHAMMADIYAH

Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.

.

Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden,

orang-orang  Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri.

Artinya,

jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus.

Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas.

Maka segera mengubah MINDSET dan POLA PIKIR soal itsbat hilal.

Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi.

Tapi tak menerima hilal derajat, karena AKAN sama dengan NU.

……………………………………………………………………………………

…………………………………………………….

……….o….. JREEENG …..o……….

…………………………..MAKA………………………………..

dibuatlah

 

Rekayasa alHilal

 

Artinya,

pokoknya hilal menurut ILMU HISAB atau ASTRONOMI sudah muncul di atas ufuk,

seberapapun derajatnya,

nol koma sekalipun,

sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu.

Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu,

apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah.

MEMANG LUCU

Hadits yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur’an berisikan seruan

taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr

dibuang dan sangat alergi mendengar.

.

Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.

.

Populerkah metode ” wujud al-hilal ”

dalam tradisi keilmuwan falak ?.

Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.

Di sini,

Muhammadiyah membuat beda lagi dengan NU.

Kalau dulu,

Muhammadiyah  hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah,

hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU,

kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan.

Menukik lebih tajam,

yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya.

.

.

Sementara NU tetap pada standar rukyah,

meski derajat dua atau kurang sedikit.

Tentu saja beda lagi dengan NU.

Maka,

selamanya tak kan bisa disatukan,

karena sengaja harus tampil beda.

Dan itu sah-sah saja.

.

.

Dilihat dari fakta sejarah,

Pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat ?.

.

Menyikapi lebaran dua versi,

warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya.

Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?.

Perkara dalil nash atau logika,

ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong moderen sama-sama punya. Justru,

bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.

Hebatnya,

semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih.

Tidak ada yang mengkritik,

padahal kelamahan akademik pasti ada.

atau mungkin kelemahan akal

.

.sEBENARNYA mENURUT pANDANGAN dARI tHEsALT aSIN

LEBARAN KITA MASIH BISA KETEMU SETIAP 4 TH

YAAA…..MENENG-MENENG  BAE……

Minal aidin al-faizin,

mohon maaf lahir dan batin.

.

.
 http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150268506916712

 Catatan:
Penulis adalah Direktur Madrasatul Qur’an Tebuireng KH. Musta’in Syafi’i, M.Ag.

Ulama Besar Ahlussunnah Syaikh Said Ramadhan Al Buthi Tewas di Bom


ledakan di masjid syiria

MADINATULIMAN (Damaskus) – Ledakan terjadi di sebuah masjid di ibukota Suriah pada hari Kamis (21/3) dan menewaskan sedikitnya 42 orang, termasuk seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah al-’Alim al-Allamah al-Syaikh Dr. Said Ramadhan Al Buthi rahimahullah dan cucu beliau. Ledakan tersebut juga melukai sekitar 84 orang lainnya.

Syaikh Said Ramadhan al Buthi, ulama besar berumur 84 tahun ini tewas oleh ledakan bom bunuh diri didalam masjid yang dilakukan oleh kelompok teroris ekstrimis salafy ketika mengisi Ta’lim ba’da Maghrib di Masjid al-Iman di Kota Damaskus, Suriah.

Al bouthi tewas di bom extrimis khawarij

Biografi Syaikh Said Ramadhan Al Buthi

Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi adalah salah seorang tokoh ulama dunia yang menjadi sumber rujukan masalah-masalah keagamaan.

Ketika kritikan terhadap tradisi Mau­lid dan dzikir berjama’ah, misalnya, di­lon­tarkan para pengklaim “muslim se­jati”, Al-Buthi hadir menjawab kritikan itu. Tak tanggung-tanggung, dalil yang di­gunakan sama persis dengan dalil yang diambil para pengkritik itu.

Pada sisi lainnya, ia juga mengkritik dengan tajam pola pikir Barat. Ujaran-ujar­annya membuat stereotip yang ne­gatif tentang Islam dan ketimuran pun luruh.

Siapakah tokoh ulama kontemporer yang begitu alim ini? Sa’id Ramadhan Al-Buthi lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibn Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia berasal dari suku Kurdi, yang hidup da­lam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad.

Bersama ayahnya, Syaikh Mula Ramadhan, dan anggota keluarganya yang lain, Al-Buthi hijrah ke Damaskus pada saat umurnya baru empat tahun. Ayahnya adalah sosok yang amat dikaguminya.

Pendidikan sang ayah sangat mem­be­kas dalam sisi kehidupan intelektual­nya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bu­kan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mula juga sosok ayah yang pe­nuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.

Dalam karyanya yang mengupas biografi kehidupan sang ayah, Al-Fiqh al-Kamilah li Hayah asy-Syaikh Mula Al-Buthi Min Wiladatihi Ila Wafatihi, Syaikh Al-Buthi mengurai awal perkembangan Syaikh Mula dari masa kanak-kanak hingga masa remaja saat turut berpe­rang dalam Perang Dunia Pertama. Ke­mudian menceritakan pernikahan ayah­nya, berangkat haji, hingga alasan ber­hijrah ke Damaskus, yang di kemudian hari menjadi awal kehidupan baru bagi keluarga asal Kurdi itu.

Masih dalam karyanya ini, Al-Buthi menceritakan kesibukan ayahnya dalam belajar dan mengajar, menjadi imam dan berdakwah, pola pendidikan yang dite­rapkannya bagi anak-anaknya, ibadah dan kezuhudannya, kecintaannya ke­pada orang-orang shalih yang masih hi­dup maupun yang telah wafat, hubungan baik ayahnya dengan para ulama Da­maskus di masa itu, seperti Syaikh Abu Al-Khayr Al-Madani, Syaikh Badruddin Al-Hasani, Syaikh Ibrahim Al-Gha­layayni, Syaikh Hasan Jabnakah, dan lainnya, yang menjadi mata rantai tabarruk bagi Al-Buthi. Begitu besarnya atsar (pengaruh) dan kecintaan sang ayah, hingga Al-Buthi begitu terpacu untuk menulis karyanya tersebut.

Dari Damaskus ke Kairo

Sa’id Ramadhan Al-Buthi muda me­nyelesaikan pendidikan menengahnya di Institut At-Tawjih Al-Islami di Damas­kus. Kemudian pada tahun 1953 ia me­ninggalkan Damaskus untuk menuju Me­sir demi melanjutkan studinya di Univer­sitas Al-Azhar. Dalam tempo dua tahun, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di bidang syari’ah. Pada ta­hun berikutnya di universitas yang sama, ia mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab hingga lulus dalam waktu yang cu­kup singkat dengan sangat memuaskan dan mendapat izin mengajar bahasa Arab.

Kemahiran Al-Buthi dalam bahasa Arab tak diragukan. Sekalipun bahasa ini adalah bahasa ibu orang-orang Arab seperti dirinya, sebagaimana bahasa-bahasa terkemuka dalam khazanah per­adaban dunia, ada orang-orang yang me­mang dikenal kepakarannya dalam bidang bahasa, dan Al-Buthi adalah sa­lah satunya yang menguasai bahasa ibu­nya tersebut. Di samping itu, kecende­rungan kepada bahasa dan budaya mem­buatnya senang untuk menekuni ba­hasa selain bahasa Arab, seperti ba­hasa Turki, Kurdi, bahkan bahasa Ing­gris.

Selulusnya dari Al-Azhar, Al-Buthi kembali ke Damaskus. Ia pun diminta untuk membantu mengajar di Fakultas Syari’ah pada tahun 1960, hingga ber­turut-turut menduduki jabatan struktural, dimulai dari pengajar tetap, menjadi wa­kil dekan, hingga menjadi dekan di fakul­tas tersebut pada tahun 1960.

Lantaran keluasan pengetahuannya, ia dipercaya untuk memimpin sebuah lembaga penelitian theologi dan agama-agama di universitas bergengsi di Timur Tengah itu.

Tak lama kemudian, Al-Buthi diutus pimpinan rektorat kampusnya untuk melanjutkan program doktoral bidang ushul syari’ah di Al-Azhar hingga lulus dan berhak mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu-ilmu syari’ah.

Aktivitasnya sangat padat. Ia aktif mengikuti berbagai seminar dan konfe­rensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Hingga saat ini ia masih menjabat salah seorang anggota di lembaga pene­li­tian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Pena­sihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.

Penulis yang Sangat Produktif

Al-Buthi adalah seorang penulis yang sangat produktif. Karyanya menca­pai lebih dari 60 buah, meliputi bidang syari’ah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain. Be­berapa karyanya yang dapat disebutkan di sini, antara lain, Al-Mar‘ah Bayn Thughyan an-Nizham al-Gharbiyy wa Latha‘if at-Tasyri’ ar-Rabbaniyy, Al-Islam wa al-‘Ashr, Awrubah min at-Tiqniyyah ila ar-Ruhaniyyah: Musykilah al-Jisr al-Maqthu’, Barnamij Dirasah Qur‘aniyyah, Syakhshiyyat Istawqafatni, Syarh wa Tahlil Al-Hikam Al-‘Atha‘iyah, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah, Hadzihi Musy­ki­latuhum, Wa Hadzihi Musykilatuna, Kalimat fi Munasabat, Musyawarat Ijtima’iyyah min Hishad al-Internet, Ma’a an-Nas Musyawarat wa Fatawa, Manhaj al-Hadharah al-Insaniyyah fi Al-Qur‘an, Hadza Ma Qultuhu Amama Ba’dh ar-Ru‘asa‘ wa al-Muluk, Yughalithunaka Idz Yaqulun, Min al-Fikr wa al-Qalb, La Ya‘tihi al-Bathil, Fiqh as-Sirah, Al-Hubb fi al-Qur‘an wa Dawr al-Hubb fi Hayah al-Insan, Al-Islam Maladz Kull al-Muj­tama’at al-Insaniyyah, Azh-Zhullamiyyun wa an-Nuraniyyun.

Gaya bahasa Al-Buthi istimewa dan menarik. Tulisannya proporsional de­ngan tema-tema yang diusungnya. Tu­lisannya tidak melenceng dan keluar dari akar permasalahan dan kaya akan sum­ber-sumber rujukan, terutama dari sum­ber-sumber rujukan yang juga diambil lawan-lawan debatnya.

Akan tetapi bahasanya terkadang ti­dak bisa dipahami dengan mudah oleh ka­langan bukan pelajar, disebabkan un­sur falsafah dan manthiq, yang memang ke­ahliannya. Oleh karena itu, majelis dan ha­laqah yang diasuhnya di berbagai tempat di keramaian kota Damaskus menjadi sarana untuk memahami karya-karyanya.

Walau demikian, sebagaimana di­tuturkan pecinta Al-Buthi, di samping mam­pu membedah logika, kata-kata Al-Buthi juga sangat menyentuh, sehingga mampu membuat pembacanya berurai air mata.

Beda mazhab tetap satu - imam adalah syekh al bouthi

Pembela Madzhab yang Empat

Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengasuh halaqah pengajian di masjid Damaskus dan beberapa masjid lainnya di seputar kota Damaskus, yang diasuhnya hampir tiap hari. Majelis yang diampunya selalu dihadiri ribuan ja­ma’ah, laki-laki dan perempuan.

Selain mengajar di berbagai hala­qah, ia juga aktif menulis di berbagai me­dia massa tentang tema-tema keislaman dan hukum yang pelik, di antaranya ber­bagai pertanyaan yang diajukan kepada­nya oleh para pembaca. Ia juga menga­suh acara-acara dialog keislaman di be­berapa stasiun televisi dan radio di Timur Tengah, seperti di Iqra‘ Channel dan Ar-Risalah Channel.

Dalam hal pemikiran, Al-Buthi diang­gap sebagai tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang gencar membela kon­sep-konsep Madzhab yang Empat dan aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah, Al-Gha­zali, dan lain-lain, dari rongrongan pemi­kiran dan pengkafiran sebahagian go­longan yang menganggap hanya mere­ka­lah yang benar dalam hal agama. Ber­bekal pengetahuannya yang amat men­dalam dan diakui berbagai pihak, ia me­re­dam berbagai permasalahan yang tim­bul dengan fatwa-fatwanya yang ber­ta­bur hujjah dari sumber yang sama yang dijadikan dalil para lawan debatnya. Ujar­an-ujaran Al-Buthi juga menyejuk­kan bagi yang benar-benar ingin mema­hami pemikirannya.

Al-Buthi bukan hanya seorang yang pandai di bidang syari’ah dan bahasa, ia juga dikenal sebagai ulama Sunni yang multidisipliner. Ia dikenal alim da­lam ilmu filsafat dan aqidah, hafizh Qur’an, mengua­sai ulumul Qur’an dan ulu­mul hadits de­ngan cermat. Sewaktu-waktu ia melaku­kan kritik atas pemikiran filsafat materia­lisme Barat, di sisi lain ia juga melakukan pembelaan atas ajaran dan pemikiran madzhab fiqih dan aqidah Ahlussunnah, terutama terhadap tuding­an kelompok yang menisbahkan dirinya sebagai go­longan Salafiyah dan Waha­biyah.

Dalam hal yang disebut terakhir, ia menulis dua karya yang meng-counter ber­bagai tudingan dan klaim-klaim me­reka, yakni kitab berjudul Al-Lamadz­habiyyah Akbar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’ah al-Islamiyyah dan kitab As-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Muba­rakah wa Laysat Madzhab Islamiyy. Be­gitu pula hubungannya dengan gerakan-gerakan propaganda keislaman seperti Ikhwanul Muslimin Suriah yang tampak kurang baik, tentunya dengan berbagai perbedaan pandangan, yang menjadi­kan ketidaksetujuannya itu tampak da­lam sebuah karya yang berjudul Al-Jihad fi al-Islam, yang terbit pada tahun 1993.

Tawassuth

Di era 1990-an, Al-Buthi telah me­nam­pakkan intelektualitasnya dengan menggunakan sarana media informasi, seperti televisi dan radio. Ini demi meng­usung pemikiran-pemikirannya yang ta­wassuth (menengah) di tengah gerakan-gerakan fundamentalisme Islam yang bermunculan.

Statement-statement beliau yang dianggap pro pemerintah, pada dasarnya hanya sebagai tanggung jawab beliau akan keadaan yang terjadi. Beliau berbicara atas nama syari’at agama bukan kepentingan pribadi, pemerintah ataupun oposisi. (*/)

Ulama Besar Ahlussunnah Syaikh Said Ramadhan Al Buthi Tewas di Bom

Shalat Khusyu`


Shalat Khusyu` Bukan Kontemplasi

Ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyu` kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun, agar konsentrasi.

Malah bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya.

Maka seorang yang shalat dengan khusyu“ bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, telinga dan diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyu“ itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu.

Rujukan Tentang Khusyu` Dalam Shalat

Siapakah orang yang paling khusyu` shalatnya di dunia ini? Apakah orang yang mengaku telah menemukan metode kontemplasi, yoga dan sejenisnya, ataukah Rasulullah SAW? Ini pertanyaan penting ketika kita bicara tentang khusyu` dalam shalat. Sebab kita seringkali lupa, bahwa shalat itu sebuah ritual ibadah, bukan produk karsa atau karya manusia.

Ritual shalat juga bukan sebuah hasil koreografi buatan manusia. Ritual shalat itu pada hakikatnya adalah tata cara untuk beribadah kepada Allah SWT, dimana Allah ingin disembah dengan cara yang Dia tentukan sendiri.

Dan untuk itu, Allah SWT telah mengutus Rasulullah SAW sebagai perantara yang menyampai bentuk teknisnya. Dan untuk mengetahui bagaimana bentuk shalat itu, kita hanya punya satu rujukan, yaitu Rasulullah SAW.

Pasti kita sepakat mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling khusyu` dalam shalat. Sebab kalau seorang Muhammad SAW shalatnya tidak khusyu`, lalu kepada siapa lagi kita merujukkan masalah shalat ini?

Karena kita hanya dibenarkan merujuk kepada beliau SAW, maka otomatis semua definisi dan standarisasi khusyu` yang benar hanyalah semata-mata yang paling sesuai dengan shalat beliau.

Kita tidak dibenarkan untuk membuat definisi dan standar shalat khusyu` sendiri menurut logika serta khayal kita. Sebab nanti akan muncul ribuan bahkan jutaan definisi shalat khusyu` yang sangat beragam, bahkan satu dengan lainnya saling bertolak-belakang.

Padahal satu-satunya rujukan dalam masalah shalat hanyalah apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau tegaskan lagi dengan sabdanya, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Maka gambaran shalat khusyu` itu perlu kita pahami secara lebih luas, tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang selama ini umumnya dipahami orang. Sebab kenyataannya begitu banyak fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat dengan berbagai keadaan, dan kita tetap mengatakan bahwa semua yang dikerjakan oleh beliau itu adalah bentuk nyata dari shalat yang khusyu`.

Dan sungguh ajaib, ternyata beliau SAW banyak melakukan gerakan dalam shalat yang mungkin oleh orang awam di antara ummat sudah dianggap tidak boleh atau malah membatalkan shalat. Mungkin kebanyakan orang juga menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh bleiau SAW bukan hanya tidak khusyu` tetapi sudah dianggap membatalkan shalat.

Tetapi itulah realitanya, beliau disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih melakukan banyak gerakan dalam shalat, dan shalat itu tidak batal. Bahkan kita tetap mengatakan bahwa beliau adalah orang yang paling khusyu` shalatnya.

Di antara gerakan beliau SAW itu adalah :

1. Menggendong Bayi

Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong bayi. Rasanya kita mungkin malah belum pernah seumur-umur shalat sambil menggendong bayi. Bahkan mungkin sebagian kita malah akan bilang bahwa shalat sambil menggendong bayi itu tidak sah.

Dan kalau baru urusan sah saja pun tidak, apalagi khusyu`. Namun kita menemukan hadits-hadits yang shahih yang menggambarkan bagaimana beliau SAW shalat sambil menggendong cucunya.

Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku` anak itu diletakkannya dan bila beliau bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)

2. Memperlama Sujud Karena Dinaiki Cucu

Dan masih dalam bab shalat dengan cucu, Rasulullah SAW pernah memperlama sujudnya, karena ada cucunya yang naik ke atas punggungnya.

Dari Syaddan Al-Laitsi radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah SAW keluar untuk shalat di siang hari entah dzhuhur atau ashar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain. Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau SAW. Maka Aku kembali sujud. Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat, orang-orang bertanya,”Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu”. Beliau SAW menjawab,”Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain. (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Hakim)

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Saw itu tetap masih punya kontak dengan dunia luar, sehingga cucunya yang asyik main kuda-kudaan di atas punggungnya pun diberi kesempatan memuaskan hasratnya, sambil beliau tetap menunggu dengan posisi bersujud.

Kalau orang menyangka bahwa khusyu` itu harus melakukan perenungan dan kontemplasi, tidak mungkin memperlama sujud karena memberi kesempatan anak naik ke atas punggungnya.

3. Mempercepat Shalat Mendengar Tangis Bayi

Lagi-lagi masih terkait dengan anak kecil, kali ini dengan bayi. Adalah Rasulullah SAW mempercepat shalatnya saat menjadi imam, hanya lantaran beliau mendengar ada anak kecil menangis.

Kalau disangka bahwa shalat khusyu` itu adalah hanya ingat Allah dan tidak ingat hal-hal yang lain, maka tidak mungkin beliau SAW mempercepat shalatnya begitu mendengar tangis bayi.

4. Mencegah Orang Lewat Di Depannya

Kalau dikatakan bahwa khuyu` itu adalah memusatkan pikiran hanya kepada Allah SWT saja, tentu Rasulullah SAW tidak akan memerintahkan untuk mencegah seseorang lewat di depan orang shalat.

Sebab orang yang sedang konsentrasi mengingat Allah SWT itu tentu tidak akan tahu kalau ada orang lain lewat di depannya. Namun justru beliau SAW memerintahkan untuk menghalangi bahkan membunuhnya.

Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabd,”Jika kamu shalat jangan biarkan seorang pun lewat di depannya, haruslah dia mencegahnya semampunya. Kalau orang yang mau lewat itu mengabaikan, maka bunuhlah dia, karena dia adalah setan. (HR. Muslim)

Larangan lewat di depan orang shalat itu bukan larangan main-main. Kedua belah pihak, baik orang yang shalat atau pun orang yang lewat, keduanya harus mengindarinya. Kalau orang yang shalat harus mencegahnya, maka orang yang mau lewat juga diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :

Dari Abu Juhaim radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu tahu apa yang akan menimpanya, maka menunggu selama 40 akan lebih baginya dari pada lewat di depan orang shalat. (HR. Muslim)

Rasulullah SAW tidak menjelaskan apa yang beliau maksud dengan angka 40 itu, apakah 40 hari, 40 bulan atau 40 tahun. 5. Membunuh Kalajengking & Ular Kalau khusyu` itu dimaknai sebagai konsentrasi yang tidak ingat apa-apa kecuali hanya kepada Allah saja, maka pastilah Rasulullah SAW tidak khusyu` shalatnya.

Mengapa?

Karena beliau SAW pernah memerintahkan orang yang shalat untuk membunuh ular serta hewan liar lainnya. Tentunya tidak ada seorang pun yang kualat mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak khusyu` shalatnya, atau bahwa beliau SAW memerintahkan orang untuk shalat dengan tidak khuyus`. Orang yang sedang shalat lalu hendak dimangsa hewan yang beracun, maka dia boleh membunuhnya, tanpa kehilangan kekhusyuan shalatnya.

Dari Aisyah radhiyallahuanha istri Nabi SAW berkata bahwa Rasulullah SAW sedang shalat di rumah, datanglah Ali bin Abi Thalib. Ketika melihat Rasulullah SAW sedang shalat, maka Ali pun ikut shalat di sebelah beliau. Lalu datanglah kalajengking hingga berhenti di dekat Rasulullah SAW namun meninggalkannya dan menghadap ke Ali. Ketika Ali melihat kalajengking itu, Ali pun meninjaknya dengan sandalnya. Dan Rasulullah SAW memandang tidak mengapa pembunuhan itu terjadi (dalam shalat). (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani)

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh dua hewan hitam, yaitu kalajengking dan ular. (HR. Ahmad, At-Tirmizy, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah)

Bunuhlah dua hewan hitam (kalajengking dan ular). (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)

6. Lupa dan Sujud Sahwi

Rasulullah SAW saat menjadi imam pernah lupa gerakan shalat tertentu, bahkan salah menetapkan jumlah bilangan rakaat, sehingga beliau melakukan sujud sahwi.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah shalat 5 rakaat tanpa sadar. Kemudian selesai shalat ketika diingatkan, beliau pun mengaku bahwa telah lupa jumlah rakaat, sehingga beliau melakukan sujud sahwi.

Abdullah bin Mas`ud radhiyallahuanhu berkata,”Rasullullah SAW mengimami kami 5 rakaat. Kami pun bertanya,”Apakah memang shalat ini ditambahi rakaatnya?”. Beliau SAW balik bertanya,”Memang ada apa?”. Para shahabat menjawab,”Anda telah shalat 5 rakaat!”. Beliau SAW pun menja-wab,”Sesungguhnya Aku ini manusia seperti kalian juga, kadang ingat kadang lupa sebagaimana kalian”. Lalu beliau SAW sujud dua kali karena lupa. (HR. Muslim)

7. Al-Fath

Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan

Tasbih untuk laki-laki dan bertepuk buat wanita (HR. Muslim)

8. Shalat Khauf

Rasululah SAW mengajarkan shalat khauf dengan berjamaah yang gerakannya sangat unik dan jauh dari kesan khusyu` Sebab shalat itu dilakukan sambil menyandang senjata, dengan mata jelalatan kemana-mana, berjaga kalau-kalau tiba-tiba muncul musuh.

Bahkan barisan pun dipecah dua dengan melakukan ruku, i`tidal sujud dan duduk antara dua sujud secara bergantian antara barisan depan dan barisan belakang. Kalau barisan depan ruku dan sujud bersama imam, maka barisan belakang tetap berdiri sambil berjaga, tidak ikut imam.

Selesai barisan depan, giliran barisan belakang yang ruku dan sujud, sedangkan barisan depan berdiri sambil berjaga-jaga. Dan shalat seperti itu adalah shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat dalam pertempuran.

9. Shalat di atas Kendaraan

Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di atas kendaraan, yaitu hewan tunggangan beliau, seekor unta. Unta beliau itu berjalan, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, beliau membiarkan tunggangannya menghadap kemana pun.

Namanya orang menunggang unta, tentu harus berpegangan dan konsentrasi, dan kalau harus khusyu` dalam shalat, dengan pengertian harus melakukan kontemplasi dalam shalat sambil melupakan apa-apa di sekelilingnya, pastilah beliau SAW jatuh dari unta.

Maka apa yang dilakukan beliau SAW dengan shalat di atas unta itu juga termasuk shalat yang khusyu` dalam pandangan syariah Islam.

10. Memindahkan Kaki Istrinya

Rasulullah SAW pernah memindahkan tubuh atau kaki isterinya saat sedang shalat karena dianggap menghalangi tempat shalatnya.

11. Menjawab Salam dengan Isyarat

Rasulullah SAW mengajarkan orang yang shalat untuk menjawab salam dengan isyarat.

Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW masuk ke masjid Bani Amr bin `Auf (masjid Quba`). Datanglah beberapa orang dari Anshar memberi salam kepada beliau SAW. Ibnu Umar bertanya kepada Shuhaib yang saat itu bersama Nabi SAW,”Apa yang dilakukan beliau SAW bila ada orang yang memberi salam dalam keadaan shalat?”. Shuhaib menjawab,”Beliau memberi isyarat dengan tangannya. (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan An-Nasa`i)

Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berakta,”Bila salah seorang dari kalian diberi salam dalam keadaan shalat, maka janganlah berkata-kata, tetapi hendaklah dia memberi isyarat dengan tangannya”. (HR. Malik)

Dari Abi Hurairah dari Ibnu Mas`ud radhiyallahuanhuma berakata : Ketika Aku tiba dari Habaysah, Aku mendatangi Rasulullah SAW yang sedang shalat, lalu Aku memberi salam kepadanya. Beliau pun memberi isyarat dengan kepalanya. (HR. Al-Baihaqi)

12. Makmum Wajib Ikut Imam

Di antara bentuk khuysu` yang Nabi ajarkan adalah bahwa makmum wajib tetap ikut imam, dalam segala gerakannya.

Kalau khusyu` diartikan memutuskan hubungan dengan dunia luar, tidak ingat apa-apa dan masuk ke alam lain, tentu seorang makmum tidak akan bisa mengikuti gerakan imam, sebab dia asyik sendiri dengan kontemplasinya.

Padahal tegas sekali Rasulullah SAW memerintahkan buat makmum untuk selalu memperhatikan imamnya. Beliau bersabda :

Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Bila imam bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Bila imam sujud maka sujudlah kalian. Bila imam bangun dari sujud maka kalian bangunlah dari sujud. Bila imam mengucap sami`allahuliman hamidah, maka ucapkanlah rabbana wa lakal hamdu. Bila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk. (HR. Muslim)

13. Memegang Mushaf

Meski ada khilaf dalam hukum shalat sambil memegang mushaf, namun ada keterangan dari bahwa Aisyah radhiyallahuanha tentang shalat dengan memegang mushhaf.

Dari Aisyah istri Rasulullah SAW bawah ghulamnya menjadi imam shalat atas dirinya sambil memegang mushaf. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Ibnu At-Taimi meriwayatkan dari ayahnya bahwa Aisyah radhiyallahuanha membaca mushaf dalam keadaan shalat. (HR. Abdurrazzaq)

14. Tersenyum

Seorang yang sedang shalat lalu tersenyum, oleh Rasulullah SAW tidak dikatakan shalatnya batal. Beliau menegaskan bahwa yang membatalkan shalat itu adalah tertawa, khususnya bila tertawa dengan mengeluarkan suara bahkan terbahak-bahak. Dari dari tidak batalnya shalat karena tersenyum adalah hadits-hadits berikut ini :

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,”Senyum itu tidak membatalkan shalat tetapi yang membatalkan adalah tertawa. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Kelihatan gigi ketika tersenyum tidak membatalkan shalat, yang membatalkan shalat itu adalah tertawa dengan suara keras. (HR. Ath-Thabarani)

15. Membersihkan Tempat Sujud

Bila tempat sujud kotor atau berdebu, seorang yang sedang mau melakukan sujud dibolehkan membersihkannya, asalkan gerakannya sekali saja dan tidak berulang-ulang. Ini menunjukkan bahwa shalat yang diajarkan oleh Rasulllah SAW tidak harus masuk ke alam lain, sehingga tidak ingat apa-apa atau tidak merasakan rasa sakit. Bahkan sekedar debu yang ada di tempat sujudnya boleh dibersihkan terlebih dahulu.

Dari Mu`aiqib radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,”Janganlah kalian menyapu (tempat sujud) ketika sedang shalat. Tetapi bila terpaksa dilakukan, lakukan sekali saja untuk menyapu kerikil (HR. Abu Daud)

16. Melirik

Rasulullah SAW melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri tanpa menolah (HR. Al-Hakim dan Ibnu Khuzaemah)

17. Berjalan Sambil Shalat

Bahkan beliau pun juga pernah berjalan membukakan pintu untuk Aisyah istrinya, padahal beliau dalam keadaan sedang melakukan shalat sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :

Dari Aisyah radhiyalahuanha berkata,”Aku minta dibukakan pintu oleh Rasulullah SAW padahal beliau sedang shalat sunnah, sedangkan pintu ada di arah kiblat. Beliau SAW berjalan ke kanannya atau ke kirinya dan membuka pintu kemudian kembali ke tempat shalatnya. (HR. An-Nasa`i)

Dengan semua fakta di atas, masihkah kita akan mengatakan bahwa shalat khusyu` itu harus selalu berupa kontemplasi ritual tertentu?

Haruskah shalat khusyu` itu membuat pelakunya seolah meninggalkan alam nyata menuju alam ghaib tertentu, lalu bertemu Allah SWT seolah pergi menuju sidratil muntaha bermikraj?

Benarkah shalat khusyu` itu harus membuat seseorang tidak ingat apa-apa di dalam benaknya, kecuali hanya ada wujud Allah saja? Benarkah shalat khusyu` itu harus membuat seseorang bersatu kepada Allah SWT?

Kalau kita kaitkan dengan realita dan fakta shalat nabi SAW sendiri, tentu semua asumsi itu menjadi tidak relevan, sebab nabi yang memang tugasnya mengajarkan kita untuk shalat, ternyata shalatnya tidak seperti yang dibayangkan. Beliau tidak pernah `kehilangan ingatan` saat shalat.

Beliau tidak pernah memanjangkan shalat saat jadi imam shalat berjamaah, kecuali barangkali hanya pada shalat shubuh, karena fadhilahnya. Kalaupun diriwayatkan beliau pernah shalat sampai bengkak kakinya, maka itu bukan shalat wajib, melainkan shalat sunnah.

Dan panjangnya shalat beliau bukan karena beliau asyik `meninggalkan alam nyata` lantaran berkontemplasi, namun karena beliau membaca ayat-ayat Al-Quran dengan jumlah lumayan banyak, tentunya dengan fasih dan tartil, sebagaimana yang Jibril ajarkan.

Bahkan beliau pernah membaca surat Al-Baqarah (286 ayat), surat Ali Imran (200 ayat) dan An-Nisa (176 ayat) hanya dalam satu rakaat.

Untuk bisa membaca ayat Quran sebanyak itu, tentu seseorang harus ingat dan hafal apa yang dibaca, serta tentunya memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam tiap ayat itu. Kalau yang membacanya sibuk `berkontemplasi dengan dunia ghaib`, maka tidak mungkin bisa membaca ayat sebanyak itu.

Maka shalat khusyu` itu adalah shalat yang mengikuti nabi SAW, baik dalam sifat, rukun, aturan, cara, serta semua gerakan dan bacaannya. Bagaimana nabi SAW melakukan shalat, maka itulah shalat khusyu`.

Dan ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyu` kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun, agar konsentrasi.

Malah bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya.

Maka seorang yang shalat dengan khusyu` bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, telinga dan diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyu` itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu.

Ahmad Sarwat

Halal Haramnya Musik


Halal Haramnya Musik Dalam Deretan Dalil-dalil Syar’i

.

 

 

.

Ketika para ulama berbeda pendapat tentang hukum halal dan haramnya musik, tergelitik bagi kita untuk meneliti latar belakang dan sebab perbedaan pendapat di antara mereka.

Ternyata titik pangkal masalahnya memang ada begitu banyak dalil yang saling berbeda bahkan bertentangan, antara yang disimpulkan sebagai dalil yang menghalalkan musik di satu sisi, dengan dalil yang mengharamkannya.

Dan ternyata kita menemukan cukup banyak dalil baik di dalam Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, baik yang mengharamkan maupun menghalalkannya.

A. Dalil Yang Mengharamkan

1. Al-Quran

Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas istilah-istilah yang punya makna banyak. Di antara istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah :

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits

Di antara dalil haramnya nyanyian dan musik di dalam Al-Quran adalah ayat yang menyebutkan tentang menyesatkan manusia dengan cara membeli apa yang disebut dengan lahwal-hadits (لهو الحديث). Ayat ini terdapat di dalam surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan sebagai ayat yang mengharamkan nyanyian dan lagu.

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Para ulama yang menyebutkan bahwa makna nya lahwal-hadits (لهو الحديث) diantaranya adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka menafsirkan lahwal-hadits sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian.

b. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika yang digunakan adalah bahwa kalau sekedar bersiul dan bertepuk tangan saja sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram lagi.

c. Surat Al-Isra’ : Suara

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi shautika (بصوتك). Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid.

Beliau memaknainya dengan : bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء). Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.

d. Surat Al-Furqan : Az-Zuur

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka mendengarkan nyanyian dan lagu hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.

e. Surat Al-Qashash : Laghwi

Sebagian ulama mengharamkan musik karena dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Al-Quran Al-Kariem.

وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. (QS. Al-Qashash : 55)

f. Surat An-Najm : Samidun

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun (سامدون), dimana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

2. Hadits

Sedangkan penyebutan alat-alat musik dan nyanyian akan lebih jelas ketika kita membuka hadits-hadits nabawi. Ada begitu banyak hadits yang terkait dengan musik dan nyanyian, di antaranya adalah :

a. Hadits Pertama : Musik Penyebab Turunnya Bencana

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ  مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy).

Hadits ini memasukkan musik sebagai salah satu dari lima belas penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka menurut yang mengharamkan musik, hukum bermusik itu haram karena akan menurunkan bencana dari Allah SWT.

b. Hadits Kedua : Tugas Nabi Menghancukan Alat Musik

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Menurut pendapat yang mengharamkan musik, salah satu sebab kenapa musik itu diharamkan adalah karena salah satu tugas Rasulullah SAW adalah untuk menghancurkan alat-alat musik.

 

c. Hadits Ketiga : Akan Ada Yang Menghalalkan Musik

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Hadits ini boleh jadi termasuk hadits yang paling selamat dari kelemahan isnad, karena hadits ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari. Sehingga kalau ada yang masih meragukan kekuatan isnadnya, tentu yang meragukan itulah yang bermasalah.

Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam telah mencapai ijma’ bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Karim adalah kitab Shahih Bukhari.

Dan dari segi istidlal, hadits ini juga tegas menyebutkan bahwa ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang haram, dana salah satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik.

d. Hadits Keempat : Musik Adalah Suara Yang Dilaknat

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Hadits Kelima : Allah Mengharamkan Musik

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Rasulullah SAW Menutup Telinga

Mereka yang mengharamkan alat musik berdalil bahwa ketika mendengar suara seruling gembala, Rasulullah SAW menutup telinganya. Hal itu menandakan bahwa musik itu hukumnya haram.

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ  سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

g. Hadits Ketujuh : Batilnya Semua Yang Sia-sia

Selain itu mereka yang mengahramkan musik berdalil dengan hadits di bawah ini, yaitu hadits yang mengharamkan semua yang sia-sia.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng

Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Dan memang ada beberapa hadits yang secara tegas mengharamkan lonceng, di antaranya :

الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ

Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)

لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ

Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)

أَنَّ رَسُولَ اللهِ  أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ

Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar untuk memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

B. Dalil Yang Menghalalkan Musik dan Lagu

Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.

1. Jawaban Atas Dalil Quran

Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri.

Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.

Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya isitlah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.

Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :

Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.

Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.

Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan.

Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?

Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.

a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan

Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.

Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.

Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.

Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.

Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.

Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.

b. Surat Al-Isra’ : Suara

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.

Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.

Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.

c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur

Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.

Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.

Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, dimana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.

Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.

Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan : memberi kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.

d. Surat Al-Qashash : Laghwi

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram. Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.

Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, dimana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :

لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)

f. Surat An-Najm : Samidun

Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah.

Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.

Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran, mereka malah bernyanyi-nyanyi.

2. Jawaban Atas Dalil Hadits

Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi istidlal.

Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih di antara hadits-hadits yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.

Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengharamkan musik.

Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan : tidak ada satu pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadits maudhu’.

Mari kita bahas satu persatu hadits-hadits yang banyak digunakan oleh merekayang mengharamkan nyanyian dan musik.

a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini lemah. Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak shahih.

Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah.

b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak Shahih

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.

Masalahnya justru karena hadits kedua ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.

Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif.

Dan hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak Sharih

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.

Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Mengapa demikian?

Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.

Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah.

An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan. Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya.

Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).

Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya.

Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya. Hadits ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ).

Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan atau menyetubuhi budak. Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa madharat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.

d. Hadits Keempat :

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Hadits Kelima :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ  سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا – رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal.

Mengapa?

Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :

Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.

Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain.

Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.

Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya.

Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.

g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang Sia-sia

Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.

Sedangkan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.

Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.

Hadits Kedelapan :

Haramnya Lonceng Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng itu tidak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng

Ahmad Sarwat

Kiblat.


Ukur Ulang Arah Kiblat Pakai Matahari

.

Tanggal 26 Mei hingga empat hari berikutnya 30 Mei adalah waktu yang paling tepat untuk mengukur ulang arah kiblat di rumah kita.

Siapa tahu selama ini arahnya kurang akurat. Caranya dengan memanfaatkan posisi matahari yang pada sorei hari tepatnya 16.18 menit akan berada tepat di atas kota Mekkah Al-Mukarramah.

Pada durasi kurang lebih 5 menit itu, silahkan arahkan pandangan ke matahari, nah tepat di bawahnya itu terletak kota Mekkah. Kesanalah sajadah kita seharusnya mengarah.

Cara mengulur arah kiblat ini termasuk cara yang paling sederhana, tetapi punya nilai akurasi yang cukup tinggi. Dikatakan sederhana, karena kita tidak butuh alat-alat yang mahal, bahkan tanpa menggunakan kompas sekalipun. Modal kita cuma jam yang akurat aturan waktunya. Bagaimana cara mengukur seperti ini bisa dijelaskan?

Para ahli telah menghitung perputaran bumi dan telah memastikan bahwa semua tempat di muka bumi yang berada di antara 22 1/2 derajat lintang Utara dan 22 1/2 lintang Selatan pasti akan dilewati oleh matahari, dua kali setahun. Meski hanya dalam bilangan menit saja.

Kota Makkah pun mengalami saat-saat di mana matahari akan tepat berada di atasnya, dua kali dalam setahun. Setiap tahun tepat pada tanggal 26 sampai 30 Mei untuk yang pertama dan tanggal 14 s/d 18 Juli untuk yang kedua, matahari akan berada tepat di atas kota suci Mekkah Al-Mukarramah.

Kejadian ini akan tetap terus berlangsung tiap tahun sepanjang masa untuk tanggal-tanggal yang sama. Bila pada detik-detik matahari sedang berada tepat di atas kota Makkah, maka semua orang yang tinggal di berbagai belahan bumi lainnya yang masih bisa melihat matahari, akan dengan mudah bisa menetapkan posisi kota Makkah.

Caranya cukup dengan melihat posisi matahari berada, karena tepat di bawahnya terletak kota Makkah. Pada kejadian itu tentu saja Makkah sedang berada dalam posisi tengah hari, kira-kira jam 12.18 di bulan Mei atau jam 12.27 di bulan Juli.

Tetapi bagi wilayah lain, boleh jadi ada perbedaan jam. Atau kalau kita gunakan standar GMT berarti jam 09.18 dan jam 09.27. Khusus untuk waktu Indonesia bagian barat, detik-detik matahari tepat berada di kota Makkah pada tanggal 26 sampai 30 Mei pada jam 16.18 WIB.

Sedangkan pada tanggal 14 sampai 18 Juli pada jam 16.27 WIB. Rentang waktunya hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja, begitu waktu bergerak lagi, maka posisi matahari akan bergeser lagi, tidak lagi ada di atas kota Makkah. Kalau tidak ada mendung atau awan yang menutupi, pada detik-detik itu selama kurang lebih 5 menit, posisi matahari akan tepat berada di atas kota Makkah.

Jadi tinggal kita tandai saja posisi arah matahari, di situlah posisi ka’bah yang tepat berada di tengah kota suci Makkah Al-Murramah. Kalau terlewat, masih ada kesempatan kedua, kita tunggu sampai nanti bulan Juli, tepatnya tanggal 14 s/d 18 Juli.

Kita lihat matahari pada jam 16.27 sore hari. Saat itu menurut perhitungan, matahari akan kembali melewati tepat di atas kota Makkah, dalam perjalanan semunya ke arah Selatan.

Negara Yang Tidak Bersamaan Siangnya Dengan Makkah

Lalu bagaimana dengan negari yang tidak mengalami siang bersama Mekkah? Bisakah memanfaatkan posisi matahari? Jawabnya tetap bisa. Khusus untuk negeri yang berlawanan siang dan malam dengan kota Makkah, bisa diperhitungkan dengan posisi lawannya di balik bumi.

Posisi matahari yang tepat berada di balik bumi yang berlawanan dengan kota Makkah bisa dijadikan patokan, yaitu setiap tahun pada 28 November 21:09 UT (29 November 04:09 WIB) dan 16 Januari 21:29 UT (17 Januari 04:29 WIB).

Jadi logikanya, arah kiblat adalah arah yang berlawanan dengan arah matahari pada hari dan jam serta menit tersebut di atas. Halangannya cuma satu, yaitu cuaca buruk. Dalam keadaan cuaca buruk yang tidak bersahabat, matahari tidak terlihat, metode ini jadi tidak berguna.

Karena metode ini mengandalkan penglihatan kita langsung ke arah posisi matahari. Seandainya cuaca cerah dan matahari nampak bersinar, maka anak kecil juga bisa menetapkan arah kiblat. Syariah Islam itu mudah memang.

Ahmad Sarwat

Fatwa Dewan Pimpinan MUI untuk Lia Aminuddin


Fatwa Dewan Pimpinan MUI

Tentang

Malaikat Jibril Mendampingi Manusia

Memperhatikan :

1. Surat dari Ir. Andan Nadriasta tanggal 4 Oktober 1997 yang bertanya dan mengharapkan ada penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia tentang ajaran kelompok pengajian yang dipimpin oleh Ibu Lia Aminuddin, Jln. Mahoni 30 Jakarta Pusat 10460 Telp. 4207420-4247218.

Dalam surat itu dinyatakan, antara lain, bahwa Ibu Lia Aminuddin ditemani (didampingi) oleh Malaikat Jibril.

Pengajian atau ajaran yang disampaikan Ibu Lia itu pada hakikatnya adalah ajaran yang dibawa Malaikat Jibril melalui Ibu Lia.

Hal demikian, menurut pengirim surat, jelas dapat meresahkan umat karena bertentangan dengan akidah Islam;

2. Penjelasan Ibu Lia Aminuddin kepada Sekretaris Komisi Fatwa MUI pada Selasa, 4 Nopember 1997, bahwa benar ia didampingi dan mendapat ajaran dari Malaikat Jibril.

3. Penjelasan Ibu Lia Aminuddin dalam Sidang Komisi Fatwa tanggal 11 Nopember 1997, yang antara lain, mengatakan:

a. Setelah merasa dikecewakan oleh sikap Anton Medan dan dua kiai ( Nur Muhammad Iskandar dan Zainuddin MZ ) mengenai masalah Yayasan At- Ta’ibin, Ibu Lia setiap malam menangis dan mengadu kepada Allah tentang ketidakadilan dan kebenaran yang dirasakannya tidak ada.

Ibu Lia yang mengaku sangat awam dalam bidang agama Islam pada suatu malam mengalami suatu peristiwa: seluruh badan bergetar, keringat bercucuran, tetapi ia merasa kedinginan.

Esok harinya tiba-tiba ia bisa melihat segala sesuatu ( misalnya ia dapat mengetahui bahwa sebuah mobil yang dilihatnya adalah hasil korupsi ) dan dapat mengobati berbagai penyakit.

b. Setelah itu, ia didatangi oleh makhluk gaib yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Makhluk itu kemudian diketahui ( mengaku ) sebagai malaikat bernama Habib al-Huda.

c. Pada suatu hari, seorang pasien bernama Indra yang menurut Ibu Lia, kasyaf jin memberitahukan bahwa pendamping Ibu Lia adalah malaikat Jibril.

Kemudian di hari lain, datang lagi seseorang yang memberikan kesaksian serupa.

Dan ketika Ibu Lia bertanya kepada pendampingnya tentang kebenaran kesaksian dua orang tersebut, pendamping itu membenarkan dan mengaku bahwa sebenarnya ia adalah Malaikat Jibril.

d. Ibu Lia kemudian disuruh beribadah umrah oleh “Jibril” untuk mendapat kesaksian ( pembuktian ) bahwa ia adalah Jibril.

Sepanjang perjalanan umrah ia melihat peristiwa-peristiwa yang memberikan keyakinan kepadanya bahwa pendampingnya itu benar-benar Jibril.

e. Ibu Lia juga menjelaskan bahwa ia dapat berkomunikasi dengan Jibrilnya jika ia dan Jibril tidak bisa dating semaunya. Tegasnya, kedatangan Jibril tidak bergantung pada Ibu Lia, kecuali jika ada amanat yang harus disampaikan kepadanya.

4. Keputusan Sidang Komisi Fatwa dan Hukum

Majelis Ulama Indonesia, pada hari Selasa, 11 Nopember 1997 dan 3 Desember 1997, yang membahas tentang “kemungkinan manusia pada saat ini (setelah wafat Nabi Muhammad s.a.w) didampingi serta dapat berkomunikasi dan mendapat ajaran dari Malaikat Jibril”.

Menimbang:

1. Bahwa akidah (aqidah) dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan sangat penting dan harus didasarkan pada dalil-dalil qat’iy, oleh karena itu, akidah tersebut harus dijaga dan dilindungi kemurniannya.

2. Bahwa masalah Jibril merupakan masalah penting yang menyangkut akidah Islam; oleh karena itu, akidah atau keimanan (kepercayaan) kepada Jibril harus berlandaskan dan tunduk pada dalil-dalil qat’ iy.

3. Bahwa menurut akidah Islam, Jibril hanya turun kepada para nabi untuk menyampaikan wahyu Allah, dan mengingat Nabi. Muhammad saw adalah nabi terakhir maka Jibril tidak lagi turun menemui manusia untuk menyampaikan wahyu.

4. Bahwa pengakuan seseorang, dalam hal ini Ibu Lia Aminuddin, didampingi dan mendapat ajaran dari Jibril harus segera ditanggapi dan diluruskan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Mengingat:

1. Salah satu rukun Iman dalam sistem akidah Islam – yang wajib diyakini dan menjadi akidah setiap muslim – adalah iman kepada malaikat. Cukup banyak ayat al-Qur’an menjelaskan hal ini: antara lain firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan; akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …. “ (QS. al-Baqarah [2]:177)

“…. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikatmalaikat- Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya”(QS. an-Nisa [4]: 136).

2. Menurut ajaran Islam (al-Qur’an), malaikat adalah makhluk gaib dan termasuk ke dalam hal (alam) yang gaib. Mengenai hal yang gaib, Allah berfirman: ’(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib; maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya; maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya “ (QS. Al-Jinn [72]:26-27).

3. Atas dasar itu, dalam melaksanakan keimanan kepada malaikat yang gaib itu, setiap muslim yang yakin (beriman) bahwa sumber akidah dalam Islam mengenai persoalan gaib hanyalah al-Qur’an semata, harus tunduk dan mengikuti, serta terbatas pada keterangan yang dijelaskan oleh al-Qur’an, baik menyangkut materi mereka, sifat, tugas, maupun dalam hal melihat mereka. Malaikat, dalam akidah muslim, adalah makhluk (alam) gaib yang tidak dapat diketahui oleh manusia melalui idrak basyari (intelek manusia). Mereka hanya dapat diketahui melalui pemberitaan valid (al-khabar as-sadiq) dari Allah SWT. Yaitu: keterangan yang terdapat dalam al-qur’an. (perhatikan Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari‘ah, Dar al-Qalam, 1966, h. 32). Dengan kata lain, pengetahuan tentang malaikat haruslah berdasarkan wahyu.

4. Perintah al-Qur’an agar beriman kepada malaikat tersebut, pada dasarnya, bukan hanya beriman dari sudut bahwa mereka adalah makhluk yang benar-benar ada semata, melainkan juga dari sudut tugastugas mereka yang berkaitan erat dengan misi penting ajaran agama, yaitu, antara lain, pembersihan jiwa (at-tahzib an-nafsiy) dan pengarahan terhadap kebaikan. (perhatikan ibid., h. 35).

5. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat malaikat; di antaranya adalah:

a. bahwa malaikat itu suci dari sifat-sifat manusia (a’rad al-basyariyah) seperti lapar, sakit, makan, tidur, bercanda, berdebat, dst. Hal ini ditunjukkan oleh Allah, melalui dalalah iltizam, dalam firman-Nya: “Mereka (malaikat) selalu bertasbih (beribadah kepada Allah) pada waktu malam dan siang hari tiada hentihentinya.” (QS. al-Anbiya [21]: 20)

b. bahwa malaikat itu selalu takut (al-khaufi dan taat kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya: “Mereka (malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) “ (QS. An-Nahl [ 16]:

“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’. Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimulaikan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala apa yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya “ (QS. Al-Anbiya [21]: 26-28).

c. bahwa malaikat itu selalu taat kepada Allah, tidak durhaka (melakukan maksiat) kepada-Nya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Anbiya [21]: 26-28 di atas dan dalam firman-Nya:“… mereka (malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (at-Tahrim [66]: 6). Termasuk durhaka kepada Allah adalah berbohong. Dengan demikian, tidak mungkin ada malaikat berbohong, seperti hari ini ia mengaku bernama Jibril dan esok harinya atau kemarin mengakui selain Jibril.

d. bahwa malaikat itu mempunyai sifat malu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi: “Bagaimana aku tidak malu terhadap seorang laki-laki yang malaikat pun malu terhadapnya” (HR. Muslim).

e. bahwa malaikat itu merasa sakit (tidak suka, terganggu) dengan hal-hal yang tidak disenangi (makruh), misalnya bau tidak sedap; demikian juga anjing dan patung, sebagaimana halnya manusia. Nabi menjelaskan:“Barang siapa makan bawang putih, bawang merah, dan bawang bakung janganlah mendekati masjid kami, karena malaikat merasa sakit (terganggu) dengan hal-hal yang membuat manusia pun merasa sakit” (HR. Muslim).

“Dari Salim, dari ayahnya, ia berkata: Jibril berjanji kepada Nabi, namun kemudian ia terlambat datang sehingga hal itu menyusahkan hati Nabi. Kemudian Nabi keluar dan dijumpai Jibril. Nabi mengadu kepadanya tentang apa yang ia dapatkan. Jibril menjawab: “Kami tidak akan masuk ke dalam rumah yang didalamnya terdapat gambar dan anjing.

6. Malaikat Jibril, sebagai salah satu malaikat yang menurut al-Qur’an mempunyai nama lain seperti ar-ruh, ar-ruh al-qudus, dan ar-ruh al-amin, tentu memiliki sifat-sifat malaikat pada umumnya. Di samping itu, malaikat Jibril memiliki sifat lain dan tugas tertentu, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam:

a. Firman Allah:  “Sesungguhnya al-Qur’an itu benarbenarfirman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila; dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang” (QS. At-Takwir [81]: 19-23).

b. Firman Allah: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan “ (QS. AsySyu’ara [261192-194). Ayat Qur’an di atas (QS. Asy-Syu’ara: 192-194) menegaskan bahwa (1) Malaikat Jibril mempunyai tugas menyampaikan/menurunkan pesan dan ajaran dari Allah, (2) pesan dan ajaran yang dibawa turun oleh malaikat Jibril adalah kalam (wahyu dari) Allah, dalam hal ini al-Qur’an, (3) wahyu tersebut dibawa turun oleh malaikat Jibril kedalam hati (kalbu) Nabi Muhammad, dan (4) bahwa tujuan penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad ialah agar ia menjadi nabi (munzir). Atas dasar ini, maka (1) tidak dapat dibenarkan jika Jibril membawa turun selain wahyu, misalnya pendapat atau penjelasan dari Jibril sendiri, baik kepada Nabi Muhammad maupun orang lain, (2) sesudah Nabi Muhammad wafat Jibril tidak akan lagi menurunkan wahyu maupun ajaran kepada siapapun, karena Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan ajaran Allah untuk umat manusia telah dinyatakan sempurna. Dua hal disebut terakhir ini, yakni bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan bahwa ajaran Allah untuk umat manusia telah sempurna dijelaskan dalam firman Allah: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “ (QS. Al-Ahzab [33]: 40). “… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu… “ (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).

7. Jibril, sebagaimana dijelaskan di atas hanyalah bertugas menyampaikan wahyu dari Allah dan ia tidak diberi wewenang oleh Allah untuk menjelaskan kandungan (isi dan maksud)-nya. Dalam hal al-Qur’an, tugas menjelaskannya dibebankan kepada Nabi, sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah: “….Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al- Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl [ 16]:44) Selain Nabi, tugas menjelaskan al-Qur’an juga menjadi tanggung jawab para ulama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, antara lain:“… Maka bertanyalah kepada orang yang mempunvai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui “ (QS. an-Nahl [16]:43). Jelaslah kiranya bahwa malaikat, termasuk juga Jibril, menurut al-Qur’ an tidak mempunyai wewenang untuk menafsirkan atau menjelaskan maksud al-Qur’an, sedangkan pengetahuan tentang tugastugas malaikat haruslah berdasarkan wahyu (al-Qur’an dan Hadis) sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, pengakuan siapapun bahwa Jibril telah menafsirkan al-Qur’an tidak dapat dibenarkan.

8. Ayat lain yang menjalaskan bahwa tugas Jibril adalah menyampaikan wahyu antara lain: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana “ (QS. Asy-Syura [42]:51). “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan “ (QS. Al-Qadr [97]:4)

9. Sebagaimana malaikat pada umumnya yang tidak akan pernah melakukan maksiat, misalnya melihat aurat, Malaikat Jibril tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang didalamnya ada aurat terbuka. Ini dapat diketahui dari hadis berikut:

“Terdapat keterangan (hadis) bahwa Khadijah r.a. pernah mencoba (menguji) turunnya wahyu kepada Rasul dengan melepaskan kerudung dari kepalanya. Jika ia membuka rambutnya, tenanglah keadaan Rasul; dan jika ia menutup rambutnya, keadaan Rasul kembali seperti semula. Hal itu ia lakukan karena ia mengetahui bahwa malaikat Jibril tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada seorang perempuan yang terbuka kepalanya. Oleh karena itu, ketika membuka kepalanya ia (Khadijah) bertanya kepada Rasul: ‘Apakah engkau melihatnya (Jibril)?’ Rasul menjawab: ‘Tidak!’ Khadij ah berkata: ‘Wahai putra paman! Tabah dan bergembiralah! Demi Allah! (Yang datang kepada engkau) itu adalah malaikat, dan bukan syaitan’.” (Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, h. 268). ( adalagi dilain kisah , bahwa beliau membuka pakaiannya- wallahu ‘alam ).

10. Malaikat Jibril hanya turun dan dating kepada Nabi Muhammad atas izin dan perintah Allah. Tanpa izin dan perintah Allah ia tidak akan turun, betapa pun Nabi Muhammad sangat menginginkan dan mengharapkan. Cukup banyak peristiwa yang memerlukan segera mendapat jawaban dan penjelasan wahyu, tetapi Jibril tidak kunjung datang membawa wahyu. Contoh penantian Nabi yang paling mendesak adalah peristiwa menggemparkan yang menuduh ‘Aisyah r.a., isteri Nabi, berbuat serong (hadis al-ifki). Di samping itu, Nabi pernah meminta kepada Jibril agar lebih sering dating mengunjungi Nabi, tetapi Jibril menjawab bahwa kunjungannya harus atas izin Allah. Hal ini dij elaskan dalam hadis berikut: “Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah berkata kepada Jibril: ‘Apa yang menghalangimu untuk berkunjung kepada kami lebih sering dari kunjunganmu selama in?’ Nabi berkata. Lalu turunlah ayat : ‘Dan tidaklah kami (Jibril) turun kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakangkita, dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa’. “ (QS. Maryam [19]: 64). (Lihat Matn al-Bukhari bi-Hasyiyah as-Sindi, [Bairut: Dar al-Fikr,1995], jilid II, h. 245).

11. Menurut al-Qur’an, manusia dapat melihat, ditemui, atau bahkan dibantu oleh malaikat, dan itu termasuk karamah. Misalnya seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:“(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’’ (QS. al-Anfal [8]; 9). Mengingat hal tersebut sebagai karamah, tentu sahib al karamah (orang yang mempunyai karamah) diharuskan memenuhi suatu persyaratan, yaitu amal perbuatannya harus sesuai dengan dan berdasarkan Kitab (al-Qur’an) dan sunnah atau menurut Abu Yazid al-Bustami, ia harus memahami dan mengamalkan awamir dan nawahi (perintah dan larangan agama). Dengan memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT.

MEMUTUSKAN

Memfatwakan :

Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan meyesatkan.

Menghimbau kepada :

1. Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadis.

2. Masyarakat umat Islam agar berhati-hati dan tidak mengikuti akidah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.

3. Majelis Ulama Indonesia bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Ibu Lia Aminudin dan jama’ahnya, serta orang lain yang memiliki keyakinan serupa.

4. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan : Jakarta, 22 Desember 1997 M

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua Umum KH. Hasan Basri | Sekretaris Drs. H.A. Nazri Adlani

Kisah Ratu Khadijah “Seorang Muslimah Pertama Yang Mati Syahid Di Bali”


raden ayu made rai siti khadijah (siti khadijah)

Kisah Ratu Khadijah “Seorang Muslimah Pertama Yang Mati Syahid Di Bali”

Februari 10, 2012Tinggalkan sebuah Komentar

Taru rambut ini tumbuh tepat di pusara atau makam kramat Raden Ayu Pemecutan alias Gusti Ayu Made Rai berada di tengah setra Badung, tepatnya di jalan Gunung Batukaru sekarang. Di bawah sebuah pohon kepuh yang besar, ada sebuah kuburan yang khusus untuk salah seorang keluarga Puri Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Pemecutan. Bagaimana bisa terjadi adanya taru rambut pada sebuah makam kramat tersebut? Kisah ceritanya adalah sebagai berikut : Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara.

Sang raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya.

Singkat ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat.

Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat dan mengijinkan mengikuti sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran Cakraningrat.

Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.

Setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan. Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung). Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut, disangka Raden Ayu sedang mempraktekkan ilmu hitam atau ngeleak. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam.

Patih Kerajaan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Raja. Dan mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan Badung. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Raden Ayu.

Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih (lekesan, Bali). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.

Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau. Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.

Pada suatu hari gegumuk (kuburan) Raden Ayu tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan Gelogor, dan kemudian tumbuh lagi. Sampai akhirnya yang ketiga kalinya, pohon tersebut tumbuh kembali. Jero sedahan Gelogor bersama Sedahan Moning kemudian bersemedi di hadapan makam tersebut, didapatkan petunjuk agar pohon yang tumbuh di atas kuburan beliau agar dipelihara. Karena melalui pohon tersebut beliau akan memberikan mukjijat kepada umat yang bersembahyang di tempat tersebut. Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut. Pohon itu disebut taru rambut.

Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan dimakam kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu) Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan). Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi. Kini makam kramat tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah baik warga muslim untuk nyekar maupun tirakat. Demikian pula dengan warga Hindu banyak yang datang kesana, baik hanya untuk bersembahyang, maupun untuk permohonan tertertentu.

Sumber Catatan Majelis Rasulullah Saw Jatiwaringin

Hadits Shahih Bukhari dan Muslim Pasti Shahih


Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu agar tidak rancu dalam memahami duduk permasalahannya.

Al-Imam Al-Bukhari adalah seorang muhaddits yang lahir tahun ( 810 H – 896 H ). Beliau banyak melakukan kritik hadits dan masterpiece beliau adalah kitab yang disebut dengan istilah Ash-Shahih.

Orang biasa menyebutnya dengan shahih Bukhari. Judul lengkapnya adalah

Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad Al-Mukhtashar min Haditsi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam wa sunanihi wa ayyamihi.

Kitab yang berisi 7.275 hadits secara terulang-ulang atau 4000 hadits bila tidak diulang-ulang ini oleh semua ahli hadits diakui sebagai kitab yang sudah mengalami seleksi yang teramat ketat dan tidak main-main.

Agar sebuah hadits bisa lolos seleksi ketat Al-Imam Bukhari dan tertulis di dalamnya, maka proses yang dialaminya menjadi sangat panjang.

Misalnya, para perawi yang meriwayatkan hadits ini harus lolos seleksi yang teramat ketat.

Karena Al-Bukhari menelusurinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyaris tidak ada seorang pun yang pernah berdusta yang akan dipakai hadits oleh beliau.

Bahkan jangankah berdusta, sekedar berpakaian kurang sopan dan tidak selayaknya dalam pandangan masyarakat, sudah dinilai miring oleh beliau.

Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang tersebut pastilah mengalami diskualifikasi. Tidak masuk ke dalam jajaran hadits di dalam kitab beliau.

Maka keshahihan semua hadits yang ada di dalam kitab As-Shahih yang disusun oleh Al-Bukhari telah menjadi ijma’ ulama sedunia. Bahkan kitab ini mendapat julukan kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Kariem.

Kitab Karya Al-Bukhari Selain Ash-Shahih

Namun yang jarang diketahui adalah ternyata Al-Imam Al-Bukhari punya karya hadits yang lain selain kitab Ash-Shahihnya.

Di mana karya-karya itu memang memuat hadits, namun beliau sendiri tidak menjamin apakah hadits yang ada di dalam karyanya itu shahih atau tidak.

Kalau beliau tidak menjamin, bukan berarti pasti tidak shahih. Tidak demikian cara kita memahaminya. Namun beliau tidak melakukan penyeleksian seperti ketika menyusun Ash-Shahih.

Di antara kitab yang pernah ditulis oleh beliau adalah duakitab kecil yang diberi judul Raf’ul Yadain (mengangkat kedua tangan) dan Ashshalatu khalfal imam (shalat di belakang imam).

Kedua kitab ini cukup tipis, meski berisi hadits juga. Dan beliau tidak menjaminkan keshahihan hadits-hadits yang ada di dalamnya.

Selain itu juga ada kitab Adabul Mufrad yang berisi sekitar1000-an hadits, di mana beliau pun tidak memberikan jaminan keshahihannya.

Selain kitab hadits, ternyata Al-Imam Al-Bukhari juga seorang penulis sejarah. Dua kitab sejarah yang beliau susun adalah At-tarikh Al-Kabir dan At-Tarikh Ash-Shaghir.

Keduanya sejak pertama kali ditulis, sama sekali tidak bicara tentang hadits nabawi. Kitab ini adalah kitab sejarah, jadi sama sekali bukan kitab hadits.

Maka jangan berharap untuk mendapatkan hadits-hadits yang shahih sebagaimana yang kita dapat dari kitab Ash-Shahih.

Kesimpulan

Jadi semua hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahih dipastikan atau dijamin keshahihannya.

Sedangkan bila tidak terdapat di dalamnya, meski pun ditulis oleh Al-Bukhari, belum tentu hadits itu shahih.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Khilaf Dalam Menilai Derajat Keshahihan Hadis

Sesungguhnya khilaf pada ulama hadits tentang penilaian mereka atas keshahihan suatu hadits adalah hak yang sudah terjadi sejak dahulu.

Suatu hadits yang dishahihkan oleh Imam Bukhari belum tentu masuk ke dalam kitab Shahih Muslim. Demikian juga sebaliknya.

Bahkan haditsyang telah masuk ke dalam kitab Shahih Bukhari, oleh sebagian kalangan masih ada yang diragukan validitasnya.

Misalnya pendapat-pendapat Ibnu Khuzaemah atau bahkan Syeikh Nasiruddin Al-Albani sendiri. Pendeknya, berbeda pendapat bukan hal yang asing di kalangan ulama salaf.

Bahkan khilaf di antara ulama yang sering dijadikan tokoh rujukan oleh mereka yang mengaku salaf, tidak pernah sepi dari perbedaan pandangan.

Begitu banyak pendapat Syeikh Nasirudin Al-Albani rahimahullah yang bertentangan dengan pendapat Syeikh Bin Baz. Dan pendapat keduanya juga seringkali berbeda dengan pendapat Syeikh Al-‘Utsaimin.

Padahal para ulama itu seringkali dijadikan rujukan utama. Fatwa dan hasil ijtihad mereka selalu menghiasi lembar-lembar dakwah kalangan ini.

Walhasil

Kalau ada saudara-saudara kita yang saling menuding sebagai sesat atau ahli bid’ah, bahkan sampai tidak mau bertegur sapa satu dengan lainnya, hanya lantaran perbedaan pendapat dalam ijtihad, sungguh sangat disayangkan. Sebab yang mereka sikapi dengan arogan itu sesungguhnya hanya sebuah pendapat di antara sekian banyak pendapat.

Lebih tepat bila sikap kasar dan keras itu ditujukan kepada orang-orang kafir harbi yang jelas-jelas telah membunuh jutaan nyawa umat Islam, semacam Slobodan Milosevic, George Bush atau Tony Blair.

Tapi kalau hanya karena berbeda cara menilai keshahihan suatu hadits, lantas kita memaki-maki saudara muslim kita sendiri, bahkan menyudutkan, menggunjingkan, aau malah memvonisnya sebagai ahli neraka, sungguh sangat memalukan.

Tetapi itulah kenyataannya, saling maki dan saling cela itu bahkan ditulis di berbagai macam situs yang dibaca oleh ribuan orang, bahkan diterbitkan dalam berbagai majalah dan buku, termasuk di dalam VCD dan kaset, padahal penyebabnya hanya sebatas perbedaan pendapat, sungguh merupakan azab buat umat Islam.

Ahmad Sarwat, Lc

Mengusap Wajah setelah berdo’a


Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

.

1. Dalam masalah mengusap wajah, para ulama berbeda pendapat. Penyebabnya karena para ahli hadits berbeda pendapat dalam menetapkan kekuatan dalilnya. Dan selama suatu masalah masih merupakan khilafiyah di kalangan ulama, setiap muslim berhak untuk memilih mana yang sekiranya lebih dipilihnya.

Sebagian dari mereka mendhaifkan hadits tentang mengusap wajah setelah berdoa, seperti Syaikh Nasiruddin Al-Albani dan lain-lainnya. Bahkan beliau sampai mengatakan bid’ah. Di antanya adalah hadits-hadits ini:

فإذا فرغتم فامسحوا بها وجوهكم

Apabila kalian telah selesai (berdoa), maka usapkan tangan ke wajah kalian.

Beliau mengatakan bahwa lafadz di atas adalah syahid yang tidak benar dan mungkar karena ada di antara para perawinya ada yang muttaham fil wadh’i. Abu Zar’ah juga mengatakan bahwa hadit ini mungkar dan dikhawatirkan tidak ada asalnya. Demikian disebutkan dalam As-Silsilah As-Shahihah jilid 2 halaman 146.

Sedangkan ulama lainnya yang sama-sama mendha’ifkan hadits tentang itu, tidak sampai mengatakan bid’ah. Di antara mereka ada Ibnu Taimiyah, Al-‘Izz ibnu Abdissalam dan lainnya. Lantaran hadits yang dianggap dha’if masih bisa digunakan asal untuk masalah fadhailul a’mal (keutamaan amal).

Ibnu Taimiyah berkata, “Sedangkan mengusap wajah dengan dua tangan, hanya ada dasar satu atau dua hadits yang tidak bisa dijadikan hujjah.” (Lihat Majmu’ Fatawa jilid 22 halaman 519).

Al-‘Izz ibnu Abdissalam berkata, ” Tidak ada orang yang mengusap tangan ke wajahnya setelah berdoa kecuali orang yang jahil.”

عن عمر بن الخطاب أنه قال:‏ كان رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم إذا رفع يديه فى الدعاء لم يحطهما حتى يمسح بهما وجهه.‏ رواه الترمذى

Dari Umar bin Al-Khattab ra. berkata, “Rasulullah SAW bila mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, tidak melepaskannya kecuali setelah mengusapkan keduanya ke wajahnya.” (HR Tirmizy)

Perawi hadits ini yaitu Imam At-Tirmizy mengatakan bahwa hadits ini gharib, maksudnya perawinya hanya satu orang saja.

Hadits yang sama namun lewat jalur Ibnu Abbas ra. dengan esensi yang sama, diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya. Namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini bahwa dalam isnadnya, setiap orang ada kelemahannya. (Lihat Al-Azkar An-Nawawi halaman 399).

Di pihak lain, sebagian ulama tetap bisa menerima masyru’iyah mengusap tangan ke wajah, meski masing-masing haditsnya dhaif. namun saling menguatkan satu dengan lainnya. Selain telah menjadi umumnya pendapat ulama bahwa bila hadits dha’if digunakan untuk ha-hal yang bersifat keutamaan, masih bisa dijadikan hujjah, asalkan kedha’ifannya tidak terlalu parah.

Maka Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Subulus-Salam mengatakan bahwa meski hadits-hadits tentang mengusap wajah itu masing-masing dhaif, namun satu sama lain saling menguatkan. Sehingga derajatnya naik menjadi hasan. (Lihat Subulus-salam jiid 4 halaman 399).

Kesimpulan masalah ini memang para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukumnya. Ada yang menjadikannya mustahab (sunnah), tetapi ada juga yang meninggalkannya.

2. Shalat yang ditunda pelaksaannya sebenarnya tetap sah, meski nilainya berbeda. Asalkan dikerjakan masih di dalam waktunya sebagaimana ditetapkan dalam syariah.

Namun juga masih harus dilihat kasus dan sebabnya. Mengapa suatu shalat ditunda pelaksanaannya. Khusus untuk shalat Isya’, ada dalil yang malah menganjurkan untuk diakhirkan.

Namun tidak benar kalau dipahami bahwa shalat yang dikerjakan bukan di awal waktu lalu tidak sah atau tidak ada pahalanya di sisi Allah. Shalat itu tetap sah dan tetap ada pahalanya, namun berbeda dengan bila dikerjakan di awal waktu.

3. Sejajar antara imam dan makmum dibenarkan, asalkan makmum tidak melewati imam. Sebaiknya agak ke belakang sedikit untuk memastikan makmum tidak melanggar batas imam.

4. Yang biasanya dijadikan ‘illat para ulama adalah karena bawang itu bila dimakan akan membuat mulut berbau dan mengganggu pergaulan, sehingga hukumnya makruh. Tapi bila tidak sampai mengganggu pergaulan, misalnya setelah itu menyikat gigi atau tidak bertemu dengan banyak orang, tidak ada masalah tentunya.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

(eramuslim)

Imam menghadap Makmum setelah salam


 

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang seringkali anda saksikan tentang imam shalat yang berputar posisi menghadap ke jamaah atau ke kanan atau ke kiri, semua memang ada dalil haditsnya. Semua merupakan rekaman para shahabat ketika ikut shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW.

Beberapa di antara hadits yang menyebutkan tentang perbuatan Rasulullah SAW ketik

a selesai shalat kemudian menghadapkan wajahnya kepada makmum adalah hadits berikut ini:

.

عن سمرة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى صلاة أقبل علينا بوجهه – رواه البخاري

Dari Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila selesai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami.

(HR. Bukhari)

Terkadang beliau tidak sepenuhnya menghadap kepada makmum, melainkan hanya berputar 90 ke arah kanan, sehingga makmum ada di sisi kanan dan kiblat ada di sisi kiri beliau. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini.

عن أنس رضي الله عنه قال: أكثر ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينصرف عن يمينه – رواه مسلم

Dari Anas ra berkata,”Seringkali aku melihat Rasulullah SAW berputar ke kanan (setelah shalat).”

(HR. Muslim)

Namun terkadang beliau malah menghadap ke arah kiri 90 derajat, sehingga makmum ada di sisi kiri dan kiblat ada di sisi kanan, sebagaimana juga ada dalilnya berikut ini.

عن قصيبة بن هلب عن أبيه أنه صلى مع النبي صلى الله عليه وسلم فكان ينصرف عن شقيه – رواه أبو داود وابن ماجة والترمذي وقال حيث حسن

Dari Qushaibah bin Hulb dari ayahnya bahwa dia shalat bersama Nabi SAW, beliau berputar ke dua arah (kanan dan kiri). (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, At-Tirmizy)

Bahkan ada hadits yang menyebutkan beliau menghadap ke kanan dan ke kiri.

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: أكثر ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينصرف عن شمله – رواه البخاري ومسلم

Dari Ibnu Mas’ud ra berkata,”Seringkali aku melihat Rasulullah SAW berputar ke kiri (setelah shalat).”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menyebutkan bahwa dengan adanya beberapa dalil di atas, bisa disimpulkan bahwa memang terkadang beliau SAW selesai shalat menghadap ke belakang, terkadang menghadap ke samping kanan dan terkadang menghadap ke samping kiri.

Karena demikian rupa Rasulullah SAW melakukannya, maka buat kita hal itu menjadi teladan dan ikutan dalam ibadah shalat. Meski pun demikian, dari segi hukum tidak sampai kepada wajib, tetapi sunnah dan anjuran.

Jarak Antara Salam dan Bergeser

Adapun pertanyaan anda tentang berapa lama jarak antara salam dengan memutar tubuh menghadap ke belakang atau ke samping, kita juga menemukan beberapa hadits yang berbicara tentang itu. Yaitu sekedar beliau membaca istighfar tiga kali, lalu membaca lafadz Allahumma antassalam dan seterusnya, kemudian beliau segera merubah posisi atau bergeser atau berputar.

عن ثوبان كان رسول الله إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثا وقال: اللهم أنت السلام… – رواه مسلم

Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bila selesai dari shalatnya, beliau bersitighfar tiga kali kemudian mengucapkan: Allahumma antas-salam.” (HR. Muslim)

عن عائشة كان رسول الله إذا سلم لم يقعد إلا مقدار ما يقول: اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت ياذا الجلال والإكرام – رواه مسلم

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila salam (dari shalat) tidak duduk kecuali sekedar membaca: Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya dzal jalali wal ikram.

(HR Muslim)

Hikmah Bergeser
Beberapa ulama mencoba menuliskan sisi lain dari apa yang beliau SAW lakukan. Di antaranya adalah apa yang ditulis oleh Ibn Qudamah di dalam kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 561. Beliau mengatakan bahwa berubahnya arah duduk imam adalah untuk memastikan telah selesainya shalat itu bagi imam. Artinya agar makmum bisa memastikan bahwa imam telah benar-benar selesai dari shalatnya.

Sebab dengan mengubah arah duduk, imam akan meninggalkan arah kiblat, dan hal itu jelas akan membatalkan shalatnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa dengan menggeser arah duduk ke belakang atau ke samping, berarti imam sudah yakin 100% bahwa rangkaian shalatnya sudah selesai seluruhnya dan terputus. Tidak sah lagi bila tiba-tiba teringat mau sujud sahwi atau kurang satu rakaat. Demikian disebutkan di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu Qasim ‘alar-Raudhah jilid 12 halaman 354-355.

Makmum Tidak Bergeser Kecuali Setelah Imam Bergeser

Apa yang anda perhatikan bahwa para makmum berpindah duduk setelah imam mengubah posisi, sesungguhnya berangkat dari sebuah hadits yang melarang makmum bergeser sebelum imam berubah posisi.

عن أنس قال صلى بنا رسول الله ذات يوم فلما قضى الصلاة أثبل علينا بوجهه فقال: أيها الناس إني إمامكم فلا تسبقوني بالركو ولا بالسجود ولا بالقيام ولا بالانصراف – رواه مسلم

Dari Anas ra berkata bahwa suatu hari Rasulullah SAW shalat mengimami kami, ketika selesai shalat beliau menghadapkan wajah kepada kami dan bersabda,”Wahai manusia, aku adalah imam kalian. Janganlah kalian mendahului aku dalam ruku,sujud, berdiri atau berpindah.”

(HR. Muslim)

Dengan landasan hadits ini maka di dalam kitab kitab Fatawa-nya jilid 22 halaman 505 Imam Ibnu Taymiyah mengatakan hendaknya makmum tidak berdiri pergi meninggalkan tempat shalat kecuali setelah imam berpindah atau menggeser arah duduknya dari arah kiblat.

Sehingga wajar bila anda menyaksikan bahwa para makmum berpindah posisi setelah imam berputar arah. Semua berangkat dari hadits ini.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc

(eramuslim)

Shalat Jum’at vs Shalat Ied – apanya yang gugur


Oleh: Ahmad Sarwat, Lc

warnaislam.com – Masalah ini memang sering ditanyakan ke saya, yaitu masihkah kita wajib shalat Jumat kalau pagi harinya kita sudah shalat Ied? Atau dengan kata lain, apakah shalat Idul Adha yang jatuh di hari Jumat, akan menggugurkan kewajiban shalat Jumat di siang harinya.

Jawabnya, masalah ini adalah masalah yang telah disepakati oleh jumhur ulama, namun ada satu mazhab, yaitu al-hanabilah, yang punya pandangan berbeda.

 1. Pendapat Jumhur Ulama

Jumhur ulama, [ selain Al-hanabilah ], meski ada beberapa dalil hadits, sepakat bahwa shalat Jum at tetap wajib dilakukan, meski hari itu adalah hari raya, baik Idul fithri maupun Idul Adha.

Mereka yang secara sengaja meninggalkan shalat Jumat di hari itu, selain berdosa juga wajib melaksanakan shalat Dzhuhur.

Sebab dalam pandangan mereka, shalat Jumat tetap wajib hukumnya.

Dalam pandangan mereka, kekuatan dalil-dalil qath’i atas kewajiban untuk melaksanakan shalat Jumat di hari raya tidak bisa dikalahkan oleh dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat.

Sebab kewajiban shalat Jumat didasari oleh Al-Quran, As-sunnah dan ijma’ seluruh umat Islam.

.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

(QS. Al-Jumu’ah : 9)

Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :

.

وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.”

(HR. Abu Daud)

Hadits ini menegaskan bahwa yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat hanya hal-hal tersebut. Dan tidak ada dijelaskan bahwa shalat idul fitri dan idul adha berfungsi menggugurkan shalat jumat.

.

مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ

Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya.”

(HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Selain itu, ancaman buat orang yang meninggalan shalat jumat secara sengaja sangat berat. Bentuknya sampai disebut-sebut bahwa Allah akan menutup hati seseorang, sehingga tidak bisa menerima hidayah dari Allah SWT.

.

لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ  ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ

Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas mimbar,”Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa”.

(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)

Berdasarkan dalil-dalil qath’i di atas, meninggalkan shalat jum’at termasuk dosa-dosa besar.

.

Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim   berkata:  “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancaman, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.

Sedangkan dalil yang membolehkan sebagian shahabat untuk tidak shalat Jumat dalam kasus itu hanya didasari oleh beberapa hadits, yang sebagiannya tidak shahih, atau setidaknya bermasalah.

Lagi pula kalau dalam kasus itu ada keringanan dari Rasululah SAW kepada sebagian shahabat, ternyata Rasulullah SAW sendiri tetap melaksanakan shalat Jumat.

Kalau Rasulullah SAW sendiri tetap melaksanakannya, kenapa harus mengikuti apa yang dilakukan oleh sebagian shahabat. Bukankah kita ini shalat mengikuti Rasulullah?

a. Pendapat Al-hanafiyah dan Al-Malikiyah

Mewakili pendapat jumhur ulama, para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa suatu shalat tidaklah bisa menggantikan shalat yang lainnya dan sesungguhnya setiap dari shalat itu tetap dituntut untuk dilakukan.

Suatu shalat tidaklah bisa menggantikan suatu shalat lainnya bahkan tidak diperbolehkan menggabungkan (jama’) diantara keduanya. Sesungguhnya jama’ adalah keringanan khusus terhadap shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya.

b. Pendapat As-Syafi’iyah

Mewakili juga kalangan jumhur ulama, mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa kebolehan tidak shalat Jumat itu hanya berlaku khusus buat penduduk suatu kampung yang jumlahnya tidak mencukupi angka 40 orang.

Selain itu, orang yang tinggal di tempat terpencil jauh dari peradaban dan tidak mendengar adzan jumat, juga tidak wajib shalat Jumat. tapi mereka yang mendengar suara adzan dari negeri lain yang disana dilaksanakan shalat jum’at maka hendaklah berangkat untuk shalat jum’at.

Dalil mereka adalah perkataan Utsman didalam khutbahnya,” Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari penduduk al ‘Aliyah—Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari sebelah timur—yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.

2. Pendapat Al-Hanabilah

Mazhab ini menyimpulkan bahwa shalat Jumat gugur apabila pada pagi harinya seseorang telah melaksanakan shalat ‘Ied.

Dalil yang mereka kemukakan ada beberapa hadits, antara lain :

.

أن زيد بن أرقم شهد مع الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ عيدين اجتمعا فصلى العيد أول النهار ثم رخص في الجمعة وقال: ” من شاء أن يجمع فليجمع” في إسناده مجهول فهو حديث ضعيف.

Bahwa Zaid bin Arqam menyaksikan bersama Rasulullah SAW dua hari raya (Ied dan Jumat), beliau shalat Ied di pagi hari kemudian memberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat dan bersabda,” Siapa yang mau menggabungkan silahkan.”

(HR. Ahmad Abu Daud Ibnu Majah dan An-Nasai)

Hadits ini isnadnya majhul dan merupakan hadits yang dhaif (lemah).

.

عن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال: “قد اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مُجَمّعُون” رواه أبو داود

Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”

 (HR. Abu Daud)

Terdapat catatan didalam sanadnya. Sementara Ahmad bin Hambal membenarkan bahwa hadits ini mursal, yaitu tidak terdapat sahabat di dalamnya.

Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa orang yang melaksanakan shalat id maka tidak lagi ada kewajiban atasnya shalat jum’at. Namun pandangan ini tetap mewajibkan seorang imam untuk tetap melaksanakan shalat Jumat, jika terdapat jumlah orang yang cukup untuk sahnya suatu shalat jum’at. Adapun jika tidak terdapat jumlah yang memadai maka tidak diwajibkan untuk shalat jum’at.

Kesimpulan :

1. Kebolehan tidak shalat Jumat lantaran jatuh pada hari raya Idul Fithr atau Idul Adha adalah pendapat satu mazhab yaitu mazhab Imam Ahmad. Selebihnya, mayoritas ulama, seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, tetap mewajibkan shalat Jumat.

2. Seandainya ada saudara kita yang kelihatan cenderung kepada pendapat Al-Hanabilah yang menganggap shalat Jumat telah gugur, kita perlu menghormati hal itu sebagai sebuah pendapat. Beda pendapat itu bukan berarti kita harus bermusuhan kepada mereka.

3. Pendapat mayoritas ulama termasuk di dalamnya Asy-Syafi’iyah yang tetap mewajibkan shalat Jumat, menurut pandangan saya -wallahu a’lam- lebih kuat, selain karena pendapat mayoritas ulama, juga karena beberapa alasan :

a. Dalil tentang wajibnya shalat Jumat adalah dalil yang bersifat Qath’i, didukung oleh Quran, Sunnah yang shahih dan ijma’ seluruh umat Islam sepanjang 14 abad.

b. Dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat adalah dalil yang hanya didasari oleh beberapa hadits saja.

c. Bila ada dua kelompok dalil yang bertentangan, maka kebiasaan para ulama adalah mencari titik temu keduanya. Dan dalam pandangan saya, titik temunya adalah bahwa yang diberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat adalah mereka yang tinggal di luar kota Madinah. Dimana pada dasarnya, di luar momentum hari Raya sekalipun, mereka memang sudah tidak wajib shalat Jumat.

Dan karena pada hari raya mereka masuk ke kota dan ikut shalat Id, maka kalau siangnya mereka tidak mau ikut shalat Jumat, tentu tidak mengapa. Karena mereka itu pada hakikatnya bukan termasuk orang yang muqim di kota Madinah. Mereka adalah penduduk bawadi (tempat yang tidak dihuni manusia).

Sedangkan kita yang memang penduduk yang bermukim di tempat yang dihuni manusia, sejak awal memang sudah wajib untuk melaksanakan shalat Jumat. Sehingga kalau dalil-dali kebolehan tidak shalat Jumat di atas mau dipakai untuk kita, ada perbedaan konteks.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

AlBani – Shalat Jum’at vs Shalat Ied


Fatwa Syaikh AlBani dalam Kitab Al Ajwibah An Nafi’ah

.

ظاهر حديث زيد بن أرقم عند أحمد وأبي داود والنسائي وابن ماجه بلفظ:

“أنه صلى الله عليه وسلم صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال: “من شاء أن يصلي فليصل”. يدل على أن الجمعة تصير بعد صلاة العيد رخصة لكل الناس فإن تركها

الناس جميعا فقد عملوا بالرخصة وإن فعلها بعضهم فقد استحق الأجر وليست بواجبة عليه من غير فرق بين الإمام وغيره
وهذا الحديث قد صححه ابن المديني وحسنه النووي. وقال ابن الجوزي:
هو أصح ما في الباب
وأخرج أبو داود والنسائي والحاكم عن وهب بن كيسان قال:
اجتمع عيدان على عهد ابن الزبير فأخر الخروج حتى تعالى النهار ثم خرج فخطب فأطال الخطبة ثم نزل فصلى ولم يصل الناس يومئذ الجمعة فذكر ذلك لابن عباس رضي الله عنهما فقال: أصاب السنة.
ورجاله رجال الصحيح.
وأخرجه أيضا أبو داود عن عطاء بنحو ما قال وهب ابن كيسان ورجاله رجال الصحيح
وجميع ما ذكرناه يدل على أن الجمعة بعد العيد رخصة لكل أحد وقد تركها ابن الزبير في أيام خلافته كما تقدم ولم ينكر عليه الصحابة ذلك.

zahir hadits Zaid bin Arqam dalam riwayat Ahmad, ABu Daud, An ansa;i, Ibnu Majah dengan lafaz:

“Bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat id pada hari jumat dan dia memberikan keringanan untuk shalat jumat.” Dia bersabda: “barangsiapa yang mau silahkan dia shalat (jumat).”

Ini menunjukkan bahwa shalat jumat setelah shalat id telah menjadi keringanan bagi semua manusia.
seandainya semua manusia meninggalkannya, maka mereka telah mengamalkan rukhshah (dispensasi). jika sebagainnya ada yang melaksanakannya maka dia berhak mendapatkan pahala, dan tidak wajib baginya untuk tanpa adanya perbedaan dengan imam dan lainnya.

hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh an nawawi. dan Ibnul Jauzi mengatakan dalam bab ini, inilah hadits paling shahih.

Abu Daud, An nasali, dan Al hakim meriwayatkan dari Wahb bin kaisan: katanya:

Telah bertepatan dua hari raya (Jumat dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat keluar, sehingga matahari meninggi. Di ketika matahari telah tinggi, dia pergi keluar ke mushala lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar lalu shalat. Dan dia tidak shalat untuk orang ramai pada hari Jumat itu (dia tidak mengadakan shalat Jumat lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: Perbuatannya itu sesuai dengan sunnah.”

rijal (perawi) hadits ini adalah perawi hadits shahih.

Abu Daud juga meriwayatkan dari Atha’ hadits yang seperti Wahb bin Kaisan, dan rijalnya juga rijal hadits shahih.

Semua hadits yang kami (Syaikh Al Albani) sebutkan ini menunjukkan bahwa shalat jumat setelah shalat id merupakan rukhshah (dispensasi) bagi semua arang. Ibnu Zubeir pernah meninggalkan shalat jumat pada saat dia menjadi khalifah sebagaimana penjelasan yang lalau dan tidak ada sahabat nabi yang mengingkarinya.”

Syakh Al Albani, Al Ajwibah An Nafi’ah, Hal. 86-88. Cet. 1, 1420H – 2000M. Maktabatul Ma’arif

o==+==o

Ustadz Ahmad Sarwat, Lc  mengomentari :

Pendapat Al-Hanabilah

Mazhab ini menyimpulkan bahwa shalat Jumat gugur apabila pada pagi harinya seseorang telah melaksanakan shalat ‘Ied.

Dalil yang mereka kemukakan ada beberapa hadits, antara lain :

أن زيد بن أرقم شهد مع الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ عيدين اجتمعا فصلى العيد أول النهار ثم رخص في الجمعة وقال: ” من شاء أن يجمع فليجمع” في إسناده مجهول فهو حديث ضعيف.

Bahwa Zaid bin Arqam menyaksikan bersama Rasulullah SAW dua hari raya (Ied dan Jumat), beliau shalat Ied di pagi hari kemudian memberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat dan bersabda,”Siapa yang mau menggabungkan silahkan. (HR. Ahmad Abu Daud Ibnu Majah dan An-Nasai)

Hadits ini isnadnya majhul dan merupakan hadits yang dhaif (lemah).

عن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال: “قد اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مُجَمّعُون” رواه أبو داود

Dari Abu Huraiah RA bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”(HR. Abu Daud)

Terdapat catatan didalam sanadnya. Sementara Ahmad bin Hambal membenarkan bahwa hadits ini mursal, yaitu tidak terdapat sahabat di dalamnya.

Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa orang yang melaksanakan shalat id maka tidak lagi ada kewajiban atasnya shalat jum’at. Namun pandangan ini tetap mewajibkan seorang imam untuk tetap melaksanakan shalat Jumat, jika terdapat jumlah orang yang cukup untuk sahnya suatu shalat jum’at. Adapun jika tidak terdapat jumlah yang memadai maka tidak diwajibkan untuk shalat jum’at.

Kesimpulan :

1. Kebolehan tidak shalat Jumat lantaran jatuh pada hari raya Idul Fithr atau Idul Adha adalah pendapat satu mazhab yaitu mazhab Imam Ahmad. Selebihnya, mayoritas ulama, seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, tetap mewajibkan shalat Jumat.

2. Seandainya ada saudara kita yang kelihatan cenderung kepada pendapat Al-Hanabilah yang menganggap shalat Jumat telah gugur, kita perlu menghormati hal itu sebagai sebuah pendapat. Beda pendapat itu bukan berarti kita harus bermusuhan kepada mereka.

3. Pendapat mayoritas ulama termasuk di dalamnya Asy-Syafi’iyah yang tetap mewajibkan shalat Jumat, menurut pandangan saya -wallahu a’lam- lebih kuat, selain karena pendapat mayoritas ulama, juga karena beberapa alasan :

a. Dalil tentang wajibnya shalat Jumat adalah dalil yang bersifat Qath’i, didukung oleh Quran, Sunnah yang shahih dan ijma’ seluruh umat Islam sepanjang 14 abad.

b. Dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat adalah dalil yang hanya didasari oleh beberapa hadits saja.

c. Bila ada dua kelompok dalil yang bertentangan, maka kebiasaan para ulama adalah mencari titik temu keduanya. Dan dalam pandangan saya, titik temunya adalah bahwa yang diberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat adalah mereka yang tinggal di luar kota Madinah. Dimana pada dasarnya, di luar momentum hari Raya sekalipun, mereka memang sudah tidak wajib shalat Jumat.

Dan karena pada hari raya mereka masuk ke kota dan ikut shalat Id, maka kalau siangnya mereka tidak mau ikut shalat Jumat, tentu tidak mengapa. Karena mereka itu pada hakikatnya bukan termasuk orang yang muqim di kota Madinah. Mereka adalah penduduk bawadi (tempat yang tidak dihuni manusia).

Sedangkan kita yang memang penduduk yang bermukim di tempat yang dihuni manusia, sejak awal memang sudah wajib untuk melaksanakan shalat Jumat. Sehingga kalau dalil-dali kebolehan tidak shalat Jumat di atas mau dipakai untuk kita, ada perbedaan konteks.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

 

 

Utsaimin – Matahari mengelilingi Bumi


Jawab: Dhahirnya dalil-dalil syar’i menetapkan bahwa mataharilah yang berputar mengelilingi bumi dan dengan perputarannya itulah menyebabkan terjadinya pergantian siang dan malam di permukaan bumi, tidak ada hak bagi kita untuk melewati dhahirnya dalil-dalil ini kecuali dengan dalil yang lebih kuat dari hal itu yang memberi peluang bagi kita untuk menakwilkan dari dhahirnya. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi sehingga terjadi pergantian siang dan malam adalah sebagai berikut:
1. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman tentang Ibrahim akan hujahnya terhadap orang yang membantahnya tentang Rabb: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.” (QS Al Baqarah: 258).
Maka keadaan matahari yang didatangkan dari timur merupakan dalil yang dhahir bahwa matahari berputar mengelilingi bumi.

2. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman juga tentang Ibrahim: “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar’, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.'” (QS Al An’am: 78).

Jika Allah menjadikan bumi yang mengelilingi niscaya Allah berkata: “Ketika bumi itu hilang darinya.”

3. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu.” (QS Al Kahfi: 17).
Allah menjadikan yang condong dan menjauhi adalah matahari, itu adalah dalil bahwa gerakan itu adalah dari matahari, kalau gerakan itu dari bumi niscaya Dia berkata, “gua mereka condong darinya (matahari).” Begitu pula bahwa penyandaran terbit dan terbenam kepada matahari menunjukkan bahwa dialah yang berputar meskipun dilalahnya lebih sedikit dibandingkan firmanNya, “(condong) dan (menjauhi mereka).”
4. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (QS Al Anbiya’: 33).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: berputar dalam suatu garis edar seperti edaran alat pemintal. Penjelasan itu terkenal darinya.
5. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.” (QS Al A’raf: 54).
Allah menjadikan malam mengejar siang, dan yang mengejar itu yang bergerak dan sudah maklum bahwa siang dan malam itu mengikuti matahari.
6. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Az Zumar: 5).
FirmanNya: “Menutupkan malam atau siang” artinya memutarkannya atasnya seperti tutup sorban menunjukkan bahwa berputar adalah dari malam dan siang atas bumi. Kalau saja bumi yang berputar atas keduanya (malam dan siang) niscaya Dia berkata, “Dia menutupkan bumi atas malam dan siang.” Dan firmanNya, “matahari dan bulan, semuanya berjalan” menerangkan apa yang terdahulu menunjukkan bahwa matahari dan bulan keduanya berjalan dengan jalan yang sebenarnya (hissiyan makaniyan), karena menundukkan yang bergerak dengan gerakannya lebih jelas maknanya daripada menundukkan yang tetap diam tidak bergerak.
7. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya.” (QS Asy Syams: 1-2).
Makna (mengiringinya) adalah datang setelahnya, dan itu dalil yang menunjukkan atas berjalan dan berputarnya matahari dan bulan atas bumi. Seandainya bumi yang berputar mengelilingi keduanya tidak akan bulan itu mengiringi matahari, akan tetapi kadang-kadang bulan mengelilingi matahari dan kadang matahari mengiringi bulan, karena matahari lebih tinggi daripada bulan. Dan untuk menyimpulkan ayat ini membutuhkan pengamatan.
8. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS Yaa Siin: 37-40).
Penyandaran kata berjalan kepada matahari dan Dia jadikan hal itu sebagai kadar / batas dari Dzat yang Maha Perkasa lagi Mengetahui menunjukkan bahwa itu adalah jalan yang haqiqi (sebenarnya) dengan kadar yang sempurna, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan siang malam dan batas-batas (waktu). Dan penetapan batas-batas edar bulan menunjukkan perpindahannya di garis edar tersebut. Kalau seandainya bumi yang berputar mengelilingi maka penetapan garis edar itu untuknya bukan untuk bulan. Peniadaan bertemunya matahari dengan bulan dan malam mendahului siang menunjukkan pengertian gerakan muncul dari matahari, bulan, malam, dan siang.
9. Dari Abu Dzarr, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda pada suatu hari “Tahukah kalian kemana matahari ini pergi?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya matahari ini beredar/berjalan sampai berakhir ke tempatnya di bawah ‘Arsy maka dia tersungkur sujud, terus-menerus dia dalam keadaan demikian sampai dikatakan kepadanya: “bangkitlah/angkatlah (dirimu) dan kembalilah dari tempat kamu datang”, maka matahari tersebut kembali lalu terbit dari tempat terbitnya kemudian beredar lagi sampai berakhir ke tempatnya di bawah ‘Arsy lalu dia tersungkur sujud dan terus menerus dalam keadaan demikian sampai dikatakan kepadanya: “angkatlah dan kembalilah dari tempat kamu datang”, lalu dia kembali dan terbit dari tempat terbitnya (sebagaimana biasa) kemudian dia kembali beredar, yang manusia tidak akan mengingkarinya sedikitpun, sampai berakhir ke tempatnya yaitu di bawah ‘Arsy maka dikatakan kepadanya “angkatlah dan jadilah kamu terbit dari arah terbenammu” maka matahari itu terbit dari arah terbenamnya, kemudian Rasulullah bersabda: “Tahukah kalian kapan hal itu terjadi?” Hal itu terjadi ketika tidak bermanfaat keimanan seseorang bagi dirinya, yang dia tidak beriman sebelumnya atau berusaha dengan kebaikan dalam keimanannya” (H.R. Al-Imam Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dan matahari telah terbenam, “Apakah kamu tahu ke mana matahari itu pergi?” Dia menjawab, “Allah dan RasulNya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia pergi lalu bersujud di bawah Arsy, kemudian minta ijin lalu diijinkan baginya, hampir-hampir dia minta ijin lalu dia tidak diijinkan. Kemudian dikatakan kepadanya: ‘Kembalilah dari arah kamu datang lalu dia terbit dari barat (tempat terbenamnya).'” Atau sebagaimana beliau telah bersabda (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits setelah ini, dari Abu Dzarr berkata, saya menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam tentang firman Allah Ta’ala:
“Wasysyamsu tajrii limustaqarrillahaa�” (Dan matahari beredar/berjalan di tempat peredarannya),
Rasulullah bersabda: “tempat peredarannya adalah di bawah ‘Arsy”. (H.R. Al-Imam Muslim).
PerkataanNya: “Kembalilah dari arah kamu datang, lalu dia terbit dari tempat terbenamnya” sangat jelas sekali bahwa dia (matahari) itulah yang berputar mengelilingi bumi dengan perputarannya itu terjadinya terbit dan terbenam.
10. Hadits-hadits yang banyak tentang penyandaran terbit dan terbenam kepada matahari, maka itu jelas tentang terjadinya hal itu dari matahari tidak dari bumi.
Boleh jadi di sana masih banyak dalil-dalil lain yang tidak saya hadirkan sekarang, namun apa yang telah saya sebutkan sudah cukup tentang apa yang saya maksudkan wallahul Muwaffiq.
 Majmu’ Fatawa karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dan Shohih Muslim.

Salaman setelah Shalat – boleh dikerjakan


Imam Izzuddin Larang Jabat Tangan Setelah Shalat?


Sebagian kelompok membid’ahkan amalan yang biasa dilakukan di sebagian masyarakat Muslim yang bersalaman setelah shalat lima waktu  dengan pijakan fatwa Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam.

Dimana dalam kumpulan fatwa beliau, Kitab Al Fatawa (hal. 46, 47), beliau menyatakan,”Bersalaman setelah shubuh dan ashar bagian dari bid’ah-bid’ah. Kecuali bagi orang yang datang dan berkumpul dengan orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyariatkan ketika bertemu.”

Dari fatwa itu mereka menyimpulkan bahwa Syeikh Al Islam Izzuddin menghukum bersalaman setelah ashar dan shubuh adalah bid’ah, yang menurut istilah mereka adalah haram, karena mereka memahami setiap bid’ah adalah sesat.

Bahkan pentahqiq kitab kumpulan fatwa Syeikh Al Islam tersebut berkomentar di catatan kaki, bahwa amalan itu adalah bid’ah yang menjadi bala’ bagi umat saat ini yang meraja-lela.

Lalu ia menukil sebuah hadits,”Sesungguhnya setiap hal yang diadakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat…”

Nah, benarkah pemahaman di atas, bahwa maksud Imam Izzuddin menyatakan bahwa hal itu bid’ah bermakna sebagai amalan yang haram dilakukan? Mari kita merujuk kepada pendapat para ulama mengenai masalah ini.

Istilah bid’ah menurut Imam Izzuddin berbeda dengan istilah yang dipakai oleh mereka yang menilai bahwa seluruh bid’ah adalah sesat termasuk pentahqiq.

Dimana Imam Izzuddin berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dalam hukum lima, wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah, seperti yang termaktub dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339).

Sehingga, ketika Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman pada dua waktu itu termasuk bid’ah tidak otomatis merupakan hal yang haram.

Sebaliknya, dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah.

Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah mubah,”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan ashar.”

Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.

Sehingga siapa saja tidak bisa memaksa istilah Imam Izzuddin untuk dimaknai sesuai dengan istilah pihak yang menyatakan seluruh bid’ah adalah sesat.

Nah, hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa maksud pernyataan Imam Izzuddin dalam fatwa itu adalah bid’ah mubah.

Dan pemahaman para ulama yang mu’tabar semakin mengukuhkan kesimpulan itu, diantara para ulama yang memiliki kesimpulan serupa adalah:

Imam An Nawawi

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut  As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’

Dan yang beliau katakan ini baik.”

Imam An Nawawi (631-676 H) sendiri merupakan ulama yang hidup semasa dengan Syeikh Izzuddin (578-660) dan dua-duanya adalah ulama Syam, hingga beliau faham benar pernyataan Imam Izzuddin.

Dengan demikian kesimpulan beliau tentang pernyataan Imam Izzuddin amat valid.

Lebih dari itu, Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55).

Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai.

Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.

Mufti Diyar Al Hadrami Ba Alawi

Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”

As Safarini Al Hanbali

Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin.

Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab Hanbali,  beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah.

Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah

Dengan demikian pendapat pihak yang menyebut bahwa Imam Izzuddin menghukumi haram berjabat tangan setelah shalat ashar dan shubuh hanya bersandar dari sebutan “bid’ah” dari beliau adalah kesimpulan yang jauh dari kebenaran. Hal ini disebabkan mereka tidak memahami bahwa Imam Izzudin memiliki istilah yang berbeda dengan istilah mereka.

Sehingga pemahaman mereka tentang pernyataan Imam Izzuddin pun bertentangan pula dengan pemahaman para ulama mu’tabar. Allahu Ta’ala A’la wa A’lam

Rujukan

1. Qawaid Al Ahkam fi Ishlahi Al Anam, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Aziz bin Abdissalam, t. Dr. Nazih Kamal Hammad dan Utsman bin Jum’ah Dzamiriyyah, Dar Al Qalam (1421 H).

2. Kitab Al Fatawa, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Aziz bin Abdissalam, t. Abdurahman bin Abdil Fattah, cet. Dar Al Ma’rifah (1406 H).

3. Al Majmu, Imam An Nawawi, t. Dr, Mahmud Mathraji, cet. Darul Fikr (1426 H).

4. Tahdzib Al Asma wa Al Lughat, Imam An Nawawi, t. Muhammad Munir Ad Dimasyki, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyyah.

5. Al Awaid Ad Diniyyah, Al Allama As Syaliyati Al Malibari, t. Abdul An Nashir Ahmad As Syafi’i Al Malibari.

6. Bughyah Al Mustarsyidin, Syeikh Ba Alawi, cet. Nur Al Huda Surabaya.

7. Ghidza’ Al Albab, As Safarini Al Hanbali, t. Muhammad Abdul Aziz Al Khalid, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyyah (1417 H).

.

Syeikh Mahfudz al-Jawi’ – Ulama Besar Madzhab Asy-Syafi’i


Beliau adalah Al Allamah Al Muhaddits Al Musnid Al Faqih Al Ushuli As Syeikh Muhammad Mahfudz. Lahir di Tarmas (Termas) Jawa Tengah pada tanggal 12 Jumadi Al Ula 1285 H, dikala ayah beliau bermukim di Makkah. Beliau diasuh oleh ibu dan para pamanya.

Memperoleh ilmu dasar fiqih di usia muda dari beberapa ulama Jawa, dan beliau juga menghafal Al Qur’an. Kemudian ayah beliau, Al Allamah Al Faqih Syeikh Abdullah At Tarmusi memanggilnya untuk belajar di Makkah. Pada tahun 1291 beliau berangkat menemui sang ayah dan bermukim di Makkah untuk membaca beberapa kitab di hadapan beliau. Kemudian Syeikh Mahfudz kembali ke Jawa dan berguru kepada Al Allamah Syeikh Shalih bin Umar As Samarani (Semarang), juga untuk membaca beberapa kitab.

Kemudian,Syeikh Mahfudz melakukan rihlah thalab al ilmiuntuk kedua kalinya ke Makkah dan mengambil berbagai disiplin ilmu dari para ulama besarnya. Diantara para guru Syeikh Mahfudz adalah Al Allamah As Sayyid Abi Bakr bin Muhammad Syatha Al Makki, yang merupakan pijakan Syeikh Mahfudz dalam periwayatan hadits. Syeikh Mahfudz juga menyimak banyak kitab hadits dan musthalah-nya dari Al Allamah Al Muhaddits As Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi Al Makki yang dikenal sebagai “Ibnu Mufti” (Anak Mufti). Beliau juga banyak membaca kitab hadits dan ilmunya di hadapan Al Allamah Syeikh As Syafi’iyah Makkah Syeikh Muhammad Sa’id Ba Bashil. Beliau juga memperoleh ilmu qira’at 14 dari Al Allamah Syeikh Muhammad As Syarbini Ad Dimyathi.

Dalam menuntut ilmu, beliau benar-benar bermujahadah dengan terjaga di malam hari, hingga terlihat kelebihan beliau dalam hadits dan ilmu-ilmunya, juga menguasai fiqih dan ushulnya, serta ilmu qira’at. Sehingga para guru beliau memberikan izin untuk mengajar. Syeikh Mahfudz mengajar di Bab As Shafa Masjid Al Haram dan di rumah tempat beliau tinggal.

Dari beliau, keluar para ulama baik, yang berasal dari tanah Jawa maupun Arab. Mereka adalah Kyiai Raden Dahlan As Samarani (Semarang), Kyiai Muhammad Dimyathi At Tarmusi (Termas), Kyiai Khalil Al Lasimi (Lasem), Kyiai Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbani (Jombang), Kyiai Muhammad Faqih bin Abdi Al Jabbar Al Maskumbani (Maskumambang), Kyiai Baidhawi, Kyiai Abdu Al Muhaimin putra Abdul Aziz Al Lasimi, Kyiai Nawawi Al Fasuruwani (Pasuruan), Kyai Abbas Buntet As Syirbuni (Cirebon), Kyiai Abdul Muhith bin Ya’kub As Sidarjawi As Surabawi (Sidoarjo-Surabaya).

Yang juga meriayatkan dari Syeikh Mahfudz adalah As Syeikh Muhammad Al Baqir bin Nur Al Jukjawi (Jogja), Kyiai Ma’shum bin Ahmad Al Lasimi (Lasem), Kyiai Shiddiq bin Abdillah Al Lasimi (Lasem), Kyiai Abdul Wahhab bin Hasbullah Al Jumbani (Jombang).

Sedangkan para ulama Arab dan lainnya yang mengambil periwayatan dari Syeikh Mahfudz adalah Al Muhaddits Syeikh Habibullah As Syanqithi, Muhaddits Al Harmain As Syeikh Hamdan, Syeikh Ahmad Al Mukhalilati, Syeikh Umar bin Abi Bakr Ba Junaid Al Makki, Syeikh Muhammad Abdul Baqi Al Ayubi Al Laknawi.

Beliau mengajar dengan menggunakan bahasa Arab fuskha (fasih) sebagai pengantar, walau terkadang beliau campur dengan bahasa Jawa. Karya-karya beliau antara lain, Al Manhaj Dzawi An Nadhr fi Syarh Alfiyah Al Atsar, Al Mauhibah Dzi Al Fadhl fi Hasyiyah Muqaddimah Ba Fadhal (4 jilid), Nail Al Ma’mul Hasyiyah Ghayah Al Wushul ala Lubb Al Ushul (3 jilid), Is’af Al Mathali’ bi Syarh Al Badr Al Lami’ Nadzmi Jam’i Al Jawami’ (2 jilid) Hasiyah Takammulah Al Minhaj Al Qawim (1 jilid), Ghunyah At Thalabah bi Syarh At Thayyibah fi Al Qaira’at Al Asyrah (1 jilid), Kifayah Al Mustafid li Ma Ala Asanid, yang berisi periwayatan Syeikh Mahfudz dalam semua disiplin ilmu dan lainnya.

Syeikh Mahfudz At Tarmusi memang pantas untuk dikagumi, apalagi bagi kalangan ahlu al isnad, yang mengatahui dari siapa saja beliau memperoleh ilmu dan dari kitab apa saja. Tidak hanya dalam bidang hadits saja, untuk kitab-kitab tafsir, fikih, qira’at, nahwu-sharaf, akhlak-tashawuf, bahkan sampai amalan dzikir, semuanya berasal dari para ulama yang memilki sanad bersambung hingga penulis kitab-kitab tersebut.

Berikut ini nama-nama kitab yang beliau pelajari dari berbagai disiplin ilmu yang seluruhnya bersanad hingga penulisnya, yang ditulis oleh Syeikh Al Muahfudz dalam karya beliau yang berjudul, Kifayah Al Mustafid li Ma ‘Ala min Al Asanid.

Tafsir

Syaikh Mahfudz At Tarmusi telah mengkaji beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Al Jalalain, yang merupakan karya Imam Jalaluddin Al Mahalli (864 H) dan Imama Jalaluddin As Suyuthi (911 H), Tafsir Al Baidhawi (691 H), Tafsir Imam Al Fakhr Ar Razi (626 H), Tafsir Al Baghawi (516 H), Tafsir Al Khatabi As Syarbini (977 H), juga Ad Dur Al Mantsur karya Imam As Suyuthi. Semua kajian Syeikh Mahfudz At Tarmusi terhadap kitab-kitab tersebut bersanad yang sampai kepada para penulisnya.

Hadits

Kitab-kitab hadits yang pernah dipelajari oleh Syeikh Mahfudz melingkupi Al Jami’ As Shahih yang ditulis oleh Imam Al Bukhari (256), yang beliau simak 4 kali khatam dari Syeikh As Sayyid Abu Bakr Syatha. Beliau juga memiliki jalan periwayatan lain yang lebih pendek tentang kitab ini dari As Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi. Selain Shahih Al Bukhari, beliau juga telah mempelajari Shahih Muslim (261 H), Sunan Abu Dawud (275 H), Sunan At Tirmidzi (279 H), Sunan An Nasa`i (303 H), Sunan Ibnu Majah (273 H), dengan bersanad.

Sanad hadits Syeikh Mahfudz juga sampai kepada para ulama mujtahid madzhab yang membukakan hadits. Diantaranya adalah Al Muwaththa’ Imam Malik (179 H) riwayat Yahya bin Yahya, Musnad Imam As Syafi’I (204 H), Musnad Abu Hanifah (200 H), Musnad Ahmad (241 H), Mukhtashar Ibnu Abi Jamrah (695 H), As Syifa` Qadhi Iyadh (544 H), As Syamail At Tirmidzi, Al Arba’in An Nawawiyah (676 H), Al Jami’ As Saghir karya Imam As Suyuthi, Al Mawahib karya Al Qasthalani (923 H). Dalam kitab sejarah, kitab As Sirah Al Halabiyah karya Ali Al Halabi (1044 H) serta As Sirah karya As Sayyid Ahmad Dahlan (1304 H), Syeikh Mahfudz pun memiliki sanadnya.

Fiqih

Beberapa kitab fikih yang dikaji oleh Syeikh At Tarmusi juga sanadnya menyambung kepada penulis. Di antaranya adalah Tuhfah Al Muhtaj dan karya Ibnu Hajar Al Haitami (964 H) lainnya. Selain itu ada juga Nihayah Al Muhtaj dan lainnya dari karya Imam Ar Ramli, Al Iqna dan Mughni Al Muhtaj karya Khatib As Syarbini. Periwayatan kitab-kitab karya Imam An Nawawi (676 H) dan Imam Ar Rafi’i (623 H) juga beliau miliki.

Ilmu Alat

Kitab-kitab ilmu alat yang dipilajari Syeikh Mahfudz juga diambil dari para ulama yang sanadnya sampai kepada penulis. Dari kitab-kitab tersebut adalah Matn Al Ajurrumiyah, karya Muhammad As Shanhaji (723 H), Al Alfiyah Ibnu Malik (672 H), Mughni Al Labib karya Ibnu Hisyam (761 H), Kitab Sibawaih (180 H), As Shihah karya Imam Al Jauhari (393 H), Al Qamus karya Fairuz Abadi (816 H), Talhis Al Miftah karya Khatib Jalal Ad Din Al Qazwini (739 H), Arus Al Afrah karya Bahauddin As Subki (763 H), Uqud Al Juman karya Imama As Suyuthi, As Syathibiyah (590 H), Syarh Al Baiquniyah, karya Az Zurqani (1122 H), serta Syarh An Nukhbah karya Ibnu Hajar serta Alfiyah Al Iraqi (806 H) yang disyarah oleh Ibnu Hajar.

Ilmu Ushul dan Aqidah

Kitab-kitab ilmu ushul fiqih yang sanadnya dimiliki oleh Syeikh At Tarmusi juga bersambung kepada para penulisnya antara lain, Al Waraqat karya Imam Al Haramain (478 H), Syrah Mukhtashar Ibnu Hajib karya Adhad Ad Din Al Iji (756 H), Minhaj Al Wushul karya Imam Al Baidhawi, serta Jam’u Al Jawami’ karya Taj Ad Din As Subki (771 H). Sedangkan dalam kitab aqidah seperti Al Jauharah karya Imam Al Laqani dan Al Umm Al Barahin karya Imam As Sanusi (895 H), Syeikh At Tarmusi juga memiliki sanadnya.

Akhlak dan Tashawuf

Untuk Kitab-kitab yang berkenaan dengan tashawuf dan akhlak seperti Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari (709 H), Ar Risalah Al Qusyairiyah (475 H), Minhaj Al Abdidin dan Al Ihya’ karya Imam Al Ghazali (505 H), Awarif wa Al Ma’arif karya Imam As Suhrawardi (632 H), Syeikh Mahfudz At Tarmusi juga memiliki sanadnya hingga para penulisnya.

Tidak hanya kitab, namun amalan-amalan juga sampai kepada para ulama, salah satunya adalah hizb An Nawawi yang diamalkan oleh Imam An Nawawi.

Masih banyak kitab lainnya dimiliki periwayatannya oleh Syeikh Mahfudz At Tarmusi, karena banyak kitab yang tidak beliau sebutkan judulnya, namun beliau cukupkan dengan penulisnya, dengan menyebutkan semisal, “seluruh karya Imam Al Ghazali”.

Membukukan Guru dan Periwayatan, Tradisi para Ulama

Dengan demikian, di samping menjaga tradisi para salaf dalam mencari ilmu, memperoleh ilmu dengan cara mengambil dari guru yang memiliki sanad sampai ke penulis kitab, meminimalkan kesalahan pemahaman menganai isi kitab tersebut.

Sedangkan Syeikh Mahfudz At Tarmusi mencatat sanad yang beliau miliki, juga dalam rangka meneladani para ulama sebelumnya. Sebagaimana juga Imam An Nawawi menjelaskan bahwa hendaknya pengajar ilmu dan para pencarinya memahami sanad, dinilai buruk bagi mereka yang jahil terhadapnya, karena para guru manusia dalam ilmu merupakan bapak-bapak mereka dalam dien, yang menyambungkan antara dia dan Rabb Al Alamin. Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar secara marfu,” Ilmu adalah dien dan shalat adalah dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu dan bagaimana kalian melaksanakan shalat tersebut. Sesungguhnya kalian ditanya pada hari kiamat.” (Riawayat Ad Dailami)

Dalam tradisi para ulama, buku yang ditulis seorang ulama untuk menjelaskan para guru dan periwayatan dari mereka, disebut sebagai tsabat, dengan bentuk plural atsbat. Yang kemungkinan berasal dari kata at tsabt, yang bermakna hujjah. Dengan demikian kitab tersebut merupakan hujjah bagi penulisnya, karena disebutkan di dalamnya para guru dan sanadnya. Hal ini berlaku bagi ahlu al masyriq, yakni mereka yang hidup di belahan bumi bagian timur. Sedangkan kalangan ahlu al maghrib (penduduk dunia bagian barat) menyebutnya sebagai fahras.

Kelebihan Syeikh Mahfudz dikenal di berbagai kalangan, dari ketawadhu’an hingga kebaikan akhlak. Beliau juga tidak terlibat hal-hal yang tidak berguna. Datang dari Jawa ke Tanah Suci dengan perbekalan seadanya. Beliau juga dikenal sebagai alim yang wara’. Rumah beliau banyak didatangi para pencari ilmu, baik untuk sekedar mengucap salam maupun untuk mencari ilmu.

Beliau wafat di Makkah di tanggal 1 Rajab, sesaat sebelum adzan Maghrib hati Ahad, malam Senin tahun 1336 H. Jenazah beliau diantar banyak orang, dan dimakamkan di pemakaman Al Ma’la. Beliau meninggalkan satu anak, yakni Kyiai Muhammad bin Mahfudz. Semoga Allah merahmati beliau.

Sanad Fiqih Imam As Syafi’i


Sanad Fiqih Imam As Syafi’i

  Sanad hadits para ulama yang sampai kepada Rasulullah Shallallabhu Alaihi Wasallam amatlah banyak jumlahnya, karena mereka hanya meriwayat matan hadits. Berbeda dengan sanad keilmuan fiqih, karena membutuhkan waktu lama untuk mempelajarinya. Nah, kali ini kita akan mengupas mengenai sanad fiqih Imam As Syafi’i Radhiyallahu ‘Anhu.

Syeikh Syihab Ad Din Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qalyubi (1069 H),

menyebutkan salah satu rangkaian sanad dalam fiqih ulama mujtahid dari Quraisy ini (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, hal. 9, vol. 1) dengan rangkaian sanad berikut:

Tidak ada salahnya, jika kita membahas para ulama yang keilmuannya menyambungkan fiqih Imam Syafi’i hingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam satu-persatu.

Muslim bin Khalid Az Zanji (180 H)

Beliau adalah imam, mufti dan faqih Makkah. Beliaulah yang menyarankan Imam As Syafi’i untuk mendalami fiqih. Imam As Syafi’i saat hendak keluar untuk belajar adab dan nahwu, Muslim bin Khalid menemui dan bertanya mengenai asal-usul beliau. Setelah tahu bahwa As Syafi’i termasuk kabilah Abdu Al Manaf, Muslim bin Khalid menyarankan agar beliau belajar fiqih. Dan kepada beliau, akhirnya Imam As Syafi’i menimba ilmu. Muslim bin Khalid jugalah yang memerintahkan Imam As Syafi’i untuk berfatwa, padahal saat itu beliau masih berumur 15 tahun (lihat, muqadimah Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, hal. 13 dan 17, vol.1).

Muhammad bin Juraij (150 H)

Penduduk Makkah mengatakan bahwa guru Muslim bin Khalid ini, ajaran shalatnya memiliki sanad hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Imam Malik sendiri mengatakan bahwa Ibnu Juraij adalah ahli qiyam. Abdu Ar Razak juga menyebutkan bahwa tidak ada orang yang shalatnya lebih baik dari Ibnu Juraij. Disamping memiliki kelebihan dalam hal ibadah beliau juga dinilai sebagai orang yang pertama menulis kitab. Keilmuan beliau sendiri tidak diragukan, sebab itulah para ulama menjuluki beliau sebagai wadah (au’iyah) ilmu (lihat, Taqrib At Tahdzib, hal. 520, vol. 1).

Atha’ bin Abi Rabah (114, 115, 117 H)

Atha’ bin Abi Rabah adalah salah satu dari dua ulama yang diizinkan berfatwa di Makkah saat itu, selain Mujahid. Selain seorang faqih beliau juga dikenal sebagai ulama yang memiliki banyak periwayatan hadits. Beliau juga bertemu dengan 200 sahabat. Bahkan, yang menggantikan posisi Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu sebagi mufti di Makkah adalah Atha’, yang juga murid beliau. (Lihat, Tahdzib At Tahdzib, hal. 119-203, vol.7)

Ibnu Abbas (68 H)

Ibnu Abbas adalah seorang faqih dari kalangan sahabat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri pernah mendoakan, agar beliau difaqihkan dalam dien. Ibnu Abbas juga sering mendampingi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sejak kecilnya, karena bibi beliau Maimunah adalah istri beliau. Tak heran, beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.

 

Sanad Fiqih Imam As Syafi’i

ALBANI mengharamkan perhiasan emas untuk wanita.


 Al bani Haramkan perhiasan emas bagi wanita

Jangan taksub dengan Sheikh Albani, lihat fatwanya yang mengharamkan emas untuk wanita. Dijawab oleh Dr Wahbah Az Zuhaili. Harapnya lepas ini jangan pula Dr Wahbah Az Zuhaili dihukum ahli bid’ah sesat ya. : http://marifah.net/articles/Shaykh%20Wahba%20on%20Al-Albani%20and%20Gold.pdf

Klik untuk mengakses Shaykh%20Wahba%20on%20Al-Albani%20and%20Gold.pdf

marifah.net
English to Indonesian translation
Diterjemahkan oleh Kunci Mahdi
Dirilis oleh http://www.marifah.net 1431 H

Pertanyaan:
Sekarang saya dalam proses akan menikah, segala puji bagi Allah, Tuhan semua semesta alam. Namun, beberapa hari yang lalu salah seorang teman saya datang kepada saya dan mengatakan kepada saya bahwa ada adalah buku baik yang ditulis Syaikh Nasirudin Albānī disebut (Etiket Pernikahan ). Jelas, saya pergi ke pasar dan saya membelinya dari salah satu Islam toko buku dan kemudian saya pulang ke rumah dan membaca semua dari awal sampai akhir. Namun, saya terkejut oleh subjek emas yang dinyatakan haram (dilarang) bagi perempuan dan hadīth ditafsirkan untuk menunjukkan ini. Pertanyaan saya adalah: apa pendapat anda tentang ini Syaikh (Muammad NA / ir AlAlbānī Aldin), apa pendapat anda tentang buku ini (nya adab Al Zifāf) dan apa hukumnya benar tentang Haram emas sedang bagi perempuan. Silahkan manfaat saya, semoga Allah mengasihani engkau, sebelum aku menikah, dan jika Anda memiliki nasihat bagi saya sebelum saya menikah atau sesudahnya tentang apa yang menyenangkan Allah dan utusan-Nya, kemudian semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh Semesta alam.
JawabanSyaikh DR. Wahbah Zuhaili:
Memang penyimpangan beberapa orang yang menyibukkan diri dengan pengetahuan atau mereka yang
belajar sendiri tanpa guru tidak ada nilainya dari segi pengetahuan atau syari’ah dan pendapat mereka diberhentikan dan ditolak.
Menyatakan emas yang akan Haram bagi perempuan adalah baik suatu penyimpangan intelektual dan Islam, sebagai Qur’an telah menyatakan dengan jelas dalam ayat:
“yang dibangkitkan dengan perhiasan dan tidak jelas dalam perselisihan “. [43:18]
bahwa seorang wanita menghiasi dirinya dengan perhiasan adalah bagian dari alam dan disposisi
.
Ini juga telah ditetapkan dalam Sunnah Nabi bahwa Nabi berkata: “Emas dan sutra adalah alal (dibolehkan) untuk perempuan dan laki-laki haram ‘[Musnad Imam Amad. b. @ Anbal, vol.14, hal 499500, Adith # 19407, Dar al Hadith,edisi] Kairo.
Jadi yang Mengatakan bahwa Perhisan emas Haram bagi wanita adalah bertentangan dengan ijma ‘(konsensus para ulama).
Saya belum membaca buku adab AlZifāf (karangan albani) dan jika memiliki pendapat seperti ini di dalamnya, itu tidak boleh
terganggu dengan.
1
Diterjemahkan dari Fatawa Syaikh Wahba Mu’āsira oleh alZuaylī, halaman 203204, Dar AlFikr, Damaskus, 2003
edisi english:
Translated by Mahdi Lock
Released by http://www.marifah.net 1431 H
Question:
Right now I am in the process of getting married, all praise be to Allah, Lord of all
the Worlds. However, a few days ago one of my friends came to me and told me that there
was this good book by Shaykh Nā/ir alDīn AlAlbānī called Adāb AlZifāf (Wedding
Etiquettes). Obviously, I went to the market and I bought it from one of the Islamic
bookshops and then I went home and read all of it from start to finish. However, I was
surprised by the subject of gold being declared Harām (forbidden) for women and the
aadīth given to indicate this. My question is: what is your opinion of this Shaykh
(Muammad Nā/ir alDīn AlAlbānī), what is your opinion of this book of his (Adāb Al
Zifāf) and what is the correct ruling regarding gold being Harām for women. Please benefit
me, may Allah have mercy on you, before I get married, and if you have any pieces of advice
for me before I get married or afterwards regarding that which pleases Allah and His
Messenger, then may Allah reward you with goodness. All Praise be to Allah, Lord of all the
Worlds.
Answer: Indeed the deviation of some who occupy themselves with knowledge or those who
learn by themselves without a teacher is of no value in terms of knowledge or the Sharī’ah
and their opinions are dismissed and rejected.
Declaring gold to be Harām for women is both an intellectual and Islamic deviation, as The
Noble Qur’an has made it clear in the āyat: “that which is raised with jewellery and unclear in
dispute.” [43:18] that a woman adorning herself with jewellery is part of her nature and
disposition.
It has also been established in the Prophetic Sunnah that the Prophet said: ‘Gold and silk
are alāl (permissible) for women and Harām for men.’ [Musnad of Imām Amad b. @anbal,
vol.14, pp. 499500, adīth #19407, Dar al@adīth, Cairo edition] Saying that it is Harām is to
go against the ijmā’ (consensus of the scholars).
I have not read the book Adāb AlZifāf and if it has opinions like this in it, it shouldn’t be
bothered with.
1
Translated from Fatāwa Mu’āsira by Shaykh Wahba alZuaylī, pages 203204, Dār AlFikr, Damascus, 2003

ALBANI mendha’ifkan biji tahbih


 

= Menghitung Dzikir dengan Biji Tasbih =

Telah terjadi perselisihan ditengah masyarakat tentang berdzikir menggunakan biji tasbih ( sub-hah ).

Para Imam terdahulu yang membolehkan , bahkan mensunahkan antara lain :

Imam Ibnu Taimiyah , Imam As Suyuthi , Imam Asy Syaukani , Imam Ibnu Hajar Al Haitami , Imam Ibnu Abidin , Imam Al Hashfaki , Imam Al Munawi , Imam Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri , Syaikh ‘Athiyah Shaqr , Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz , Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin , Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Ali Jum’ah , para ulama di Al Azhar , Pakistan, dan lain sebagainya , bahkan Imam As Suyuthi mengatakan tak ada yang mengingkari kebolehannya baik kaum salaf maupun khalaf.

.

 Mereka yang mengharamkan – bahkan sudah pada taraf mengkafiran , adalah : 

Syaikh Al Albani , Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syaikh Bakr Abu Zaid

 Beliau telah menyusun kitab As Subhah Tarikhuha wa Hukmuha

Tetapi semua sepakat bahwa berdzikir dengan jari tangan adalah lebih afdhal , sebab itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

.

Sebelum kami paparkan fatwa para ulama, ada baiknya kami sampaikan beberapa hadits tentang berdzikir menggunakan jari dan biji / kerikil.

Pertama 

Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada kami :

“ Hendaknya kalian bertahlil , bertasbih , dan bertaqdis ( mensucikan ), dan himpunkanlah ( hitunglah ) dengan ujung jari jemari , karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara , janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat.”

( HR. At Tirmidzi No. 3583, Abu Daud No. 1501, Ahmad No. 27089, Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir No. 180, lihat juga Ad Du’a, No. 1662, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 2327, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 2006 )

Al Hafizh Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan sanadnya Jayyid ( baik ) . ( Takhrij Ahadits Al Ihya No. 958 ). Imam An Nawawi menyatakan hasan. ( Al Adzkar No. 27. Darul Fikr, Lihat juga Al Khulashah Al Ahkam, 1/472 ). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankan dalam Nataij Al Afkar. ( Raudhatul Muhadditsin No. 4969).

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: muhtamal lit tahsin (dimungkinkan hasan ). ( Ta’liq Musnad Ahmad No. 27089 ). Syaikh Abu Muhammad Syahatah juga mengatakan hasan/Al Musyarikat Hal. 16

Syaikh Al Albani juga menghasankan.

  Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1501. Misykah Al Mashabih No 2316

 Kedua 

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ

“ Bahwa dia ( Sa’ad ) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita, dan dihadapan wanita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “ Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah bagimu dari ini atau lebih utama..? …

 Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis dalam teks di atas

    HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No. 3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837, Al Hakim No. 2009, Al Bazzar No. 1201

Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam berbagai kitabnya 

  Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1500 , Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 3568, Misykah Al Mashabih No. 2311 , Dhaif Al Jami’ Ash Shaghir No. 2155 , As Silsilah Adh Dhaifah No. 83 .

juga didhaifkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr 

( Syarh Sunan Abi Daud, 8/228 )

Namun segenap imam muhadditsin dan para huffazh menyatakan maqbul / diterima-nya hadits ini

Imam An Nawawi mengikuti penghasanan Imam At Tirmidzi./ Al Adzkar , Hal. 17 No. 26. Darul Fikr

Hadits ini dimasukkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.

Dishahihkan pula oleh Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya,

lalu oleh Imam As Suyuthi, dan Imam Asy Syaukani pun menyetujuinya.  Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah

Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. Raudhatul Muhadditsin, No. 4966

Al Hafizh Al Mundziri juga menyetujui penghasanan Imam At Tirmidzi.  Tuhfah Al Ahwadzi, 9/322

.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari yang dilakukan wanita itu ,

Beliau hanya memberikan cara yang lebih mudah atau lebih utama, dibanding apa yang dilakukannya dengan menghitung banyak biji atau kerikil.

Dan, yang jelas penghasanan atau penshahihan yang dilakukan oleh Imam At Tirmidzi , Imam Al Hakim , Imam Ibnu Hibban , Imam An Nawawi , Imam Ibnu Hajar , Imam As Suyuthi , dan Imam Asy Syaukani ,

Hadits diatas tidaklah serta merta gugur karena pendhaifan yang dilakukan oleh Syaikh Al Albani.

Ketiga. Dari Shafiyah binti Huyai Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بها فقال لقد سبحت بهذه ألا أعلمك بأكثر مما سبحت به فقلت بلى علمني فقال قولي سبحان الله عدد خلقه

“ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui saya , dan dihadapan saya ada 4000 biji yang saya gunakan untuk bertasbih. Beliau bersabda : “ Engkau bertasbih dengan ini, maukah kau aku ajarkan dengan sesuatu yang nilainya lebih banyak dari tasbihmu ini..?..” Aku menjawab : “ Tentu, ajarkanlah aku.” Beliau bersabda : “ Ucapkanlah, Subhanallah ‘Adada Khalqihi ( Maha Suci Allah Sebanyak jumlah makhlukNya ).” ( HR. At Tirmidzi No. 3554, Al Hakim No. 2008, Abu Ya’la No. 7118 )

Imam Al Hakim menshahihkannya, dan menurutnya hadits ini memiliki syahid ( penguat ) dari hadits orang-orang Mesir, yang yang lebih shahih dari ini. ( Al Mustadrak No. 2008 ),

Imam Adz Dzahabi menyepakatinya. Imam As Suyuthi juga menshahihkannya.  Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah

Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. ( Raudhatul Muhadditsin No. 4967 ).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan menghitung tasbih dengan subhah. ( Lihat fatwanya nanti ).

Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan munkar.

Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmdizi No. 3554  

Syaikh Husein Salim Asad mendhaifkan dalam ta’liqnya terhadap Musnad Abi Ya’la. – No. 7118  

Hadits ini – seandainya shahih- merupakan dalil bolehnya bertasbih menggunakan biji bijian. Seandainya hal itu terlarang , pasti nabi mengingkarinya. Apa yang nabi lakukan hanyalah alternatif yang lebih mudah dibanding menghitung tasbih sebanyak 4000 kali.

Berikut ini fatwa para ulama –baik terdahulu atau modern- yang menyatakan kebolehan berdzikir dengan untaian biji tasbih.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah

Beliau mengatakan bertasbih dengan biji, atau kerikil, atau yang semisalnya adalah perbuatan yang hasan (bagus/baik). Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:

وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ : { سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ .

“ Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaum wanita : “ Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”

Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil ( semacam kerikil ) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik ( hasan ). Dan, dahulu sebagian sahabat Radhiallahu ‘Anhumi ada yang memakainya, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil, dan beliau mentaqrirkannya ( menyetujuinya ), dan diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengannya.” ( Majmu’ Fatawa, 5/225. Mawqi’ Al Islam )

Beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan :

وَالتَّسْبِيحُ بِالْمَسَابِحِ مِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ لَكِنْ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ : أَنَّ التَّسْبِيحَ بِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ وَغَيْرِهَا وَإِذَا كَانَ هَذَا مُسْتَحَبًّا يَظْهَرُ فَقَصْدُ إظْهَارِ ذَلِكَ وَالتَّمَيُّزُ بِهِ عَلَى النَّاسِ مَذْمُومٌ

“ Bertasbih dengan menggunakan alat tasbih , diantara manusia ada yang memakruhkannya, dan ada pula yang memberikan keringanan terhadapnya . Tetapi tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa bertasbih dengannya itu lebih afdhal dibanding tasbih dengan jari jemari dan selainnya. Dan, jika hal ini dianjurkan untuk menampakkan dengan maksud pamer dan berbeda dengan manusia, maka ini tercela. ” ( Ibid, 5/134 )

2. Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Beliau mengomentari ketiga hadits di atas dalam kitabnya, Nailul Authar, sebagai berikut:

…بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز

“ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara , yakni mereka akan menjadi saksi hal itu . Maka, menghimpun ( menghitung ) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji , kerikil , dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya , dan ini perbuatan yang ditaqrirkan ( didiamkan/disetujui ) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.”  ( Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah )

Imam Asy Syaukani dalam kitabnya ini banyak membeberkan riwayat para sahabat yang bertasbih menggunakan biji, krikil, atau subhah. Silahkan merujuk.

3. Imam Jalaluddin As Suyuthi Asy Syafi’i Rahimahullah

Disebutkan oleh Imam Asy Syaukani sebagai berikut:

وقد ساق السيوطي آثارًا في الجزء الذي سماه المنحة في السبحة وهو من جملة كتابه المجموع في الفتاوى وقال في آخره : ولم ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر بالسبحة بل كان أكثرهم يعدونه بها ولا يرون في ذلك مكروهًا انتهى .

Imam As Suyuthi telah mengemukakan berbagai atsar dalam juz yang dia namakan Al Minhah fi As Subhah , yang merupakan bagian dari kumpulan fatwa-fatwa , dia berkata pada bagian akhirnya: “ Tidaklah ada nukilan seorang pun dari kalangan salaf dan tidak pula khalaf yang melarang kebolehan menghitung dzikir dengan subhah , bahkan justru kebanyakan mereka menghitung dengannya , dan mereka tidak memandangnya sebagai perbuatan yang dibenci. Selesai ”  ( Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Hal. 317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah )

4. Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam kitab Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra tertulis demikian:

“وسئل” رضي الله عنه هل للسبحة أصل في السنة أو لا؟ “فأجاب” بقوله: نعم, وقد ألف في ذلك الحافظ السيوطي؛ فمن ذلك ما صح عن ابن عمر رضي الله عنهما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح بيده. وما صح عن صفية: رضي الله عنها دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بهن, فقال: ما هذا يا بنت حيي. قلت: أسبح بهن, قال: قد سبحت منذ قمت على رأسك أكثر من هذا, قلت: علمني يا رسول الله قال: قولي سبحان الله عدد ما خلق من شيء. وأخرج ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذي: “عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس ولا تغفلن فتنسين التوحيد, واعقدن بالأنامل فإنهن مسئولات ومستنطقات”. وجاء التسبيح بالحصى والنوى والخيط المعقود فيه عقد عن جماعة من الصحابة ومن بعدهم وأخرج الديلمي مرفوعا: نعم المذكر السبحة. وعن بعض العلماء: عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمر. وفصل بعضهم فقال: إن أمن المسبح الغلط كان عقده بالأنامل أفضل وإلا فالسبحة أفضل .

“ Beliau ( Imam Ibnu Hajar Al Haitami ), semoga Allah meridhainya, ditanya : “ Apakah menggunakan sub-hah ada dasarnya dalam sunah atau tidak..?..”
Beliau menjawab : “ Ya, Al Hafizh As Suyuthi telah menyebutkan hal itu , di antaranya yang shahih dari Ibnu Umar ( yang benar adalah Ibnu Amr –pen ) Radhiallahu ‘Anhuma : “ Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih menggunakan tangannya.” Juga riwayat shaihh dari Shafiyah ( binti Huyay ) Radhiallahu ‘Anha: “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuinya, dan ditanganku ada 4000 biji yang aku gunakan untuk bertasbih. Beliau bertanya: “Apa ini wahai Binti Huyai..?..” Aku menjawab: “ Aku bertasbih dengannya.” Beliau bersabda : “ Aku telah bertasbih sejak aku bersandar di kepalamu lebih banyak dari ini.” Aku berkata : “ Ajarkanlah aku wahai Rasulullah.” Beliau bersabda : “ Katakanlah , Subhanallah ‘adada maa khalaqa min syai’ ( Maha Suci Allah sesuatu yang Dia ciptakan ).” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, dan At Tirmidzi: “Hendaknya kalian bertasbih, tahlil, dan taqdis ( mensucikan ). Janganlah kalian lalai hingga kalian lupa dengan tauhid. Dan, himpunlah ( hitunglah ) dengan jari-jari karena mereka akan ditanya dan diajak bicara ( menjadi saksi ).”
Telah terdapat keterangan tentang bertasbih menggunakan kerikil, biji, dan benang yang diikat menjadi beberapa himpunan dari jamaah para sahabat dan manusia setelah mereka. Ad Dailami telah mengeluarkan secara marfu’: “ Ya, berdzikir dengan biji tasbih.” Dan, dari sebagian ulama: “ Menghitung tasbih dengan ujung jari adalah lebih afdhal dibanding biji tasbih  ( sub-hah ) karena hadits Ibnu Amr di atas. Sebagian mereka merinci: “ Jika dia merasa aman dari kekeliruan, maka menggunakan ujung jari adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan biji tasbih lebih utama.” ( Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami, Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/219. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut – Libanon )

5. Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah

Beliau mengatakan dalam Hasyiah-nya:

( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ . قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً . وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ . ا هـ . وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ . قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا . وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ . وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ ، وَهَذَا الْحَدِيثُ أَيْضًا يَشْهَدُ لِأَفْضَلِيَّةِ هَذَا الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ عَلَى ذِكْرٍ مُجَرَّدٍ عَنْ هَذِهِ الصِّيغَةِ وَلَوْ تَكَرَّرَ يَسِيرًا كَذَا فِي الْحِلْيَةِ وَالْبَحْرِ

( Ucapannya : tidak mengapa menggunakan misbahah ) dengan huruf mim dikasrahkan adalah alat untuk bertasbih , ada pun yang tertulis dalam Al Bahr , Al Hilyah , dan Al Khazain adalah tanpa mim. Disebutkan dalam Al Mishbah : “ Subhah adalah manik-manik yang terangkai, kata ini menuntut bahwa ia adalah asli Arab. Al Azhari berkata : “ Itu kata yang muwalladah ( tidak asli Arab ), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.

Yang masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunah. Disebutkan dalam Al Maghrib: “ karena dia bertasbih padanya.”

Ada pun dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud , At Tirmidzi , An Nasa’I , Ibnu Hibban , dan Al Hakim , dia berkata : shahih sanadnya. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash : ( Lalu disebutlah hadits sebagaimana tertulis dalam jawaban ini pada hadits kedua )

Lalu katanya : “ Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan kepada cara yang lebih mudah dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan kepada wanita itu. Dari kandungan hadits ini, kita memahami bahwa subhah hanyalah kumpulan bijian yang dirangkai benang. Masalah seperti ini tidak tampak pengaruhnya pada pelarangan. Maka, bukan pula kesalahan jika mengikuti penggunaannya itu sebagaimana sekelompok kaum sufi yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.

Hadits ini juga menjadi saksi lebih utamanya dzikir khusus dibanding dzikir mutlak yang bebas dari bentuk ungkapan ini, walau pengucapannya banyak berulang-ulang. Demikian dalam Al Hilyah dan Al Bahr. ( Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam )

6.  Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah

Beliau menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir, ketika menerangkan hadits Yusairah:

وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث

“ Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah ( untaian biji tasbih ) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya.

==============================

Dalam riwayat Ad Dailami: “ Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.”

Tetapi mu’allif ( yakni Imam As Suyuthi ) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.” ( Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon )

Catatan: riwayat Ad Dailami yang dikutip oleh Imam Al Munawi adalah maudhu’ ( palsu ). ( As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/184, No. 83 )

===============================

7.   Imam Abu Thayyib Abdul ‘Azhim Syamsul Haq Abad Rahimahullah

Beliau berkata ketika mengomentari hadits Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu ‘Anhu, sebagai berikut:

الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى ، وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ الْفَارِقِ ، لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى ذَلِكَ وَعَدَمِ إِنْكَارِهِ ، وَالإْرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَل مِنْهُ لاَ يُنَافِي الْجَوَازَ . قَال : وَقَدْ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ آثَارٌ ، وَلَمْ يُصِبْ مَنْ قَال إِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ

Hadits ini merupakan dalil bolehnya menghitung tasbih dengan biji-bijian dan kerikil, begitu juga dengan subhah karena tidak ada bedanya, hal ini karena setujunya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap wanita tersebut Beliau tidak mengingkarinya, dan petunjuk Beliau kepada sesuatu yang lebih utama tidaklah menghilangkan kebolehannya. Dia (Abu Thayyib) berkata : telah banyak atsar tentang hal itu, dan sama sekali tidak benar bagi yang mengatakan itu adalah bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, 4/367, sebagaimana dikutip dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/259 )

8.  Syaikh Abu Al ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Rahimahullah

Beliau menerangkan dalam Tuhfah Al Ahwadzi, ketika menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut :

وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ .

“ Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari , alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi menyebutkan bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara , yakni mereka akan menjadi saksi hal itu . Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah ( untaian biji tasbih ) dan kerikil. Dalil yang menunjukkan kebolehannya menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita yang dihadapannya terdapat bijian atau kerikil yang digunakannya untuk bertasbih ( Al Hadits ) . Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai , dia berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. ( Al Hadits ).” ( Tuhfah Al Ahwadzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif )

9.   Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah

Beliau ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah? Beliau menjawab:

المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة .

“ Seharusnya tidak memakainya, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya seandainya bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah ( alat tasbih ) atau biji-bijian dan meninggalkan hal itu dirumahnya, sampai-sampai manusia menggantungkannya dan dahulu para salaf melakukannya. Masalah ini lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun memeganginya pada tangannya di masjid sebagusnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.” ( Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat, 29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam )

10.   Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Al Hanafi Rahimahullah

Beliau ditanya oleh seorang dari Jeddah bernama Ahmad Shalih, dia terbiasa berdzikir menggunakan biji tasbih baik pagi atau sore, sedangkan jika dengan jari seringkali melakukan kesalahan hitung, bolehkah ini, bid’ah atau tidak?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab:

السبحة ليست بدعة لأن النبي صلى الله عليه وسلم مر على نساء وهن يسبحن بالحصى فقال عليه الصلاة والسلام اعقدن بالأنامل فإنهن مستنطقات فقد بينت السنة حكم التسبيح بغير الأصابع وأن الأولى التسبيح بالأصابع فالأولى أن يسبح الإنسان بالأصابع وإن كان لا يستطيع الإحصاء بالأصابع فلا حرج أن يسبح بحصى أو بمسبحة لكن بشرط أن يبتعد في ذلك عن الرياء بأن لا يسبح بذلك أمام الناس في غير وقت التسبيح فيعجب الناس به ويخشى عليه من الرياء في هذه الحال

“ As Sub-hah ( untaian biji tasbih ) bukanlah bid’ah , karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati para wanita , dan mereka sedang bertasbih menggunakan batu-batu kecil ( semacam kerikil ). Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “ Hitunglah bilangannya dengan ujung-ujung jari , karena nanti itu akan diajak bicara ( pada hari kiamat ).” Saya telah menjelaskan tentang kesunnahan hukum bertasbih dengan selain jari jemari dan lebih utamanya bertasbih adalah dengan jari jemari . Lebih utama adalah dengan jari jemari , dan jika dia tidak bisa menghitung dengan jari jemari , maka tidak apa-apa bertasbih dengan kerikil atau misbahah ( untaian biji tasbih ), tetapi dengan syarat dia menjauhi riya’, tidak menggunakannya di depan manusia pada selain waktu bertasbih demi mencari decak kagum manusia. Dan, hendaknya dalam keadaan ini dia takut terhadap riya’.” ( Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘alad Darb, Bab Mutafariqah, No. 708. Mawqi’ Ruh Al Islam )

11.   Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan Al Hambali Rahimahullah

Dalam Al Mulakhash Al Fiqhi, beliau berkata :

ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات، من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء، وإن اعتقد أن لها فضيلة؛ فاتخاذها بدعة، وذلك مثل السبح التي يتخذها الصوفية، ويعلقونها في أعناقهم، أو يجعلونها كالأسورة في أيديهم، وهذا مع كونه بدعة؛ فإن فيه رياء وتكلفا.

“ Dibolehkan menggunakan untaian biji tasbih untuk menghitung dzikir dan tasbih, dengan tanpa meyakini adanya keutamaan khusus padanya. Sebagian ulama ada yang memakruhkan. Jika dibarengi keyakinan memiliki keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah. Itulah bertasbihnya kaum sufi, mereka mengkalungkannya pada leher-leher mereka, atau menjadikannya gelang pada tangan-tangan mereka, ini semua bid’ah, di dalamnya terdapat riya’ dan memaksakan diri.” ( Syaikh Shalih Fauzan, Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam )

12. / Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah

Beliau mengatakan, ketika ditanya bid’ahkah menghitung tasbih dengan sub-hah? Katanya:

أن الأمر بالعد بالأصابع ليس على سبيل الحصر بحيث يمنع العد بغيرها ، صحيح أن العد بالأصابع فيه اقتداء النبى صلى الله عليه وسلم لكنه هو نفسه لم يمنع العد بغيرها ، بل أقر ه ، وإقراره من أدلة المشروعية .

“ Sesungguhnya perintah menghitung tasbih dengan jari tidaklah membatasi yang lainnya,  yang membuat terlarang menghitung dengan selainnya . Benar bahwa menghitung dengan jari jemari merupakan upaya mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , tetapi hal itu sendiri tidaklah melarang menggunakan selainnya . Bahkan Beliau menyetujuinya,  dan persetujuannya itu merupakan dalil disyariatkannya.” ( Lalu Beliau memaparkan berbagai riwayat tentang berdzikir menggunakan biji dan kerikil, baik pada masa Rasulullah, sahabat, dan tabi’in )

Beliau melanjutkan;

وبناء على ما سبق ذكره يكون التسبيح بغير عقد الأصابع مشروعا، لكن أيهما أفضل ؟ يقول السيوطى : رأيت فى كتاب “تحفه العباد ” ومصنفه متأخر عاصر الجلال البلقينى فصلا حسنا فى السبحة قال فيه ما نصه : قال بعض العلماء : عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمرو، لكن يقال : إن المسبح إن أمن الغلط كان عقده بالأنامل أميل وإلا فالسبحة أولى . والسنة أن يكون باليمين كما فعل الرسول صلى الله عليه وسلم وجاء ذلك فى رواية لأبى داود وغيره .

“ Penjelasan yang telah lalu menunjukkan bahwa bertasbih dengan selain jari jemari adalah masyru’ ( disyariatkan ), tetapi mana yang lebih utama..?. .Berkata Imam As Suyuthi: “Aku melihat dalam kitab Tuhfah Al ‘Ibad, yang disusun oleh ulama belakangan Al Jalal Al Bulqini, dengan penjelasan yang bagus tentang Sub-hah, dia berkata : “ Berkata sebagian ulama : “ Menghimpun tasbih dengan ujung jari jemari adalah lebih utama dibanding biji tasbih, lantaran hadits Ibnu Amr . Tetapi disebutkan: “ Jika merasa aman dari kesalahan menghitung tasbih dengan tangan , maka dengan tangan adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan subhah adalah lebih utama. ” Sunnahnya menggunakan jari kanan , sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya.” ( Fatawa Al Azhar, 9/11 )

Demikianlah para ulama yang dengan tegas menyatakan kebolehan bertasbih dengan subhah atau yang semisalnya . Nama-nama mereka sudah menjadi garansi hal ini . Namun mereka sepakat, bahwa menggunakan jari jemari adalah lebih utama dan lebih hati-hati . Bagi seorang muslim yang wara’, tentu dia akan menempuh jalan yang lebih utama dan hati-hati itu . Apalagi bagi yang mudah terserang penyakit riya dan sum’ah maka menghindarinya adalah lebih utama lagi.

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ

“ Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghimpun tasbih.” Ibnu Qudamah mengatakan: “Dengan jari tangan kanannya.” ( HR. Abu Daud No. 1502 )

Imam An Nawawi mengatakan hasan. ( Al Adzkar, Hal. 18, No. 28 ) Syaikh Al Albani mengatakan shahih. ( Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1502 )

FIHAK YANG MENOLAK DAN MEM BID AHKANNYA

1. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah

Beliau menjelaskan tentang hadits di atas:

فهذا هو السنة في عد الذكر المشروع عده ، إنما هو باليد ، و باليمنى فقط ، فالعد باليسرى أو باليدين معا ، أو بالحصى كل ذلك خلاف السنة ، و لم يصح في العد بالحصى فضلا عن السبحة شيء

“ Inilah sunah dalam hal menghitung dzikir yang disyariatkan, yaitu hanyalah dengan tangan, bagian kanan saja . Sedangkan menghitung dengan kiri atau dua tangan bersamaan, atau dengan batu-batu kecil, maka semua itu bertentangan dengan sunah . Tidak ada yang shahih satu pun tentang menghitung dzikir dengan batu-batu kecil yang tersusun seperti biji tasbih.” ( As Silsilah Adh Dhaifah 3/47, No. 1002 )

Demikianlah menurut Syaikh Al Albani,

sementara imam lainnya – Imam At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi- mengatakan bahwa hadits-hadits tentang menghitung dzikir dengan kerikil atau biji-bijian adalah antara shahih dan hasan. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits Shafiyah.

2. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Beliau mengomentari kisah Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu yang sedang mengingkari halaqah dzikir yang menghitung dzikir menggunakan batu-batu kecil:

ولا يكون ذلك بالعد بالحصى، ولا بغير الحصى، وإنما الإنسان يعد ما ورد عده، مثل التسبيح بعد الصلاة ثلاثاً وثلاثين، والتحميد ثلاثاً وثلاثين، والتكبير ثلاثاً وثلاثين، ويقول عند تمام المائة: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كل شيء قدير، فهذا شيء جاءت به السنة، والإنسان يعد بأصابعه، ولكن كون الإنسان يسبح بحصى هذا شيء لم يأت به السنة عن رسول الله عليه الصلاة والسلام، ولهذا قال أبو عبد الرحمن ما قال، ونبه إلى أن الصحابة هم القدوة وهم الأسوة وهم السابقون إلى كل خير، ولو كان خيراً لسبقوا إليه.

“ Tidaklah perhitungan dzikir itu menggunakan batu-batu kecil , tidak pula yang lain . Sesungguhnya manusia menghitungnya sebagaimana hitungan yang telah warid ( datang ) riwayatnya , seperti tasbih setelah shalat 33 kali , tahmid 33 kali , takbir 33 kali , lalu melengkapinya hingga seratus dengan membaca : Laa Ilaha Illallahu wahdahu laa syarika lahu , lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Inilah dzikir yang ada pada sunah, dan manusia menghitungnya dengan jari jemarinya, tetapi perilaku menusia yang menghitungnya dengan batu-batu kecil, maka itu tidak ada dasarnya dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Oleh karena itu berkatalah Abu Abdurrahman ( Ibnu Mas’ud ) sebagaimana yang telah dikatakannya. Seraya mengabarkan mereka bahwa sahabat nabi adalah teladan dan contoh , mereka adalah orang yang awal dalam setiap kebaikan , seandainya hal ini baik niscaya mereka sudah mendahuluinya.” ( Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 8/228 )

Beliau juga menjelaskan di halaman lain, ketika mengomentari hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash:

والحديث ضعيف غير ثابت؛ لأن في إسناده مجهولاً لا يعرف وهو خزيمة المذكور في الإسناد، فالحديث غير صحيح، وعلى هذا فلا يجوز العد والتسبيح بالحصى ولا بالنوى، وكذلك ليس للإنسان التسبيح بالمسبحة، فأقل أحواله أن يكون خلاف الأولى، وبعض أهل العلم يقول: إنه بدعة، فالذي ينبغي أن يبتعد الإنسان عنه ولا يفعله، وإنما يسبح بالأصابع؛ لأنه كما جاء في الحديث: (فإنهن مسئولات مستنطقات) كما سيأتي، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يسبح بأصابعه، يعني: بأنامل يمينه كما سيأتي.

“ Dan hadits ini dhaif , tidak kuat . Karena dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul , tidak dikenal , yakni bernama …Khuzaimah… yang tertera dalam sanadnya . Maka , hadits ini tidak shahih. Oleh karena itu tidak boleh manusia bertasbih dengan batu-batu kecil , bijji-bijian , demikian juga dengan subhah, minimal keadaan ini bertentangan dengan perbuatan yang pertama ( yakni dengan jari jemari ). Sebagian ulama mengatakan: itu adalah bid’ah . Maka hendaknya manusia dijauhkan darinya dan tidak melakukannya . Sesungguhnya bertasbih itu hanyalah dengan jari jemari , sebagaimana hadits: (Sesungguhnya jari jemari akan ditanya dan diajak bicara), sebagaimana penjelasan yang akan datang . Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan jari-jemarinya , yaitu ujung jari bagian tangan kanan sebagaimana penjelasan selanjutnya.” ( Ibid, 8/228 )

Saya sudah sebutkan di atas ( lihat keterangan hadits kedua ), bahwa hadits yang didhaifkan Syaikh Abdul Muhsin ini, adalah hadits yang dihasankan oleh Imam At Tirmidzi , Imam An Nawawi , dan Imam Ibnu Hajar , serta dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban , Imam Al Hakim , Imam As Suyuthi , dan disetujui oleh Imam Asy Syaukani.

Demikianlah masalah ini . Kami – walaupun cenderung mengikuti pendapat yang membolehkannya sebab dia hanyalah alat bantu hitung saja , bukan dzikir itu sendiri- tetap berharap agar kita tidak bersikap intoleran dan kasar terhadap saudara – saudara kita yang tidak sepaham . Sudah seharusnya seorang muslim bertoleransi dalam masalah furu’ ( cabang ) yang dijadikan ajang berdebatan para imam kaum muslimin , khususnya pada masa belakangan.

.

Hadits Mutiara Leher Babi

As-Sunnah atau Hadits merupakan dasar hukum Islam yang kedua yang berfungsi sebagai penguat dan penjelas dari isi kandungan dari ayat-ayat al-Qur’an. Adapun dasar manusia untuk melakukan belajar adalah hadits Nabi SAW.sebagai berikut :

….. حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارُ بْنُ حَفْصٍ بْنِ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيْرُ بْنُ شِنْظِيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنِ عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌٌ علَىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ العِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمَثَلِ الخَنَازِيْرِ الجَوْهَرِ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ …..

Artinya: “ Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada saya, Hafsh bin Sulaiman telah menceritakan kepada saya, Katsir bin Sindhir telah menceritakan kepada saya, dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik. Dia berkata: Rasulullah saw.bersabda:

 menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim,

dan orang yang memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya seperti orang yang mengalungkan permata mutiara dan emas pada leher babi

Utsaimin – Do’a untuk mayat


.

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin merupakan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi , yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan…. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin al-Wahib at-Tamimi atau lebih dikenal dengan Ibn al-Utsaimin….. Dalam beberapa fatwanya, terdapat pernyataan menarik yang mungkin jarang di publikasikan oleh pengikutnya ….tentang bacaaan al-Qur’an untuk orang mati….. Berikut diantara pernyataan beliau,

وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأ و ينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل

“ Pembacaan al-Qur’an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur’an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur’an untuk orang mati memberikan manfaat,….. akan tetapi do’a adalah yang lebih utama (afdlal) ”

Sumber : Majmu Fatawa wa Rasaail ….[17/220-221] karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin [w. 1421 H]

=  Para Ulama Madzhab Asy Syafi’i  – menyarankan – Bacalah Al-Qur an sampai khatam untuk saudaramu yang telah wafat – itu adalah lebih baik  dan yang lebih afdlol adalah membaca sambil menjiarahi makamnya.

.

Mengalungkan Permata Mutiara dan Emas pada Leher Babi


.

 As- Sunnah atau Hadits merupakan dasar hukum Islam yang kedua yang berfungsi sebagai penguat dan penjelas dari isi kandungan dari ayat-ayat al-Qur’an.

Adapun dasar manusia untuk melakukan belajar adalah hadits Nabi SAW.sebagai berikut:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارُ بْنُ حَفْصٍ بْنِ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيْرُ بْنُ شِنْظِيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنِ عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌٌ علَىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ العِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمَثَلِ الخَنَازِيْرِ الجَوْهَرِ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ

Artinya:

Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada saya, Hafsh bin Sulaiman telah menceritakan kepada saya, Katsir bin Sindhir telah menceritakan kepada saya, dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik. Dia berkata:

Rasulullah saw.bersabda:

“ menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim, dan orang yang memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya seperti orang yang mengalungkan permata mutiara dan emas pada leher babi.”

 

 

 

Antara Ahmadiah – AlBani dan Hizbut Tahrir.


Beragamnya tanggapan tentang Ahmadiyah membuktikan bahwa sebagian kaum muslimin masih ada yang belum paham tentang aqidah islamiyah. Padahal pemahaman terhadap masalah ini sangat penting dan mendasar.

Orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat tidak boleh salah dalam mamahami masalah satu ini. Sebab jika keliru, bisa menyebabkannya kufur dari agama Allah.

Aqidah islamiyah adalah  keyakinan yang dipegang teguh oleh Rasulullah dan para sahabat serta menjadi ijmak ( kesepakatan ) para ulama.

Secara bahasa aqidah diambil dari kata dasar “ Al Aqdu ” yang berarti ikatan. Secara istilahi ia artinya keimanan yang kokoh dan ketetapan yang pasti yang tidak mengandung suatu keraguan sedikit pun.

Orang yang hatinya sudah terpaku dengan aqidah, akan menjadikannya sebagai mazhab dan agama. Jika keimanan yang kokoh dan ketetapan yang pasti itu benar, otomatis aqidahnya juga benar.

Sebaliknya, jika keimanannya batil maka agidahnya menjadi batil.

Contoh masalah aqidah diantaranya tentang keyakinan nabi terakhir. Berita dari Rasulullah dan keyakinan para sahabat dan pemahaman para ulama, tegas menyatakan bahwa nabi terakhir adalah Nabi Muhammad.

Contoh lain yaitu keyakinan tentang alQur an.

Ajaran yang benar seperti yang diberitakan Rasulullah dan dipahami oleh para sahabat, ulama salaf dan yang mengikutinya, bahwa al-Qur’an itu kalamullah dan  bukan makhluk.

Demikian pula keyakinan tentang hadits nabi.

Sejak jaman Nabi Muhammad, para sahabat dan ulama setelannya, meyakini bahwa hadits adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.

Mereka juga meyakini bahwa hadits adalah wahyu Allah yang bersifat maknawi dan lafadnya dari Rasulullah.

Sedang AlQur’an, makna dan lafadnya dari Allah.

Yang juga termasuk aqidah yaitu tentang keyakinan orang islam yang masuk neraka.

Ajaran yang benar dari Rasulullah, seorang muslim yang telah melakukan dosa besar akan masuk neraka, tapi tidak kekal di dalamnya selama dalam hatinya ada iman.

Itulah beberapa contoh masalah aqidah dan masih banyak lagi lainnya, dimana setiap muslim tidak boleh menyelisihinya.

Orang yang  sengaja menyelisihi aqidah Rasulullah dan para sahabat berarti terjerumus dalam kesesatan.

Dalam masalah yang satu ini tidak boleh ada perbedaan diantara umat Islam.

Islam dengan tegas melarang perbedaan dalam hal pokok ( ushul ), yaitu menyangkut masalah aqidah pada umumnya, pemahaman masalah hukum-hukum Islam yang telah jelas dan menjadi kesepakatan para ulama ( jumhur ulama ).

Karena itulah orang yang menyelisihi masalah ini dihukumi sesat sebagaimana yang terjadi pada Ahamadiyah, Ingkarsunnah dan lain-lainnya.

Adapun berkaitan dengan masalah furuiyah ( cabang ) dibolehkan berbeda pendapat.

Sebab masalah ini tidak menyalahi al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman para sahabat.

Beberapa contoh berkaitan dengan masalah furuiyah antara lain tentang adzan sekali atau dua kali dalam shalat jum’at.

Kemudian qunut Shubuh, angkat tangan atau tidak angkat tangan dalam berdo’a, mengucapkan bismillah dengan keras atau pelan saat membaca surat al-fatihah dalam shalat dan tentang jumlah rakaat dalam shalat tarawih dan lain-lainnya.

Berkaitan dengan hal ini, tidak dibenarkan mengklaim bahwa salah satunya yang benar dan lainnya salah.

Apalagi sampai menyesatkan.Kita hanya boleh mengatakan bahwa pendapat yang satu lebih rajin (kuat) dibanding pendapat lainnya.

Persoalan furuiyah ini merupakan masalah ijtihadiyah di kalangan para ulama ( sahabat, tabiin dan tabiut tabiin ) yang semuanya berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah.

Perbedaan mereka hanya berkisar pada masalah-masalah fiqiyah yang rumit-rumit. Sedang masalah aqidah mereka tidak berbeda.

Deteksi Dini Aliran Sesat Rasulullah bersabda “ Akan keluar suatu kaum diakhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan”Khairil Bariyah” (maksudnya: mengucapkan firman-firman Tuhan yang dibawa oleh Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan  mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka. ” ( HR.Bukhari ).

Persoalan aqidah dan furuiyah ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama.

Namun sayang, masih banyak umat islam yang belum memahami dengan baik.

Padahal kesalahan pemahaman terhadap masalah memiliki konsekwensi yang berbeda, sebagaiman dijelaskan diatas.

Dari kedua hal itu yang harus menjadi perhatian utama adalah masalah aqidah.

Jangan sampai kita yang sudah masuk islam memiliki aqidah yang salah dan keliru.

Kekeliruan dalam masalah ini bisa menyebabkan kita sesat jalan.

Jauh sebelumnya Rasulullah telah mengisyaratkan akan munculnya kelompok atau orang yang menyelisihi aqidah yang benar.

Rasulullah bersabda, “Akankeluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah”(maksudnya: mengucapkan firman-firman Tuhan yang dibawa oleh Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka.’(HR.Bukhari).
Dari Ibnu Abbas r.a berkata Rasulullah, “Sesungguhnya diwaktu yang akan datang akan ada peperangan diantara orang-orang yang beriman.” Seorang sahabat bertanya:

“ Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.”

Rasulullah SAW bersabda: “ Ya,karena mengada-adakan di dalam agama, mereka mengerjakan agama dengan pendapat fikirannya, padahal di dalam agama itu tidak ada pendapat fikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” ( HR.Ath-Thabarani ).

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa akan muncul sekelompok atau orang yang memahami al-Qur’an berdasar hawa nafsu dan akalnya yang dangkal tanpa ilmu,serta tidak mau mengikuti penjelasan Rasulullah dan pemahaman para sahabat.

Mereka mengambil kesimpulan hukum istinbath/ dan menafsirkan al-Qur an tanpa bekal ilmu yang memadai seperti bahasa Arab, hadits dan penafsiran para sahabat.

Akibatnya, hasil penafsirannya menyelisihi aqidah yang benar.Kalau sekedar membaca dan menerjemahkan al-Qur’an secara lafdiyah serta membaca tafsir yang mu’tabar ( diakui ), tidak ada masalah, bahkan hal itu mendapat pahala.

Yang tidak boleh adalah menafsirkan atau mengintepretasikan al-Qur’an tanpa bekal ilmu yang memadai.

Sebab hal itu bisa merusak maksud dan makna al-Qur’an yang sebenarnya.

Berkaitan dengan masalah aqidah, kita harus memiliki keimanan yang benar dengan mengikuti jejak ulama yang berpegang teguh pada al-Qur’an sesuai penjelasan Rasulullah dan pemahaman para sahabat.

Bukan mengikuti orang-orang  jahil ( bodoh ) yang berani menyelisihi aqidah Rasulullah.

Kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan aqidah kita dari ajaran yang menyimpang dan menyesatkan.

Amin

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Paham Anti Madzhab Ingin Meruntuhkan Syariah Islam


Paham Anti Mazhab Ingin Meruntuhkan Syariah Islam

.

 

.
Jumat, 04 Desember 2009 00:46

.

 As-Sunnah As- Sunnah atau Hadits merupakan dasar hukum Islam yang kedua yang berfungsi sebagai penguat dan penjelas dari isi kandungan dari ayat-ayat al-Qur’an.

Adapun dasar manusia untuk melakukan belajar adalah hadits Nabi SAW.sebagai berikut:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارُ بْنُ حَفْصٍ بْنِ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيْرُ بْنُ شِنْظِيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنِ عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌٌ علَىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ العِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمَثَلِ الخَنَازِيْرِ الجَوْهَرِ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ

Artinya:

Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada saya, Hafsh bin Sulaiman telah menceritakan kepada saya, Katsir bin Sindhir telah menceritakan kepada saya, dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik. Dia berkata:

Rasulullah saw.bersabda:

“ menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim, dan orang yang memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya seperti orang yang mengalungkan permata mutiara dan emas pada leher babi.” 

.

Pertanyaan

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Maaf beribu maaf ustad,saya ingin tabayyun ke ustad.

Di situs pribadi ustad,ada artikel judulnya “ Anti mazhab,Bid’ah paling merusak ” dalam artikel tersebut  disebutkan tokoh terbesar anti mazhab adalah Nashirudin Albani.padahal beliau ( setahu saya yg ilmunya masih sedikit ini ) diakui keilmuan dan keulamaannya oleh banyak kalangan termasuk oleh syekh bin Baz,syekh qardhawi,dll.mohon penjelasan.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

tyo

.

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Artikel pada situs saya itu adalah bagian dari bedah buku yang ditulis oleh ulama besar Syria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy. Apa yang saya tulis di dalam artikel itu lebih merupakan buah pemikiran beliau sang penulis buku.

Dr. Said Ramadhan Al-Buthy sendiri juga mengakui ketokohan seorang Al-Albani.

Justru karena dianggap sebagai tokoh itulah, maka kemudian perlu diajak berdialog untuk dicari titik temu.

.

Barangkali seorang Al-Albani kurang memahami sepenuhnya tentang ilmu fiqih. Mengingat beliau itu memang bukan ulama syariah.

.

Dan hal seperti ini bukan merupakan aib. Karena di masa sekarang ini, setiap ulama punya spesialisasi sendiri-sendiri.

Dan sebagai perwakilan dari para ulama ahli fiqih, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy berupaya membangun dialog yang baik, agar tidak terjadi salah paham.

Al-Albani sendiri memang tokoh penting di dalam dunia hadits. Sudah banyak karya beliau yang memenuhi rak-rak buku para pelajar dan mahasiswa.

Dan sudah banyak orang yang menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah hadits.

Akan tetapi di dalam dunia ilmu fiqih, Al-Albani memang punya catatan tersendiri, dimana dirinya sering menyerang ilmu fiqih dan cenderung anti dan memusuhi  madzhab-madzhab fiqih yang sudah ada.

Hal ini dikemukakan oleh guru besar ilmu fiqih, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, ulama fiqih kenamaan dari Syria.

Buku ini menceritakan bagaimana terjadinya perdebatan seru antara kedua tokoh penting yang sama-sama tinggal di Syria.

Al-Albani dengan pendiriannya yang ingin merobohkan bangunan besar ilmu Fiqih Islam, yang sudah berdiri sejak awal peradaban Islam.

Sedangkan Dr. Said Ramadhan Al-Buthy berada pada posisi membela dan mempertahankan kedudukan ilmu Fiqih serta urgensinya dalam memahami Al-Quran dan Sunnah.

Menurut Al-Albani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun.

Keberadaan madzhab-madzhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.

Tentu saja pendapat seperti ini adalah pendapat yang keliru besar. Ilmu fiqih dan mazhab pada ulama yang ada itu bukan didirikan untuk menyelewengkan umat Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Justru ilmu fiqih itu sangat diperlukan sebagai metodologi yang istimewa dalam memahami Quran dan Sunnah.

Menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, kedudukan ilmu fiqih kira-kira sama dengan kedudukan ilmu hadits. Keduanya tidak pernah diajarkan secara baku oleh Rasulullah SAW. Ilmu hadits atau juga dikenal dengan ilmu naqd ( kritik ) hadits, juga merupakan produk manusia, hasil ijtihad, bukan ilmu yang turun dari langit.

Tapi dengan ilmu hadits, kita jadi tahu mana hadits yang shahih, mana hadits yang dhaif dan mana hadits yang maudhu’. Padahal yang menyusun ilmu hadits itu bukan Rasulullah SAW, juga bukan para shahabat, tetapi para ulama dengan ijtihad mereka.

Ketika menetapkan syarat-syarat hadits shahih agar bisa dimasukkan ke dalam kitab As-Shahih, sesungguhnya Al-Bukhari juga sedang berijtihad. Dan kita umat muslim sedunia mengikuti ijtihad beliau dan menggunakan syarat-syarat yang beliau tetapkan.

Maka ketika Al-Imam Asy-Syafi’i yang lahir jauh sebelum zaman Bukhari meletakkan syarat dan aturan dalam mengistimbath hukum dari Quran dan Sunnah,  lalu mendirikan ilmu Ushul fiqih, sebenarnya beliau telah berjasa besar kepada umat Islam.

Sama dengan Al-Bukhari yang juga berjasa agar umat Islam tidak salah dalam memilih hadits.

Demikian juga ketika Abu Hanifah menetapkan dasar-dasar istimbath hukumnya, agar setiap orang tidak asal main qiyas begitu saja, sebenarnya ilmu yang beliau tetapkan itu sangat bermanfaat buat umat Islam.

Sama dengan Al-Bukhari yang juga berijtihad agar umat Islam tidak jatuh ke dalam hadits palsu atau lemah.

Sayangnya, ilmu fiqih dan ushul fiqih yang sudah sejak 14 abad dijadikan standar dalam mengistimbath hukum oleh seluruh umat Islam, oleh Al-Albani ingin dirobohkan begitu saja, dengan alasan kedua ilmu itu dianggap bid’ah dan hanya merupakan ijtihad manusia.

Karena itulah para ulama fiqih meradang dan marah besar kepada Al-Albani yang dengan naifnya ingin merobohkan asas-asas dan sendi pokok ilmu fiqih. Salah satunya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy yang akhirnya mengajak Al-Albani bertukar fikiran, agar jangan sampai terjadi salah paham.

Sayangnya, ternyata Al-Albani tetap ngotot dan bersikeras untuk meruntuhkan bangunan ilmu fiqih. Bahkan meski sudah berdialog semalam suntuk, dia tetap ‘keukeuh‘ dengan pendiriannya. Dia tetap ingin meruntuhkan ilmu fiqih karena dalam pandangannya ilmu fiqih itu bid’ah.

Maka Dr. Said Ramadhan hanya bisa menghela nafas panjang. Susah rasanya bicara dengan orang yang tidak mau mengalah dan tidak mau mengerti dengan realitas yang ada.

Untuk itulah beliau kemudian menyusun tulisan sebagai counter dari serang-serangan yang selalu dilancarkan oleh Al-Albani, agar umat Islam sedunia mengerti dan paham, apa sesungguhnya misi dan visi seorang Al-Albani.

Judul buku itu dalam bahasa arab adalah : Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.

Dalam pandangan saya, kita memang tidak boleh terlalu fanatik dengan madzhab fiqih. Maksudnya, pendapat para ulama itu mungkin benar dan mungkin juga salah. Namanya juga ijtihad.

Tetapi alangkah kelirunya kalau pendapat para ulama itu kita benturkan dengan Quran dan Sunnah. Tidak akan pernah terjadi hal itu. Sebab pendapat para ulama itu justru lahir dari Quran dan Sunnah.

Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa seorang Al-Albani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri.

Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.

Sayangnya, para pendukung Al-Albani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-Albani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam madzhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada.

Naudzu billahi min dzalik.

Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-Albani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-Albani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah.

Apa pun yang dikatakan Al-Albani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak.

Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.

Padahal kapasitas Al-Albani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih.

Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya.

Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits.

Al-Albani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits.

Al-Albani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung.

Al-Albani adalah tokoh hadits yang cukup kontroversial. Setidaknya menurut sebagian kalangan. Baik di kalangan ulama hadits sendiri, apalagi . di kalangan ulama fiqih. Tetapi yang menarik, Al-Albani memang sangat produktif dalam menerbitkan buku. Dan dahsyatnya, buku-buku karyanya memang cukup menghebohkan dunia ilmu syariah.

Selama ini para ulama dan ahli ilmu kebanyakan hanya diam saja dan tidak terlalu menanggapi ulah Al-Albani. Dan hanya sedikit ulama yang secara serius menanggapi dan meladeninya. Salah satunya yang pernah langsung menghadapinya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy.

Kalau tertarik membaca bukunya, silahkan download disini …[klik]… Tapi mohon maaf buku ini masih dalam versi Arabnya.

Dahulu pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, tapi entah bagaimana, ketika saya baca versi terjemahannya, saya malah semakin bingung. Makanya saat ini saya sedang meminta salah seorang ustadz untuk menterjemahkan ulang dengan bahasa yang lebih komunikatif.

Namun artikel itu saya angkat bukan dengan niat untuk menjelekkan atau melecehkan, apalagi merendahkan seorang Al-Albani. Dalam beberapa tulisan, saya pun banyak memuji beliau, bahkan saya banyak juga mengutip pendapat beliau.

Namun dalam dunia ilmiyah, mengkritik pendapat seseorang bukan hal yang tabu. Justru semakin terbuka seseorang atas kritik, semakin tinggi nilai kemampuan ilmiyahnya.

Kalau saya menampilkan kritik atas pendapat Al-Albani, jangan dianggap saya membenci beliau. Sebaliknya, justru karena saya menyukai beliau.

Tapi kadang adik-adik kelas saya yang baru saja belajar agama, sering kali salah tanggap. Dikiranya kalau seseorang sudah mengkritik Al-Albani, seolah dianggap memusuhinya.

Nah, semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai ‘serangan’ kepada mereka.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber:

Paham anti Mazhab

Note : Saya ( penulis ) juga ingin mengatakan dan menyampaikan kepada para pembaca , bahwa : Al AlBani itu memang orang yang hebat , dan sangat luar biasa.

http://www.warnaislam.com/syariah/hadis/2009/12/4/2760/Paham_Anti_Mazhab_Ingin_Meruntuhkan_Syariah_Islam.htm

Mendoakan Orang Yang Telah Meninggal


Pertanyaan :
Apa hukum mendoakan orang yang telah meninggal setelah dimakamkan oleh orang-orang yang menghadiri pemakaman? .
Penduduk di desa kami berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Jawaban Dewan Fatwa :
Berdasarkan tuntunan Sunnah, orang-orang yang mengantar jenazah, setelah menguburkannya hendaknya berdiri sejenak di sisi kuburan guna mendoakannya.
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim –dan dia menyatakan bahwa hadis ini adalah shahih sanadnya–
dari Utsman r.a., dia berkata :
“Nabi saw. jika selesai menguburkan jenazah beliau berdiri sejenak dan bersabda,

اسْتَغفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التَّثبِيْتَ؛ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ

Mohonlah ampunan bagi saudara kalian dan mintalah keteguhan untuknya, karena dia sekarang sedang ditanya.”
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Amr bin Ash r.a., dia berkata :
Jika kalian telah selesai menguburkanku, maka tebarkanlah sedikit tanah ke kuburanku dan tetaplah berada di sekitarnya selama waktu orang menyembelih unta dan membagikan dagingnya, sehingga aku dapat menjadikan kalian sebagai penenangku dan melihat apa yang akan aku sampaikan kepada para utusan Tuhanku.”
Perbuatan seperti ini hanya dilakukan setelah selesai penguburan.
Sebelum berdoa, tidak apa-apa disampaikan nasehat singkat mengenai kematian dan kehidupan akhirat.
Karena, hal itu dapat membuat jiwa orang-orang yang hadir menjadi lebih tenang dan lebih siap untuk bermunajat kepada Allah.
Diriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah, dia berkata :
Kami sedang menghadiri pemakaman jenazah di Baqi’ Gharqad.
Kemudian Nabi saw. datang lalu duduk dan kami pun duduk di sekitar beliau. Beliau memegang sebuah tongkat pendek.
Beliau menunduk dan mematuk-matukkan ujung tongkat pendek itu ke tanah “.
Beliau lalu bersabda :

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلاَّ قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً “

Tidak ada seorangpun dari kalian, tidaklah ada jiwa yang diciptakan, kecuali telah ditetapkan tempatnya di surga atau di neraka, dan telah ditetapkan sebagai orang celaka atau bahagia.”
 Seorang sahabat berkata :
Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kita tidak sebaiknya menyerahkan diri pada ketetapan itu”.
Beliau menjawab :

اِعْمَلُوْا؛ فكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِما خُلِقَ له

Beramallah, karena setiap orang dimudahkan untuk beramal sesuai dengan apa yang dia diciptakan untuknya ”.( Muttafaq Alaih ).
Imam Bukhari dalam ash-Shahih membuat bab untuk hadis ini dengan judul,
Bab Nasehat Seseorang di Kuburan dan Orang-orang Duduk di Sekitarnya ”.
Dalam kitab al-Adzkâr, an-Nawawi berkata :
Dianjurkan untuk duduk di sekitar kubur setelah pemakaman selama waktu seseorang menyembelih unta dan membagi-bagikan dagingnya.
Orang-orang yang duduk itu hendaknya membaca Alquran dan berdoa untuk mayat, serta memberi nasehat dan menceritakan kisah orang-orang saleh kepada hadirin. “
Imam Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa dianjurkan untuk membaca sejumlah ayat Alquran di tempat penguburan.
Dan akan lebih baik jika dapat mengkhatamkan Alquran di sana :
” Adapun cara berdoa, apakah dengan suara keras ataupun suara pelan, maka terdapat kelapangan dalam melaksanakannya, sehingga seseorang dipersilahkan untuk memilih salah satu dari keduanya.
Memperdebatkan masalah itu hanya akan menuai murka dari Allah dan Rasul-Nya, sebab hal itu termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.
Karena, salah satu bentuk amalan bid’ah adalah sikap mempersempit sesuatu yang dilapangkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Jika Allah memerintahkan suatu perbuatan dalam bentuk umum yang pelaksanaannya mempunyai lebih dari satu kemungkinan, maka perintah itu harus dipahami dalam keumuman dan kelapangan itu.
Tidak boleh membatasi maknanya dengan cara apapun kecuali didasarkan pada dalil tertentu.
Rasulullah saw. melarang kaum muslimin untuk banyak bertanya atau menyampaikan pertanyaan yang menyulitkan.
Beliau menjelaskan bahwa jika Allah SWT mendiamkan suatu masalah, maka itu adalah rahmat dan kelapangan yang diberikan kepada umat ini.
Beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah al-Khusyaniy :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا “

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyepelekannya.
Allah juga telah mengharamkan berbagai perbuatan haram, maka janganlah kalian melanggarnya.
Allah juga telah membuat batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya.
Dan Allah mendiamkan banyak hal sebagai bentuk rahmat untuk kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya.”
( HR. Daruquthni dan lainnya )
Hadis ini dishahihkan oleh Ibnu Shalah dan dihasankan oleh Nawawi.
At-Taftazani dalam kitab Syarh al-Arba’în an-Nawâwiyyah berkata :
“Maksud kalimat: “maka janganlah kalian membahasnya” adalah janganlah bertanya-tanya mengenainya.
Karena bertanya-tanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh Allah akan mengakibatkan munculnya pembebanan dengan kewajiban yang menyulitkan.
Dan masalah seperti ini dihukumi dengan barâ`ah ashliyyah (prinsip bebas hukum selama tidak ada ketentuan )
” Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sangat buruk tindakan seseorang yang membuat kaum muslimin mengalami kesulitan disebabkan dia banyak bertanya.
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya, dia berkata :
“Rasulullah saw. bersabda :

أَعْظَمُ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا رَجُلٌ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ وَنَقَّرَ عَنْهُ فَحُرِّمَ عَلَى النَّاسِ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

Orang muslim yang paling besar kejahatannya terhadap kaum muslimin adalah seseorang yang menanyakan dan mencari tahu tentang sesuatu sehingga hal itu diharamkan kepada semua orang akibat pertanyaannya.
(HR. Muslim).
Abu Hurairah r.a. berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah berkhutbah di hadapan kami. Beliau bersabda :
Wahai orang-orang, Allah telah mewajibkan ibadah haji atas kalian, maka lakukanlah.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Beliau terdiam hingga sahabat itu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali.
Maka Rasulullah saw. bersabda :

لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ، ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ؛ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ

Kalau aku mengatakan, ‘Ya’, niscaya akan menjadi kewajiban dan kalian tidak akan sanggup melakukannnya.
Beliau lalu berkata lagi,
Biarlah seperti yang aku tinggalkan untuk kalian.
Sesungguhnya para umat sebelum kalian telah binasa akibat tindakan mereka yang suka bertanya dan berselisih dengan para nabi mereka.
Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.
Dan jika aku melarang kalian dari melakukan sesuatu maka tinggalkanlah.”
(Muttafaq alaih).
Al-Allamah al-Munawi, dalam Faidhul Qadîr Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, berkata :
“Maksud hadits ini adalah:
Janganlah kalian bertanya kepadaku selama aku membiarkan kalian.
Janganlah kalian banyak bertanya mengenai sesuatu yang tidak penting dalam urusan agama kalian, selama aku membiarkan kalian dan tidak berkata apa-apa kepada kalian. 
Karena bisa jadi hal itu akan menjadi sesuatu kewajiban dan beban yang memberatkan.
Ambillah sesuai apa yang aku perintahkan dan jangan mencari-cari persoalan lain seperti yang dilakukan oleh para Ahlul Kitab.
Janganlah sering menyelidiki sesuatu yang telah jelas secara lahir meskipun mempunyai kemungkinan makna yang lain, karena hal itu dapat menyebabkan bertambahnya jawaban atas hal itu.
Sehingga, tindakan itu akan menyerupai kisah bangsa Israil yang banyak mempersulit diri sendiri sehingga mereka pun benar-benar dipersulit.
Oleh karena itulah Rasulullah saw. khawatir hal serupa terjadi pada umat beliau..”
Adapun berdoa secara bersama, maka bisa jadi hal itu membuat kemungkinan dikabulkannya doa lebih besar, di sisi lain ia membuat hati lebih terfokus dan membuat lebih khusyuk di hadapan Allah SWT, terutama jika doa itu diawali dengan nasehat singkat.
Rasulullah saw. bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.,

يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ

Pertolongan Allah bersama jamaah.”
(HR. Nasa`i dan Tirmidzi, serta dihahihkan oleh Tirmidzi).
Membaca surat al-Fatihah untuk mayat setelah penguburan adalah amalan yang disyariatkan oleh agama.
Karena, membaca sejumlah ayat Alquran di atas kuburan setelah prosesi pemakaman adalah disunahkan.
Al-Baihaqi, dalam as-Sunan al-Kubrâ, meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dengan sanad hasan –sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi— bahwa dia menganjurkan untuk membaca awal dan akhir surat al-Baqarah setelah prosesi pemakaman.
Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Zikir Setelah Shalat & Hukum Menjahrkan.


Zikir Setelah Shalat & Hukum Menjahrkannya

.

Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa :

ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALI WAL IKROOM

(Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.”

Al-Walid berkata, “Maka kukatakan kepada Al-Auza’i, “Lalu bagaimana bacaan meminta ampunnya?” dia menjawab, “Engkau ucapkan saja ‘Astaghfirullah, Astaghfirullah’.” (HR. Muslim no. 591)

.

Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau tidak duduk selain seukuran membaca bacaan :

“ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM, WAMINKAS SALAAM, TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKRAAMI

(Ya Allah, Engkau adalah Dzat Pemberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan).” (HR. Muslim no. 932)

.

Mughirah bin Syu’bah pernah berkirim surat kepada Muawiyah dimana dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ الصَّلَاةِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat dan mengucapkan salam, beliau membaca:

“LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THAITA WALAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WALAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADD

(Tiada sesembahan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan dan milik-Nyalah segala pujian, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak bermanfaat pemilik kekayaan, dan dari-Mulah segala kekayaan).” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593)

.

bahwa seusai shalat setelah salam, beliau sering membaca; Dari Abdullah bin Az-Zubair

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ.
وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ


“LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA’BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA’UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA.”

(Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).”
Dan beliau (Ibnu Az-Zubair) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu bertahlil dengan kalimat ini setiap selesai shalat.”
(HR. Muslim no. 594)

.

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barangsiapa bertasbih kepada Allah sehabis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertahmid kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali, hingga semuanya berjumlah sembilan puluh sembilan, dan untuk menggenapkan jadi seratus dia membaca:

LAA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ALA KULLI SYAY`IN QADIR,

maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan.”  (HR. Muslim no. 597)

Pembahasan Fiqhiah:


dan Setelah selesai shalat, maka sudah menjadi kebiasaan Rasulullah  para sahabat beliau untuk berzikir dengan zikir-zikir yang warid dalam hadits-hadits di atas.

Di dalam zikir-zikir tersebut mengandung kalimat tauhid, pujian, dan pengagungan kepada Allah, serta permohonan agar dosa-dosa diampuni.

Berzikir setelah shalat merupakan hal yang disunnahkan, karenanya tidak sepantasnya seorang muslim untuk meninggalkannya bagaimanapun keadaannya, walaupun sekedar sebentar dan membaca salah satu dari zikir-zikir di atas.

Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan urutan zikir yang satu dibandingkan yang lain, karenanya seorang muslim dibolehkan untuk memulai zikirnya dengan yang manapun dari zikir-zikir di atas.

Apakah zikir-zikir ini dibaca dengan jahr atau sir?

Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:

1.    Ada yang menyunnahkannya. Ini adalah pendapat Imam Ath-Thabari -dalam sebuah nukilan darinya-, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, dan yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz.

Dalil pendapat pertama adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dimana beliau berkata:

أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم وقال ابن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته


“Mengangkat suara dengan zikir ketika orang-orang selesai shalat .” Ibnu Abbas berkata,rwajib adalah hal yang dulunya ada di zaman Nabi  “Saya mengetahui selesainya mereka shalat jika saya mendengarnya.”

(HR. Al-Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

berkata: Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas

كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ


“Aku dahulu mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari suara takbir.” (HR. Al-Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (4/260), “Meninggikan suara ketika berzikir di akhir setiap shalat adalah amalan yang baik.”

Catatan:

Bagi yang menyunnahkan berzikir dengan suara jahr, bukan berarti membolehkan zikir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang, karena amalan ini merupakan amalan yang bid’ah.

Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah setiap orang menjahrkan sendiri-sendiri bacaan zikirnya.
Asy-Syathibi berkata dalam Al-I’tisham (1/351), “Berdoa secara berjamaah , sebagaimana itu jugarsecara terus-menerus bukanlah amalan Rasulullah  bukan berasal dari sabda dan persetujuan beliau.”

2.    Hukumnya makruh kecuali jika imam ingin mengajari makmum bacaan zikir.

Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thabari -dalam sebagian nukilan lainnya- dan mayoritas ulama, dan ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Baththal, An-Nawawi, Asy-Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, Asy-Syaikh Al-Albani.

Dalil-dalil pendapat kedua:

a.    Allah Ta’ala berfirman:

ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها


“Dan janganlah kalian menjahrkan shalat kalian dan jangan pula merendahkannya.”


Maksudnya: Janganlah kalian meninggikan suara kalian dalam berdoa dan jangan pula merendahkan suaramu sampai-sampai kamu sendiri tidak bisa mendengarnya.

b.    Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata, “Bagaimana boleh suara ditinggikan dalam zikir sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang bijaksana, “Berdoalah kalian kepada Rabb kalian dalam keadaan merendah dan suara rendah, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampau batas.” Maka mengecilkan suara lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih jauh dari riya`.”

( Al-Ibda’ fii Madhaarr Al-Ibtida’ hal. 283 )

c.   beliau berkata: Dari Abu Musa Al-Asy’ari

كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس اربَعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده

 “Kami pernah bersama Rasulullah saw (dalam perjalanan). Jika kami mendaki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir hingga suara kami meninggi. Maka Nabisaw bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah (baca: jangan paksakan) diri-diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan juga tidak hadir. Sesungguhnya Dia -yang Maha berkah namanya dan Maha tinggi kemuliaannya- mendengar dan dekat dengan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)

Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (6/135), “At-Thabari berkata: Dalam hadits ini terdapat keterangan dibencinya meninggikan suara ketika berdoa dan berzikir. Ini adalah pendapat segenap para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.”

d.    Berzikir dengan suara jahr akan mengganggu orang lain yang juga sedang berzikir, bahkan bisa mengganggu orang yang masbuk. Apalagi di zaman ini hampir tidak ditemukan satupun masjid kecuali ada yang masbuk di dalamnya, illa ma sya`allah.

e.    Imam berzikir dengan suara jahr akan membuka wasilah kepada bid’ah zikir dan doa berjamaah.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas.

Adapun dalil pihak pertama, maka kesimpulan jawaban dari para ulama yang merajihkan pendapat kedua adalah:

tidaklah menunjukkan bahwa hal itu berlangsung terus-menerus.

Karena kalimat ‘ta.    Hadits Ibnu Abbas كُنْتُ (aku dahulu)’ mengisyaratkan bahwa hal ini tidak berlangsung lagi rsetelahnya.

Karenanya Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa Nabi  mengeraskan zikirnya hanya untuk mengajari para sahabat bacaan zikir yang dibaca setelah shalat.

Adapun setelah mereka mengetahuinya maka beliaupun tidak lagi mengeraskan bacaan zikirnya.

Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kaset silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 439

b.    Hal ini diperkuat dengan hadits Aisyah riwayat Muslim di atas yang menunjukkan bahwa setelah beliau salam maka beliau tidak duduk di tempatnya kecuali sekedar membaca zikir yang tersebut di atas.

Sebagai penutup, dan sekedar tambahan faidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (15/15-19) menyebutkan 10 faidah merendahkan suara dalam berdoa dam berzikir.

Barangsiapa yang ingin mengetahuinya maka hendaknya dia merujuk kepadanya.

[Referensi: Kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 206, 439, dan 471, risalah mengenai hukum meninggikan suara zikir setelah shalat oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaibi, dan Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Al-Utsaimin 13/247,261]

o


Usamah Bin Laden – terkapar.


Hari ini hari kegembiraan bagi orang-orang Amerika dan Eropah karena berhasil membunuh Usamah Bin Laden yang selama ini terus di cari dan di kejar oleh pasukkan khusus Amerika.
Keberhasilan mereka pula di ikuti dengan rasa ketakutan atas ancaman serangan balas dendam dari anggota al-Qaidah yang berada di seluruh dunia, bukan saja tidak memungkinkan bahwa mereka akan mengusik keamanan dan kepentingan Amerika di merata dunia.
Di sebalik itu sebahagian umat islam merasa simpati dengan wafatnya Usamah Bin Laden dan bahkan ada sebahagianya pula yang mengakui  bahwa Usamah Bin Laden merupakan Syahid yang mati di medan perang, terlepas dari anggapan dan akuan seseorang terhadap kepribadian Usamah bin Laden.
Mari kita melihat bagaimana ulama dan umat islam memandang Usamah Bin Laden selama ini.
Pemerintah Saudi Arabiyah menyatakan bahwa Usamah Bin Laden merupakan pemimpin Khawarij yang keluar dari ta`at kepada pemerintah, hal ini di perkuat oleh mufti agung Saudi Arabiyyah Syeikh Abdul Aziz Ali Syeikh yang memfatwakan bahwa Usamah Bin Laden Khawarij karena telah keluar dari ketaatan terhadap pemerintah yang sah, Usamah di kenal suka menghujum dan menyalahkan Raja-Raja Saudi, tak terlepas juga dengan aksi-aksi pengikutnya yang meledakkan bom di daerah Riyadh, Jeddah dan lain-lain, di sini seolah-olah pemerintah Saudi berlepas tangan dengan apa yang telah di lakukan oleh Usamah dan para pengikutnya, padahal mereka semua keluar dari madrasah yang sama yaitu Madrasah Muhammad Abdul Wahab pendiri gerakkan Wahabi, sebab itulah pemerintahan Saudi tidak mengizinkan Usamah bin Laden di kuburkan di tanah Saudi.
Semantara di Mesir sebelum ini kebanyakkan ulamanya menganggap bahwa Usamah adalah sosok pemimpin khawarij yang membawa kekerasan dan membunuh orang-orang yang tak berdosa, adi mulai Syeikh al-Azhar Muhammad Sayyid Tontowi sampai kepada Syeikh kami al-Muhaddis al-Mufassir Muhammad Ibrahim al-Kattani, mereka mengatakan bahwa tindakkan Usamah dan para pengikutnya tidak mencerminkan ajaran islam yang penuh dengan rahmat dan kasih sayang.
Sementera petinggi gerakkan Ikhwan Muslimin Doktor Isham Uryan mengatakan sebagai mana yang di kutip oleh surat kabar harian “” Yaoum Sabi` 3 Mei 2011 : “” Bin Ladin merupakan seorang yang berjihad di jalan Allah, beliau seorang yang berijtihad, orang yang berijtihad mungin benar mungkin juga salah, sementara Bin Laden banyak membuat kesalahan karena menggunakan kekerasan menghadapi rakyat sipil yang tidak bersalah, sebab Syari`at kita melarang menggunakan kekerasan menghadapi masyarakat yang tidak bersalah, kita hanya dapat berharap agar Allah mengasihinya.
Sementara Syeikh al-Azhar Syeikh Ahmad Toyyib dan Mufti Agung Mesir Syeikh Ali Jum`ah diam tidak memberikan komentar tentang Bin Laden, tetapi mereka menghujum Amerika yang tidak memiliki rasa kemanusiaan, dan meminta agar Usamah bin Laden di kuburkan di dalam tanah sesuai dengan SYari`at islamiyyah bukan dengan cara mencampakkannya ke dalam dasar lautan, sebab menurut Syeikh Azhar dan Mufti bagaimana pun Usamah bin Laden merupakan penganut islam yang semestinya mendapat peguburan dengan cara islam pula.
.

Muhammad Husni Ginting

 Medan : Sumatra Utara : Indonesia

About Me

Lahir di Besitang Langkat tarikh 26 Dzulqa`idah 1400 H,Tamat SDN 050780 thn 1992, Ijazah Tsanawiyah Negeri 31 Mei 1996,Ijazah Tsanawiyah Ma`had Musthafawiyah 1997 M, Musthafa,Ijazah Mas 29 Mei 1999 M, Ijazah Lisence Universitas Al-Azhar 2004 M, Ijazah Defloma Master Ma`had Ali Darasat Islamiyah 17 Januari 2007 M, Kuliyah Usuluddin al-Azhar Jurusan Hadits Syarif.Account Number Card : The United Bank ,Zaqaziq 355527

Sahah al-Langkatiyah al-Husofiyah

MADZHAB – Perbandingan antar Firqah.


Prof. Dr .Huzaemah Tahido Yanggo. MA.

.

Pertanyaan . Memperhatikan permintaan fatwa dari Bapak IMA, yang berisi: . Bolehkah membaca Alquran di mushaf ketika shalat?

Jawaban Dewan Fatwa Diantara bentuk ibadah yang paling utama adalah ibadah yang menggabungkan antara dua kebaikan, misalnya menggabungkan antara shalat dan membaca Alquran.

Oleh karena itu, kaum muslimin berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengkhatamkan Alquran di dalam shalat mereka.

Namun, karena tidak semua orang bisa melakukan hal itu dengan bertumpu pada hafalannya, maka para ulama membahas tentang boleh tidaknya membaca mushaf ketika shalat dengan cara memegangnya dengan tangan atau meletakkanya di tempat khusus sehingga dapat dibaca oleh orang yang shalat.

.

Menurut Madzhab Syafi’i dan fatwa dalam Madzhab Hambali, dibolehkan membaca Alquran dari mushaf ketika shalat, baik sebagai imam ataupun ketika salat sendiri.

Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara shalat fardu dengan shalat sunah dan antara orang yang hafal dengan yang tidak.

.

Ini adalah pendapat yang menjadi pegangan dalam kedua madzhab. Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughnî menukil hal ini dari dua ulama salaf, yaitu Atha` dan Yahya al-Anshari.

Terdapat sebuah riwayat yang disebutkan di dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq –dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrâ—dari Aisyah, Ummul Mukminin r.a., bahwa dia pernah menjadi makmum dari budaknya, Dzakwan, yang membaca dari mushaf.

Dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubrâ dan al-Mughnî karya Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa Imam az-Zuhri ditanya tentang seorang lelaki yang membaca Alquran dari mushaf, lalu dia berkata :

Dulu orang-orang terbaik kami membaca Alquran dari mushaf ketika shalat.”

Sebagaimana membaca Alquran merupakan ibadah, maka melihat ke mushaf juga merupakan ibadah.

.

Bergabungnya suatu ibadah ke dalam ibadah yang lain tidak mengakibatkan rusaknya ibadah tersebut, akan tetapi sebaliknya membuat bertambahnya pahala, karena di dalamnya terdapat tambahan amalan berupa melihat ke dalam mushaf.

Hujjatul Islam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyâ` Ulumiddîn berkata :

“Ada yang mengatakan bahwa mengkhatamkan Alquran dengan membaca mushaf mendapatkan pahala tujuh kali lipat, karena memandang mushaf juga merupakan ibadah.”

Dalam kaidah syara’ dijelaskan bahwa sarana untuk mencapai suatu tujuan menempati posisi hukum tujuan itu.

Tujuan membaca dari mushaf ini adalah tercapainya pembacaan ayat dalam salat , sehingga jika tujuan tersebut dapat tercapai dengan melihat tulisan seperti melalui mushaf, maka itu dibolehkan.

Imam Nawawi di dalam al-Majmû’ berkata,

“Seandainya dia (orang yang sedang shalat) membaca Alquran dari mushaf maka shalatnya tidak batal, baik dia hafal Alquran atau tidak.

Bahkan dia wajib melakukan hal itu jika dia tidak hafal surat Al-Fâtihah.

Bila orang tersebut terkadang membuka lembaran mushaf maka shalatnya tidak batal.

” Al-Allamah Manshur al-Buhuti, seorang ulama Madzhab Hambali, dalam Kasysyâf al-Qinâ’ berkata,

“Dia –orang yang shalat—boleh membaca Alquran dari mushaf walaupun dia hafal apa yang dibaca.” Lalu dia berkata, “Dalam hal ini sama saja antara shalat fardu dan shalat sunnah. Pernyataan ini dikatakan oleh Ibnu Hamid.”

.

Sedangkan para ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa membaca Alquran dengan mushaf ketika shalat dapat merusak shalat tersebut.

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm dari Mazhab Zhahiri.

Diantara dalil Ibnu Hazm dalam masalah ini adalah riwayat yang terdapat dalam Kitâb al-Mashâhif karya Ibnu Abi Dawud dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata :

Amirul Mukminin Umar r.a. melarang kami mengimami masyarakat dengan membaca Alquran dari mushaf.

Beliau [ Ibnu Hazm ] juga melarang seseorang menjadi imam kami kecuali yang sudah baligh.”

Namun riwayat ini tidaklah kuat,

karena di dalam sanadnya terdapat Nahsyal bin Sa’id an-Naisaburi.

Statusnya adalah kadzdzâb matrûk.

Dalam at-Târîkh al-Kabîr, al-Bukhari berkata tentang Nahsyal ini :

Di dalam hadits-haditsnya terdapat riwayat-riwayat munkar.”

An-Nasa`i, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb, berkata :

Dia tidak tsiqah dan haditsnya tidak layak ditulis.”

Dalil lain yang digunakan oleh ulama yang melarang adalah bahwa membawa mushaf dan melihat ke dalamnya serta membuka-buka lembarannya adalah termasuk gerakan yang banyak.

Jawaban dari dalil ini adalah :

bahwa jika yang dipermasalahkan adalah gerakan membawa sesuatu ketika shalat, maka Rasulullah saw. pernah membawa Umamah binti Abil Ash di pundaknya ketika shalat.

Ketika bersujud beliau meletakkannya, lalu ketika berdiri lagi beliau menggendongnya kembali.

Adapun membuka-buka lembaran mushaf, maka terdapat beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan melakukan gerakan yang sedikit ketika shalat.

Membuka lembaran mushaf masuk dalam kategori amalan sedikit yang dimaafkan ini.

Membaca dari mushaf tidak selalu merupakan gerakan yang banyak, karena pada umumnya gerakan ini hanya dilakukan sewaktu-waktu saja, mengingat lamanya jarak antara membuka satu lembaran dengan membuka lembaran berikutnya.

Bahkan, membuka lembaran itu sendiri termasuk dalam gerakan yang sedikit.

Saat ini, sebagian masyarakat memanfaatkan penyangga khusus yang tinggi dan diletakkan di depan imam untuk menaruh mushaf.

Mushaf tersebut biasanya memiliki tulisan yang besar dan lembaran yang lebar sehingga tulisan itu dapat terbaca satu atau dua lembar tanpa perlu melakukan gerakan membuka lembaran.

Dua murid Abu Hanifah, yaitu Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berpendapat bahwa membaca Alquran dari mushaf ketika shalat adalah mutlak dimakruhkan, baik itu shalat fardu maupun shalat sunnah.

Akan tetapi perbuatan itu tidak membatalkan shalat, karena merupakan ibadah yang ditambahkan ke ibadah yang lain.

Aspek kemakruhannya adalah karena perbuatan itu menyerupai perbuatan Ahlul Kitab.

Berdasarkan kajian yang lebih mendalam, penyerupaan dengan Ahlul Kitab dilarang jika pelakunya memang bermaksud menyerupainya.

Karena wazan kata tasyabbuh (menyerupai) adalah tafa’-‘ul.

Wazan ini menunjukkan adanya sebuah niat dan orientasi untuk melakukan suatu perbuatan dan menghadapi semua kesulitannya.

Mempertimbangkan aspek niat (tujuan) dari mukallaf merupakan salah satu dasar pengambilan dalil dalam syariat.

Di antara dalil akan hal ini juga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Rasulullah saw. sakit sehingga kami shalat di belakang beliau yang melakukan shalat sambil duduk.

Beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami dalam keadaan bediri semua.

Lalu beliau memberi isyarat kepada kami sehingga kami semua pun duduk. Setelah melakukan salam, beliau bersabda,

إِنْ كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوْمِ، يَقُوْمُوْنَ عَلَى مُلُوْكِهِمْ وَهُمْ قَعُوْدٌ، فَلاَ تَفْعَلُوْا، اِئْتَمُّوْا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِماً فَصَلُّوْا قِيَاماً وَإِنْ صَلَّى قَاعِداً فَصَلُّوْا قُعُوْداً “

Sesungguhnya kalian hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Persia dan Romawi.

Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang duduk.

Janganlah kalian melakukan itu.

Ikutilah imam kalian.

Jika ia melakukn shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia shalat dalam keadaan berdiri maka shalatlah dalam keadaan berdiri juga.” Kata “kidtum” (hampir) dalam hadits di atas menunjukkan tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan meskipun nyaris terjadi.

[ sepengetahuan saya , baca dari beberapa artikel . Hadits ini sudah di Mansuk ]

Perbuatan orang-orang Persia dan Romawi telah benar-benar terjadi dan dilakukan oleh para sahabat, tapi karena mereka tidak bermaksud untuk mengikuti atau menyerupai perbuatan tersebut maka mereka tidak dianggap telah menyerupai orang-orang Persia dan Romawi.

Oleh karena itu, Ibnu Nujaim, salah seorang ulama Hanafi, berkata dalam kitabnya al-Bahr ar-Râiq :

“Ketahuilah bahwa perbuatan menyerupai Ahlul Kitab tidak diharamkan secara mutlak.

Kita makan dan minum seperti mereka.

Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang tercela dan dengan maksud mengikuti mereka.

Oleh karena itu seandainya tidak bertujuan untuk meniru mereka, maka menurut keduanya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) hal itu tidak dimakruhkan.”

.

Dalam masalah membaca Alquran dengan mushaf ketika shalat ini, para ulama Mazhab Maliki membedakan antara shalat fardu dan shalat sunah.

Mereka berpendapat bahwa hal itu dimakruhkan secara mutlak dalam shalat fardu, baik pembacaan itu dilakukan sejak awal shalat atau ketika di tengah-tengah shalat.

Dalam shalat sunnah hal itu dimakruhkan juga jika memulai membaca dari mushaf ketika di tengah-tengah shalat, karena pada umumnya orang yang shalat sibuk dengan amalan shalatnya.

Namun, hal itu dibolehkan tanpa adanya kemakruhan jika sudah memulainya dari awal shalat.

 

Karena terdapat hal-hal yang dapat ditolerir dalam shalat sunnah tapi tidak dapat ditolerir dalam shalat fardu. (Manh al-Jalîl Syarh Mukhtashar al-Khalîl).

Alasan di atas dijawab bahwa kemakruhan ini bisa terjadi jika gerakan tersebut adalah gerakan main-main yang tidak ada gunanya.

Orang yang shalat dilarang untuk melakukan perbuatan seperti itu, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam shalat.

Membaca mushaf ketika shalat tidaklah termasuk dalam kategori ini, tetapi masuk dalam gerakan ringan untuk tujuan yang diinginkan.

Semua perbuatan yang masuk dalam gerakan ringan ini tidak apa-apa untuk dilakukan.

Landasan dalil bagi hal ini adalah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi saw. melepas kedua sandalnya di saat shalat ketika diwahyukan kepada beliau bahwa di sandal tersebut terdapat kotoran (najis).

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri r.a..

Berdasarkan semua penjelasan di atas, maka membaca Alquran dari mushaf ketika shalat, baik fardu maupun sunnah, adalah boleh secara syara’  tanpa ada kemakruhan di dalamnya apalagi sampai membatalkan shalat.

Hanya saja perlu diperhatikan bahwa selama masalah ini merupakan masalah yang masih diperdebatkan oleh para ulama, maka terdapat kelapangan di dalamnya.

Hal itu sesuai dengan kaidah syara’, bahwa tidak boleh melakukan pengingkaran dalam masalah khilaf.

Dan tidak boleh pula hal ini menjadi penyebab terjadinya ketidaktentraman dan pertikaian antar orang-orang muslim.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Sumber: dar-alifta.org


BAHAN BACAAN

 Hudhari bik, “Tarikh al-Tasyri’ al-Islami”, penterjemah Mohammad Zuhri, Indonesia: Daarul Ihya, 1980.

 Huzaemah Tahido Yanggo, “Pengantar Perbandingan Madzhab”, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

http://www.2lisan.com/926/membaca-alquran-di-mushaf-ketika/

Islam Agama Fleksibel – Fanatisme bukan suatu Alternatif


FIKRAH ISLAMIYYAH


 

Fanatisme bukan suatu Alternatif
Ida Sajidah Dhiauddin

Islam Agama Fleksibel

Islam adalah agama Allah yang merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mengantarkan tercapainya dambaan hidup sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.Islam,yang di wahyukan kepada nabi Muhammad SAW merupakan mata rantai terakhir agama Allah yang ditujukan kepada seluruh umat manusia sepanjang masa hingga datangnya hari kiamat kelak.Islam sebagai agama yang sempurna memberi pedoman hidup kepada umat manusia mencakup aspek-aspek aqidah,ibadah,akhlak dan muamalah duniawiyah.Sumber-sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.Untuk mendalami pemahaman menuju penerapan ajaran-ajarannya dalam realitas sosial,dan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat,diperlukan pemikiran rasional yang disebut ijtihad.Ijtihad para ‘ulama terdahulu telah menyajikan hasil-hasil pemikiran dalam berbagai bidang ajaran islam,terutama dalam bidang kemasyarakatn,telah memperkaya khazanah ilmu keislaman yang hingga saat ini dapat dinikmati manfaatnya,bukan saja kaum muslim tetapi juga oleh umat manusia umumnya.

Dengan adanya ijtihad dari ‘ulama maka timbullah berbagai madzhab,perbedaan ini ada disebabkan adanya perbedaan madrasah fiqhiyyah,dan sebagaimana kita ketahui bahwa di Iraq timbul madrasah yang berdasarkan akal,sedangkan di Hijaz berdasarkan naql.Tetapi walaupun timbul berbagai madzahab, namun hal ini tidak membawa kepada penyelewengan agama,selama tidak keluar dari jalur-jalur rel yang digariskan oleh syari’at para pendahulu.

Penulis mengibaratkan syari’ah Islamiyah bagaikan gum,hal in terbukrti dengan adanya 2 Qaul pada Imam Syafi’i yaitu Jadid dan Qadim,Qaul Jadid ketika beliau berada di Mesir,sedangkan Qadim ketika beliau berada di Iraq.Salah satu kasus yang dapat penulis tamsilkan yaitu masalah penetapan mahar,seseorang bisa tetap mendapatkan mahar dengan sebab pertama Coitus,kedua mati.Sedangkan bila hanya pada tindakan istimta’ maka sesorang belum bisa untuk mendapatkan mahar,pernyatan ini merupakan premis dari Imam syafi’i ketika beliau di Mesir atau yang dikenal dengan Qaul Jadid,sedangkan menurut Qoul Qodim,sesorang tetap mendapatkan mahar dengan sebab tamattu’,karena merupakan jalan menuju Coitus.1}

Demikianlah salah satu contoh kelenturan dari syariah islamiyah.
Siapa Ahlussunnah?

Sudah merupakan hal yang natural bahwa dengan terbukanya negara-negara Islam di seluruh penjuru dunia, maka semakin berbondonglah orang-orang yang memeluk islam dari berbagai bangsa, jenis, kebudayaan, sehingga timbul masalah-masalah yang baru dengan sebab milive yang baru.Dari sini pula timbul pola-pola pemikiran, baik yang berdasarkan akal yang dikenal dengan sebutan Ahlul-Ro’yi, maupun yang berdasarkan naql yang dikenal dengan Ahlul- Hadits.Perbedaan utama antara kedua pola tersebut terletak pada penilaian dan penggunaan sumber hukum yang tidask tertulis (Sunnah}.Di Iraq, sunah itu secara kuantitatif terbatas dan kualitatif membutuhkan seleksi yang ketat.Sehingga volume penggunaan ra’yu menjadi besar.Oleh karenya, tokoh-tokoh yang menggunakan pola ini dikenal sebagai Ahlul-Ro’yi yang dipelopori oleh Imam Abu hanifah.Di Hijaz, perbendaharaan materi Sunnah sangat kaya dan secara kualitatif tidak membutuhkan seleksi yang ketat, karena lingkunanya masih murni. Sehingga volume penggunaan ra’yu cukup terbatas.Tokoh-tokoh yang mengguna-kan pola ini dikenal dengan sebutan Ahlul-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Imam Malik. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kedua pola ini saling mendekati dan dapat berbaur dan melarut dalam suatu pola baru yang dipelopori Imam Syafi’i.

Banyak orang yang berasumsi bahwa Asy-Syafiiyah adalah mereka yang beraliran sunni, padahal pandangan seperti ini adalah pandangan yang salah kaprah,sebab sebagaimaana kita ketahui bahwa tokoh-tokoh Ahlussunnah itu sangat banyak, diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik,Ibnu Hambal, Auza’i, Al-Laits, Ibnu Hazm dan lain sebagainya, mereka berijtihad sesuai dengan ruh Syarah, dari sini timbul AHNAF yaitu orang-orang yang berpedoman pada AbuHanifah, kemudian Asy-Syafiiyah yaitu orang-orang yang bermazhab kepada Imam Syafi’i dan begitu seterusnya. Jadi yang jelas bahwa jamaah Malikiyah, Syafiyah, Auzaiyyah, Hanabilah adalah mereka yang berpedoman kepada bab -bab akal dan tidak mencampuri dengan sesuatu yang sesat. Mereka adalah ‘Ulama As-Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baqdadi, mereka berporos dan Salafushshalih.2} Maka dapat dibuat suatu aksioma bahwa asy-Syafiiyah merupakan salah satu mazhab Ahlussunnah,bukan merupakan satu-satunya dari Ahlussunnah.
Ashab Asy-syafi’i Merupakan Mazhab Terbesar Di Indonesia.

Kitabullah dan Sunnah rasul merupakan satu kesatuan bulat dari perwujudan syariat Allah.Dan penerapanya,terutama di bidang hukum,lazim dikenal melalui Fiqh.Di Indonesia,seperti halnya di negara -negara lain,sudah beberapa abad mengenal dan memperlakukan hukum islam yang dijabarkan dalam ajaran Fiqh Asy-Syafi’iyyah itu.

Dan fiqh ini banyak berjasa dalam membentuk kesadaran hukum bagi rakyat di Indonesia dan merupakan bagian tidak tertulis dari hukum yang berlaku ditanah air kita,dan telah pula diserap kedalam hukum adat atau hukum yang hidup ditengah-tengah sebagian besar masyarakat Indonesia.Sekalipun hukum tersebut belum merupakan hukum tertulis, tetapi hal ini telah jauh berkembang.dalam Yurisprudensi, kebiasaan, dan dalam pendapat umum. Dengan demikian ia mempunyai akar yang kuat,baik dalam sumber-sumber formalnya maupun dalam sumber-sumber materialnya. Sudah kita ketahui bahwa mazhab syafi’i berkembang di negara Mesir, Iraq, Syam juga dikawasan Asia, sehingga banyak membentuk pola pemikiran Fiqh di Indonesia.3] Dengan demikian sudah suatu menjadi rumusan bahwa anutan-anutan mazhab yang terbesar di Indonesia adalah Asysyafiiyah.
Fanatisme bukan Merupakan suatu Ajang Berbangga-bangga

Madzab merupakan tempat berpijak menuju taklif yang diberikan kepada umat Islam dan mazhab bukan merupakan suatu kebenaran mutlak dengan mengenyampingkan dan melecehkan mazhab yang lain.kata Imam Ad-dahlawy bahwa fanatisme mazhab membawa kepada kemunduran umat Islam. Dan kalau kita menengok kembali kepada karangan-karangan dari para tokoh-tokoh mazhab, merekapun tidak melakukan tindakan taassub kepada mazhab mereka 4}.Kalau kita melihat kembali cerita perbuatan para tokoh agama Indonesia yaitu dua tokoh agama yang berbeda pola pemikiran adalah K.H.Hasyim Asyari, beliau adalah seorang tokoh agama dari NU dan K.H. Ahmad Dahlan ,beliau adalah tokoh agama dari Muhammadiyah.Suatu saat K.H.Hasyim Asy’ari bertandang kerumahnya guna menghadiri majlis Muzakarah yang dihadiri oleh beberapa tokoh agama, pada waktu azan shubuh menggema, mereka bersiap-siap untuk shalat berjamaah, kala itu KH.Ahmad Dahlan menjadi imam dalam shalat, ketika raka’at kedua beliau tidak membaca do’a Qunut dan semua yang menjadi ma’munpun demikian termasuk KH.Hasyim Asya’ri.5}

Dari cerita ini, dapat dijadikan ibrah bahwa toleransi bermazhab sangatlah diperlukan oleh umat islam yang mengaku dirinya beriman kepada al-Quran khususnya surah Ali Imran ayat 103.Memang masalah Qunut merupakan masa khilafiyah.Dan pernah ada satu riwayat dar ibnu Abbas bahwa Qunut adalah bid,ah,tetapi riwayat ini adalah lemah sekali,karena pernah suatu ketika Ibnu Abbaspun berqunut diwaktu shubuh.6}

Juga ada yang meriwayatkan bahwa Rasullullah, AbuBakar, Umar, Usman, Ali RadhiAllhu ‘Anhum ,mereka tidak berqunut, dan hadits ini dari Abu Malik Al-Asyja’i. tetapi ada pula salah satu riwayat yang mengatakan bahwa Qunut sunnah Mahdiyah, riwayat ini dari AbdurRahman bin Ali Laily.7}

Dengan adanya riwayat yang berbeda-beda, penulis mencoba untuk menggabungkan antara riwayat-riwayat itu bahwa Qunut atau tidak Qunut merupakan sesuatu hal yang mubah, karena Qunut merupakan zikir dan berdo’a kepada Rabb Azza Wa Jalla, dilakukan baik dan ditinggalkanpun boleh. So,perbedaan pendapat antara para alim terjadi dengan sebab ijtihad mereka masing-masing. Dan perbedaan yang terjadipun bertujuan untuk menuju kebenaran yang merupakan hasil penyelidikan dan pengorbanan pikiran serta renungan terhadap ayat-ayat Al- Qur’anul Karim dan hadits-hadits nabi serta uslub-uslub bahasa arab, dan inilah yang disebut dalam hadits nabi bahwa “Ikhtilafu Ummatii Rahmatun”.

Dan harus kita sadari bahwa perbedaan pendapat,perbedaan view janganlah membawa kepada perbedaan hati dan terpecahnya barisan umat islam dan saling mencela antara jamaah yang satu dengan yang lain Kita bisa mengaca kepada kepribadian AbuBakar dan Umar Radiyallahu Anhumaa,ketika mereka berselisih pendapat dalam masalah pengkodifikasian Al-Qur’an, namun hati mereka tetap satu, begitu pula yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Imam Muhammad bin Hassan, yang berbeda pendapat dalam masalah parsial.Karena sesungguhnya kesatuan hati dan jiwa, kesatuan tujuan dan cita-cita merupakan dasar untuk memperbaiki dan menuju kepada ketinggian peradaban umat Islam.dan tentunya hal ini tidak akan tercapai, kecuali terdetik dari hati kita masing-masing. “Q.S.13:11”

 


JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
Diterbitkan oleh:
Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo – Mesir
Web: http://www.muslims.net/KMNU, Email: kmnu@muslims.net 

ADZ-DZAHABI.


Kebencian adz-Dzahabi Terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari Dan Kaum Asy’ariyyah

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 17 Juni 2011 jam 8:27

Post, 17/6/11

 

Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan bahwa adz-Dzahabi (w 748 H) memiliki sifat sinis terhadap al-Imâm al-Asy’ari. Adz-Dzahabi sama sekali tidak apresiatif, bahkan selalu memojokan faham-faham al-Imâm al-Asy’ari dalam berbagi kesempatan. Perlakuan adz-Dzahabi dalam meremehkan al-Imâm al-Asy’ari ini sebagimana ia tuangkan dalam karyanya sendiri; Târîkh adz-Dzahabi. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menempatkannya secara proporsional sesuai keagungannya.

Al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan bahwa adz-Dzahabi memiliki kebencian yang sangat besar terhadap al-Imâm al-Asy’ari, hanya saja ia tidak sanggup untuk mengungkapkan itu semua karena takut diserang balik oleh Ahl al-Haq dari para pemuka Ahlussunnah. Di sisi lain adz-Dzahabi juga tidak sabar untuk mendiamkan ajaran-ajaran al-Imâm al-Asy’ari yang menurutnya sebagai ajaran yang tidak benar. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi tidak banyak berkomentar, di akhir tulisannya ia hanya berkata: “Barangsiapa yang ingin mengenal lebih jauh tantang al-Asy’ari maka silahkan untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî karya Abu al-Qasim Ibn Asakir”[1]. Yang lebih mengherankan lagi di akhir tulisan itu kemudian adz-Dzahabi menuliskan ungkapan doa sebagai berikut:

 

“Ya Allah, matikanlah kami di dalam Sunnah Nabi-Mu dan masukan kami ke surga-Mu. Jadikanlah jiwa-jiwa kami ini tenang. Kami mencintai para wali-Mu karena-Mu, dan kami membenci para musuh-Mu karena-Mu. Kami meminta ampun kepada-Mu bagi hamba-hamba-Mu yang telah melakukan maksiat. Jadikan kami mengamalkan ayat-ayat muhkamât dari kitab-Mu dan beriman dengan ayat-ayat mutsyâbihât-nya. Dan jadikan kami sebagai orang-orang yang mensifati-Mu sebagaimana Engkau mensifati diri-Mu sendiri”[2].

 

Simak tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam mengomentari tulisan adz-Dzahabi di atas:

 

“Dari sini nyata bagimu bahwa adz-Dzahabi ini sangat aneh dan mengherankan. Engkau melihat sendiri bagaimana sikap orang miskin ini, dia benar-benar seorang yang celaka. Saya telah mengatakan berulang-ulang bahwa adz-Dzahabi ini sebenarnya guru saya, dan saya banyak mengambil ilmu hadits darinya, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti, dan karenanya saya wajib menjelaskan kebenaran ini. Maka saya katakan: “Wahai adz-Dzahabi, orang sepertimu bagaimana mungkin hanya menyuruh orang lain untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî sementara engkau sendiri malalaikan pujian terhadap Syaikh al-Asy’ari?! Padahal engkau sama sekali tidak meninggalkan nama seorangpun dari kaum Mujassimah kecuali engkau menuliskan biografinya secara langkap. Bahkan bukumu itu sampai menyebut-nyebut biografi beberapa orang dari madzhab Hanbali yang datang belakangan dan tidak memiliki kapasitas memadai secara keilmuan. Semua itu engkau tuliskan biografinya dengan sangat rinci dan lengkap. Lantas apakah engkau tidak mampu untuk menuliskan biografi Syaikh al-Asy’ari secara proporsional?! Padahal derajat Syaikh al-Asy’ari berada  jauh ribuan tingkat di atas orang-orang mujasim yang engkau tuliskan itu?! Tidak lain ini adalah hawa nafsu dan kebencian yang telah mencapai puncaknya. Aku bersumpah demi Allah, engkau melakukan ini tidak lain hanya karena engkau tidak senang nama al-Asy’ari disebut-sebut dengan segala kebaikannya. Dan di sisi lain engkau tidak mampu untuk mengungkapkan kepada orang-orang Islam akan apa yang ada dalam hatimu dari kebencian kepada Syaikh al-Asy’ari, karena engkau sadar bila kebencian itu engkau ungkapkan seutuhnya maka engkau akan berhadapan dengan kekuatan seluruh orang Islam.

Sementara itu doamu yang engkau ungkapkan di akhir tulisan biografi Syaikh yang sangat ringkas itu, adakah kalimat-kalimat itu pada tempatnya wahai orang miskin?! Kemudian ungkapanmu “…dan jadikanlah kami orang-orang yang membenci musuh-musuh-Mu” adalah tidak lain karena manurutmu Syaikh al-Asy’ari adalah musuh Allah, dan engkau benar-benar sangat membencinya. Kelak nanti engkau akan berdiri di hadapan hukum Allah untuk bertanggung jawab terhadap Syaikh, sementara semua ulama dari empat madzhab, orang-orang saleh dari kaum sufi, dan para pemuka Huffâzh al-hadîts berada di dalam barisan Syaikh al-Asy’ari. Engkau kelak saat itu akan merangkak dalam kegelapan akidah tajsîm, yang engkau mengaku-aku telah bebas dari akidah sesat tersebut, padahal engkau adalah orang terdepan dalam menyeru kepada akidah sesat tersebut. Engkau mengaku ahli dalam masalah Ilmu Tauhid, padahal engkau sama sekali tidak memahaminya walaupun hanya seukuran atom atau seukuran tipisnya kulit biji kurma sekalipun. Aku katakan bagimu: “Siapakah sebenarnya yang mensifati Allah sesuai dengan keagungan-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya sendiri?! Adakah orang itu yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti dirimu?! Ataukah yang benar-benar memahami bahwa “Allah tidak menyerupai apapun dari segala makhluk-Nya” (QS. As-Syura: 11)?!”. Sebenarnya, secara khusus bagiku tidak harus banyak bicara dalam masalah ini, namun demikian hal ini harus saya sampaikan.

Dalam penulisan biografi Syaikh al-Asy’ari sebagaimana anda tahu sendiri, bahwa sebenarnya tidak akan cukup dengan hanya dituangkan dalam beberapa lembar saja. Dalam kitab yang saya tulis ini, saya juga memerintahkan kepada para pembaca yang ingin mengenal lebih jauh tentang Syaikh al-Asy’ari untuk merujuk kepada kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî (karya al-Hâfizh Ibn Asakir). Namun anjuran saya ini berbeda dengan anjuran adz-Dzahabi. Saya menganjurkan anda untuk membaca Tabyîn Kadzib al-Muftarî agar anda benar-benar mengenal sosok al-Asy’ari dan mengetahui keagungan serta bertambah kecintaan kepadanya, sementara adz-Dzahabi menganjurkan hal tersebut tidak lain hanya untuk menutup mata anda, karena sebenarnya dia telah bosan dengan menyebut-nyebut kebaikan orang-orangnya sendiri yang tidak senang kepada Syaikh al-Asy’ari”[3].

 

Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam penulisan biografi al-Hâfizh Ahmad ibn Shaleh al-Mishri menuliskan kaedah yang sangat berharga dalam metode penilaian al-jarh (Klaim negatif terhadap orang lain). Kesimpulannya ialah bahwa apa bila seseorang melakukan al-jarh terhadap orang lain yang memiliki amal saleh lebih banyak dari pada perbuatan maksiatnya, dan orang-orang yang memujinya lebih banyak dari pada yang mencacinya, serta orang-orang yang menilai positif baginya (al-Muzakkûn) lebih banyak dari pada yang menilai negatif atasnya (al-Jârihûn), maka penilaian orang ini tidak dapat diterima, sekalipun ia punya penjelasan dalam penilainnya tersebut. Terlebih lagi apa bila orang yang menilai al-jarh ini berlandaskan karena panatisme madzhab, atau karena kecemburuan masalah duniawi dan lainnya. Kemudian pada akhir tulisan kaedah al-jarh ini, al-Imâm Tajuddin as-Subki menuliskan:

 

“… dan adz-Dzahabi ini adalah guru kami. Dari sisi ini ia adalah seorang yang memiliki ilmu dan memiliki sikap teguh dalam beragama. Hanya saja dia memiliki kebencian berlebihan terhadap para ulama Ahlussunnah. Karena itu adz-Dzahabi ini tidak boleh dijadikan sandaran”.

 

Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga mengutip tulisan al-Imâm al-Hâfizh Shalahuddin Khalil ibn Kaikaldi al-Ala-i dalam penilainnya terhadap adz-Dzahabi, sebagai berikut:

 

Al-Hâfizh asy-Syaikh Syamsuddin adz-Dzahabi tidak saya ragukan dalam keteguhan beragamanya, sikap wara’-nya, dan ketelitiannya dalam memilih berbagai pendapat dari orang lain. Hanya saja dia adalah orang yang berlebihan dalam memegang teguh madzhab itsbât dan dia sangat benci terhadap takwil hingga ia melalaikan akidah tanzîh. Sikapnya ini telah memberikan pengaruh besar terhadap tabi’atnya, hingga ia berpaling dari Ahl at-Tanzîh dan sangat cenderung kapada Ahl al-Itsbât. Jika ia menuliskan biografi seseorang yang berasal dari Ahl al-Itsbât maka dengan panjang lebar ia akan mengungkapkan segala kebaikan yang ada pada diri orang tersebut, walaupun kebaikan-kebiakan itu hanya sebatas prasangka saja ia tetap akan menyebut-nyebutnya dan bahkan akan melebih-lebihkannya, dan terhadap segala kesalahan dan aib orang ini ia akan berpura-pura melalaikannya dan menutup mata, atau bahkan ia akan membela orang tersebut. Namun apa bila yang ia menuliskan biografi seorang yang ia anggap tidak sepaham dengannya, seperti Imam al-Haramain, al-Imâm al-Ghazali, dan lainnya maka sama sekali ia tidak mengungkapkannya secara proporsional, sebaliknya ia akan menuliskan nama-nama orang yang mencaci-maki dan menyerangnya. Ungkapan-ungkapan cacian tersebut bahkan seringkali ia tulis berulang-ulang untuk ia tampakkan itu semua dengan nyata, bahkan ia meyakini bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan cacian semacam itu sebagai bagian dari agama. Di sini ia benar-benar berpaling dari segala kebaikan para ulama agung tersebut, dan karena itu dengan sengaja pula ia tidak menuliskan kebaikan-kebaikan mereka. Sementara bila ia menemukan cacat kecil saja pada diri mereka maka ia tidak akan melewatkannya. Perlakuan ini pula yang ia lakukan terhadap para ulama yang hidup semasa dengan kami. Dalam menuliskan biografi para ulama tersebut jika ia tidak mampu secara terus terang mengungkapkan cacian atas diri mereka (karena takut diserang balik) maka ia akan menuliskan ungkapan “Allâh Yushlihuh” (semoga Allah menjadikan dia seorang yang lurus), atau semacamnya. Ini semua tidak lain adalah karena akidah dia yang berbeda dengan mereka”[4].

 

Setelah mengutip pernyataan al-Hâfizh al-Ala-i di atas, al-Imâm Tajuddin as-Subki lalu menuliskan komentar berikut:

 

“Sebenarnya, keadaan guru kita adz-Dzahabi ini lebih parah dari pada apa yang digambarkan oleh al-Hâfizh al-Ala-i. Benar, dia adalah syaikh kita dan guru kita, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti dari pada dirinya. Ia memiliki panatisme yang berlebihan hingga mencapai batas yang tercela. Saya khawatir atas dirinya di hari kiamat nanti bahwa ia akan dituntut oleh mayoritas ulama Islam dan para Imam yang telah membawa syari’at Rasulullah kepada kita, karena sesungguhnya mayoritas mereka adalah kaum Asy’ariyyah. Sementara adz-Dzahabi apa bila ia menemukan seorang yang bermadzhab Asy’ari maka ia tidak akan tinggal diam untuk mencelanya. Yang saya yakini bahwa para ulama Asy’ariyyah tersebut, walaupun yang paling rendah di antara mereka di hari kiamat nanti kelak akan menjadi musuh-musuhnya. Hanya kepada Allah kita berharap agar bebannya diringankan, semoga Allah memberi ilham kepada para ulama tersebut untuk memaafkannya, juga semoga Allah memberikan syafa’at mereka baginya. Sementara itu, para ulama yang semasa dengan kami mengatakan bahwa semua pendapat yang berasal dari dirinya tidak boleh di anggap dan tidak boleh dijadikan sandaran”[5].

 

Pada bagian lain, masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:

 

“Adapun kitab at-Târîkh karya guru kami; adz-Dzahabi, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya, sekalipun sebuah karya yang bagus dan menyeluruh, namun di dalamnya penuh dengan panatisme berlebihan, semoga Allah memaafkannya. Di dalamnya ia telah banyak mencaci-maki para ahli agama, yaitu mencaci maki kaum sufi, padahal mereka itu adalah orang-orang saleh. Ia juga banyak menjelekan para Imam terkemuka dari kalangan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi. Ia memiliki kebencian yang berlebihan terhadap kaum Asy’ariyyah. Sementara terhadap kaum Mujassimah ia memiliki kecenderungan bahkan ia memuji-muji mereka. Walau demikian ia tetap salah seorang Hâfizh terkemuka dan Imam yang agung. Jika sejarawan (Mu’arrikh) sekelas adz-Dzahabi saja memiliki kecenderungan panatisme madzhab berlebihan hingga batas seperti ini, maka bagaimana lagi dengan para sejarawan yang berada jauh di bawah tingkatan adz-Dzahabi?! Karena itu pendapat kami ialah bahwa penilaian al-Jarh (cacian) dan al-Madh (pujian) dari seorang sejarawan tidak boleh diterima kecuali apa bila terpenuhi syarat-syarat yang telah dinyatakan oleh Imam agung umat ini (Habr al-Ummah), yaitu ayahanda kami (al-Imâm Taqiyuddin as-Subki), semoga rahmat Allah selalu tercurah atasnya”.

 

Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya karyanya berjudul Qam’u al-Mu’âridl Bi Nushrah Ibn Fâridl menuliskan sebagai berikut:

 

“Anda jangan merasa heran dengan sikap sinis adz-Dzahabi. Sungguh adz-Dzahabi ini memiliki sikap benci dan sangat sinis terhadap al-Imâm Fakhruddin ar-Razi, padalah ar-Razi adalah seorang Imam yang agung. Bahkan ia juga sangat sinis terhadap Imam yang lebih agung dari pada Fakhruddin ar-Razi, yaitu kepada al-Imâm Abu Thalib al-Makki; penulis kitab Qût al-Qulûb. Bahkan lebih dari pada itu, ia juga sangat sinis dan sangat benci terhadap al-Imâm yang lebih tinggi lagi derajatnya dari pada Abu Thalib al-Makki, yaitu kepada al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Padahal siapa yang tidak kenal al-Asy’ari?! Namanya harum semerbak di seluruh penjuru bumi. Sikap buruk adz-Dzahabi ini ia tulis sendiri dalam karya-karyanya, seperti al-Mîzân, at-Târikh, dan Siyar A’lâm an-Nubalâ’. Adakah anda akan menerima penilaian buruk adz-Dzahabi ini terhadap para ulama agung tersebut?! Demi Allah sekali-kali jangan, anda jangan pernah menerima penilaian adz-Dzahabi ini. Sebaliknya anda harus menempatkan derajat para Imam agung tersebut secara proporsional sesuai dengan derajat mereka masing-masing”[6].

 

Asy-Syaikh al-Imâm Ibn al-Wardi dalam kitab Târîkh Ibn al-Wardi pada bagian akhir dari juz ke dua dalam penulisan biografi adz-Dzahabi mengatakan bahwa di akhir hayatnya adz-Dzahabi bersegera menyelesaikan kitab Târîkh-nya. Dalam kitab at-Târîkh ini adz-Dzahabi menuliskan biografi para ulama terkemuka di daratan Damaskus dan lainnya. Metode penulisan yag dipakai adalah dengan bertumpu kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara mereka dari masa ke masa. Hanya saja buku ini kemudian berisi sinisme terhadap beberapa orang ulama terkemuka[7].

 

Saya Abou Fateh, penulis buku yang lemah ini, –sama sekali bukan untuk tujuan mensejajarkan diri dengan para ulama di atas dalam menilai adz-Dzahabi, tapi hanya untuk saling mengingatkan di antara kita–, menambahkan:

 

Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Kebanyakan apa yang diajarkan oleh Ibn Taimiyah telah benar-benar diserap olehnya, tidak terkecuali dalam masalah akidah. Salah satu karya adz-Dzahabi yang sekarang ini merupakan salah satu rujukan utama kaum Wahhabiyyah dalam menetapkan akidah tasybîh mereka adalah sebuah buku berjudul “al-‘Uluww Li al-‘Aliyy al-‘Azhîm”. Buku ini wajib dihindari dan dijauhkan dari orang-orang yang lemah di dalam masalah akidah. Karena ternyata, –dan ini yang membuat miris penulis–, tidak sedikit di antara generasi muda kita sekarang yang terlena dengan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan faham-faham Wahhabiyyah hingga menjadikan buku adz-Dzahabi ini sebagai salah satu rujukan dalam menetapkan akidah tasybîh mereka. Hasbunallâh.

 

*****************  footnote  ********************

[1] Târîkh adz-Dzahabi.

[2] Ibid.

[3] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 352-354

[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 185.

[5] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 190 dalam penyebutan biografi Ahmad ibn Shaleh al-Mishri.

[6] Lihat ar-Raf’u Wa at-Takmîl Fî al-Jarh Wa at-Ta’dîl, h. 319-320 karya asy-Syaikh Abd al-Hayy al-Laknawi mengutip dari risalah Qam’u al-Mu’âridl karya al-Hâfizh as-Suyuthi. Tidak sedikit para ulama dalam karya mereka masing-masing menuliskan sikap buruk adz-Dzahabi ini terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, kaum Asy’ariyyah, dan secara khusus kebenciannya terhadap kaum sufi, di antaranya salah seorang sufi terkemuka al-Imâm Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani dengan karyanya berjudul Mir’âh al-Janân Wa ‘Ibrah al-Yaqzhân, dan al-Imâm Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dengan karyanya berjudul al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, termasuk beberapa karya yang telah kita sebutkan di atas.

[7] Lihat Barâ’ah al-Asy’ariyyîn mengutip dari Târîkh Ibn al-Wardi, j. 2, h. 13

 

 

 

 

JAWA TIMUR – kemelut khilafah.


Ketua PWNU Jawa Timur KH Mutawakkil Alallah meminta pemerintah bersikap tegas terhadap organisasi kemasyarakatan yang tidak berasas Pancasila. Kalau perlu dibubarkan, karena mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini disampaikan ketua PW NU saat hadir dalam Harlah NU ke 85 yang digelar PC NU Jombang di GOR Merdeka Jombang, Ahad (10/7) yang juga dihadiri ketua PBNU H Saifullah Yusuf yang juga wakil Gubernur Jawa Timur.

Dikatakan Mutawakkil, sekarang ini marak bemunculan ormas yang terang-terangan mengajarkan khilafah dan tidak mengakui adanya asas Pancasila. ”Mereka menginginkan NKRI diganti khilafah, jika Indonesia ingin makmur,” ujarnya dihadapan ribuan jamaah.

Menjamurnya gerakan khilafah ini, lanjut KH Mutawakkil, karena pemerintah tidak tegas menyikapi. Disamping itu masih banyaknya warga yang dalam kondisi miskin terutama masyarakat bawah serta penegakan hukum yang kurang memicu aliran radikal ini.

”Selama persoalan kemiskinan, hukum masih seperti sekarang, aliran radikalisme semacam ini akan terus berkembang,” ujarnya seraya mengatakan faham ini sekarang juga sudah merambah Jawa Timur yang merupakan basis NU.

Selama ini, lanjut pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo ini mengatakan, pemerintah belum berani melakukan tindakan atau pembubaranan. Padahal undang-undang keormasan yang merupakan konstitusi bersama sudah tegas mengatur.” Mengapa itu (membubarkan) tidak berani dilakukan. Itu yang kita sayangkan,” pungkasnya.

Karenanya, Ketua PWNU Jawa Timur ini meminta pemerintah tegas untuk menindak bahkan membubarkan ormas yang jelas-jelas menolak asas pancasila. Dikatakannya, karena berada di Indonesia maka setiap ormas harus berasakan Pancasila.

”Jika tidak, maka harus ditutup karena melanggar undang-undang. Dan yang telah berasaskan pancasila juga harus mendapatkan pengawasan,” tandas pengasuh pondok pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo ini juga mengingatkan.

KH Mutawakkil menegaskan, bahwa siapapun dan apapun ormasnya yang mengganggu asas pancasisla dan keutuhan NKRI, maka akan berhadapan dengan NU. ”Siapaun mengganggu Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan berhadapan dengan NU,” tukasnya.

Dalam kegiatan harlah NU yang dihadiri Bupati Suyanto dan Wakil Bupati Widjono Soeparno juga digelar donor darah. Tidak kurang 50 jamaah dari Banser Ansor, IPNU dan IPPNU melakukan donor darah. (pz/nu-online)

http://www.eramuslim.com/berita/nasional/waduh-nu-jatim-minta-pemerintah-bubarkan-ormas-penganjur-khilafah.htm

KUMPULAN HADITS SHAHIH – sanad singkat.


.


1.- Harta Hibah 1/3  #Dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. berkata: Rasulullah saw menengokku pada haji wada’ dari cekaman suatu penyakit yang hampir saja merenggut nyawaku lalu aku berkata, ” Ya Rasulullah, sebagaimana engkau lihat, penyakitku ini cukup berat sedangkan aku adalah orang yang berharta dan tidak ada ahli warisku kecuali seorang anak perempuanku. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga dari hartaku? ” Rasulullah saw menjawab, ” Jangan ” Aku berkata, ” Bagaimana kalau separuhnya?” Rasulullah menjawab, ” Jangan, sepertiga saja dan sepertiga pun sudah cukup banyak. Sesungguhnya jika eangkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya raya adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan kekurangan meminta-minta kepada manusia. Dan tidaklah engkau mengeluarkan suatu pembelanjaan dengan menuntut keridhaan Allah melainkan engkau akan diberi pahala karenanya hingga sesuap makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” Aku berkata, ” Ya Rasulullah, apakah aku ditinggalkan (di Makkah) sesudah kawan-kawanku (berhijrah)?” Rasulullah saw menjawab, ” Sesungguhnya engkau tidak ditinggal lalu engkau beramal dengan suatu amal yang ditujukan untuk mencari keridhaan Allah melainkan dengannya engkau akan bertambah derajat dan pangkatmu. Barangkali engkau tertinggal ini akan mendatangkan manfaat bagi orang banyak dan mendatangkan kerugian bagi lainnya.” Kemudian Rasulullah saw berdo’a, ” Ya Allah teruskanlah bagi sahabat-sahabatku hijrah mereka dan jangan Engkau kembalikan mereka ke belakang (ke Mekkah).” Tetapi yang kecewa adalah Sa’ad bin Khaulah yang dikasihi oleh Rasulullah saw karena ia meninggal dunia di Makkah. ( Bukhari – Muslim )

2.- Membunuh 99 + 1 # Dari Abu Sa’id (Sa’ad bin Malik bin Sinan) al-Khudry berkata: Rasulullah saw bersabda, ” Pernah terjadi pada umat terdahulu seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa kemudian ingin bertaubat maka ia pun mencari seorang alim lalu ditunjukkan kepadanya seorang pendeta maka ia pun bertanya, ” Sesungguhnya saya telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat? ” Jawab pendeta, ” Tidak ada ” Seketika pendeta itupun dibunuhnya sehingga genaplah seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian ia mencari orang alim lainnya dan ketika telah ditunjukkan iapun menerangkan bahwa ia telah membunuh seratus orang apakah ada jalan untuk bertaubat? Jawab si alim, “Ya, ada dan siapakah yang dapat menghalangimu untuk bertaubat? Pergilah ke dusun itu karena di sana banyak orang-orang yang taat kepada Allah. Maka berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka dan jangan kembali ke negerimu ini karena negerimu ini adalah tempat penjahat.” Maka pergilah orang itu tetapi di tengah perjalanan mendadak ia mati. Maka bertengkarlah Malaikat rahmat dengan Malaikat siksa. Malaikat rahmat berkata, ” Ia telah berjalan untuk bertaubat kepada Allah dengan sepenuh hatinya.” Malaikat siksa berkata, ” Ia belum pernah berbuat kebaikan sama sekali.” Maka datanglah seorang Malaikat berupa manusia yang menjadi juru penengah (hakim) di antara mereka. Ia berkata, ” Ukur saja jarak antara dusun yang ditinggalkan dan yang dituju maka kemana ia lebih dekat, masukkanlah ia kepada golongan orang sana. Maka diukurlah kedua jarak itu dan ternyata lebih dekat kepada dusun orang-orang baik yang dituju, kira-kira terpaut sejengkal. Maka dipeganglah ruhnya oleh Malaikat rahmat.” (Bukhari – Muslim)

3.-  Shalat Sunah Wudlu # Dari Utsman bin Affan ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak seseorang memasuki waktu shalat wajib kemudian ia berwudhu’ dan shalat dengan khusyu’ dan memelihara ruku’nya, melainkan akan terhapus dosa-dosanya yang telah lalu selama tidak melakukan dosa besar, hal itu berlaku sepanjang masa.” ( Muslim )

4,- 70.000 Tanpa Hisah # Dari Imran bin Hushain ra., Rasulullah saw bersabda: ” Ada 70.000 orang dari umatku yang masuk surga tanpa hisab.” Para sahabat bertanya, ” Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, ” Mereka adalah orang yang tidak ber istirqa’ ( meminta pengobatan dengan cara jampi-jampi ) tidak ber tathayyur ( menggantungkan nasib kepada terbangnya burung ), tidak melakukan pengobatan dengan cara membakar bagian yang sakit dengan besi panas membara dan orang-orang yang bertawakkal kepada Rabb mereka.” ( Muslim )

5.- Kesombongan # Dari Abdillah bin Mas’ud ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, ” Orang yang mempunyai sifat sombong sedikit saja di dalam hatinya tidak akan masuk surga.” Seseorang berkata, ” Bagaimana halnya ihwal seseorang yang mempunyai pakaian-pakaian yang indah dan sepatu-sepatu yang indah?” Rasulullah saw bersabda, ” Allah itu indah dan Allah menyukai keindahan ( Seseorang tidak disebut sombong jika ia mempercantik dirinya ). Kesombongan terletak pada penolakan terhadap kebenaran danmemandang orang lain rendah.” (  Muslim )

6.- Shalat Berjamaah 25 Derajat # Dari Abu Hurairah ( Abdurrahman bin Shaher ) r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Shalat berjama’ah pahalanya melebihi shalat sendirian baik di tempat pekerjaan atau di rumah, dua puluh lima derajat. Yang demikian itu karena jika seseorang telah menyempurnakan wudhu kemudian pergi ke masjid tanpa tujuan lain selain shalat maka tidak bertindak selangkah melainkan diangkat sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa hingga masuk ke masjid. Apabila telah berada di dalam masjid maka ia dianggap mengerjakan shalat selama ia masih menantikan shalat ( selama bertahan karena menunggu shalat ) dan Malaikat memohonkan rahmat atau mendoakan seseorang selama ia dalam majelis shalatnya. Malaikat berdoa, Ya Allah, kasihanilah dia; ya Allah, ampunilah dia; ya Allah, maafkanlah dia. Demikian itu selama ia tidak mengganggu dan belum berhadats di tempat itu.” ( Bukhari – Muslim )

7.- 10 + 700 Kebaikan # Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, ” Sesungguhnya Allah mencatat segala hasanat ( kebaikan ) dan sayyiat ( kejahatan ) kemudian menjelaskan keduanya maka barangsiapa yang berniat akan melakukan kebaikan lalu dikerjakannya maka akan dicatat untuknya sepuluh hasanat mungkin ditambah hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu.Dan apabila ia berniat akan melakukan sayyiat (kejahatan) lalu tidak dikerjakannya maka Allah mencatat baginya satu hasanat dan jika niat itu dilaksanakannya maka ditulis baginya satu sayyiat.” ( Bukhari – Muslim )

  • Dari Abi Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Lazimnya, seseorang mengawini seorang wanita karena empat alasan: karena kekayaannya; karena martabat keluarganya; karena kecantikannya dan karena kesalehannya. Lebih baik pilihlah ia karena kesalehannya. Semoga engkau tetap rendah hati.” (Bukhari)
  • Dari Adiyyi bin Hatim ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bersedekahlah supaya engkau diselamatkan dari api neraka walaupun hanya sebagian dari sebuah kurma.” (Bukhari)
  • Dari Abi Hurairah ra. menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Saya bersaksi dengan nama Allah, ia bukan orang yang beriman. Saya bersaksi dengan nama Allah, ia bukan orang yang beriman.
  • Dari Abi Hurairah ra. menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Malanglah ia, malanglah ia, malanglah ia. Seorang yang hidup cukup lama menyaksikan hari tua ibu-bapaknya, tetapi gagal memperoleh surga (dengan jalan mengkhidmati mereka).” (Muslim)
  • Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. telah berkata: Aku telah dengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa diantaramu melihat kemungkaran hendaklahia merobahnya dengan tangannya, jika ia tak sanggup maka dengan lidahnya dan jika tak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (Muslim)
  • Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berbuat zhalim kepada saudaranya yang seiman dari hartanya atau sebagian dari itu, maka henndaklah ia menyelesaikannya pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari dimana dinar dan dirham tidak memberi manfaat apa-apa.Bila ia mempunyai amal shaleh maka amal tersebut diberikan kepada saudaranya yang dizhaliminya. Namun jika ia tidak memiliki amal shaleh maka dosa yang dizhaliminya, ditimpakan kepadanya.” (Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud)
  • Dari Sahl bin Sa’ad ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini (beliau mengisyaratkan kedua jari telunjuknya danjari tengah sambil membuka keduanya) (Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi)
  • Dari Nu’man bin Basyir ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Adzab neraka yang paling ringan pada hari kiamat ialah seorang laki-laki diletakkan diujung kedua tongkaknya dua bara api dengan panas yang menjadikan otaknya mendidih, dimana ia tidak melihat ada orang lain yang mendapat adzab lebih berat darinya, padahal itu adzab neraka yang paling ringan.” (Muttafaq ‘Alaih)
  • Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Terjadi di masa dahulu sebelum kamu, tiga orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada di dalam gua itu, ada sebuah batu besar yang jatuh dari atas bukit dan menutup pintu gua itu sehingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka, “Sungguh tidakada yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali jika kalian bertawassul kepada Allah dengan amal-amal shalehyang pernah kalian lakukan dahulu.” Maka seorang dari mereka berdoa, “Ya Allah, dahulu saya mempunyaiayah dan ibu dan sudah menjadi kebiasaanku tidak memberi minuman susu kepada seorangpun sebelum keduanya (ayah dan ibu), baik kepada keluargaku atau kepada hamba sahaya. Maka pada suatu hari saya agak jauh menggembala ternak sehingga saya terlambat tidak kembali kepada keduanya hingga malam hari dan ketika itu ayah bundaku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya dan saya segan untuk membangunkan keduanya tetapi saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapapun sebelum ayah bundaku. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar lalu bangunlah keduanya dan minum susu yang saya perahkan itu. Padahal malam itu anak-anakku juga menangis meminta susu itu di dekat kakiku. Ya Allah, jika saya lakukan itu benar-benar karena mengharapkan keridhaan-Mu maka lepaskanlah kami dari kesulitan ini. Maka bergeserlah batu itu sedikit hanya saja mereka belum dapat keluar dari gua tersebut. Lalu orang yang kedua berdoa, “Ya Allah, dahulu saya pernah jatuh cinta pada anak gadis pamanku. Karena cinta kasihku saya selalu merayu dan ingin berzina dengannya tetapi ia selalu menolak hingga terjadilah pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku. Maka saya berikan padanya uang seratus dua puluh dinar dengan janji bahwa ia akan menyerahkan kegadisannya kepadaku malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya tiba-tiba ia berkata, “Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih menginginkannya dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah, bila saya berbuat itu semata-mata karenamengharapkan keridhaan-Mu maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini.” Maka bergeserlah batu itu sedikit tetapi mereka belum juga dapat keluar daripadanya. Lalu berdoalah orang yang ketiga, “Ya Allah, saya dahulu menjadi majikan yang mempunyai banyak buruh dan pegawai. Pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu lalu segera pergi dan meninggalkan upahnya terus pulang ke rumahnya dan tidak kembali. Maka saya perniagakan upah itu hingga bertambah dan berbuah menjadi harta kekayaan yang banyak. Kemudian setelah berselang waktu cukup lama, buruh itu datang kembali dan berkata, “Hai hamba Allah berikan kepadaku upahku yang dahulu itu.”Aku menjawab, “Semua kekayaan di depanmu yang berupa unta, lembu, kambing dan budak penggembalanya itu adalah upahmu.” Orang itu berkata, “Hai hamba Allah, janganlah engkau mengolok-olokkan aku.” Aku menjawab, “Aku tidak mengolok-olokkan kamu.” Maka diambilnya semua yang saya sebutkan itu dan tidak ditinggalkan seekor pun daripadanya. “Ya Allah, jika saya berbuat itu karena mengharapkan keridhaan-Mu maka bebaskanlah kami dari kesempitan ini.” Tiba-tiba batu itupun bergeser lagi sehingga mereka dapat keluar dengan selamat.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Atha’ bin Abi Rabah berkata: Ibnu ‘Abbas r.a. berkata, “Sukakah saya tunjukkan kepadamu seorang wanita ahli syurga?” Saya menjawab, “Baiklah.” Berkata Ibnu ‘Abbas, “Itulah wanita yang hitam.” Pada suatu hari ia datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, saya berpenyakit ayan hingga terbuka aurat maka doakan kepada Allah untuk kesembuhanku.” Rasulullah saw menjawab, “Jika engkau sabar engkau akan mendapat surga dan jika engkau tetap meminta aku, aku doakan, akupun tidak keberatan.” Wanita itu menjawab, “Saya akan sabar tetapi doakan supaya tidak sampai terbuka aurat saya.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Abdullah bin ‘Abbas dan Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Andaikan seorang anak Adam (manusia) mempunyai satu lembah dari emas pasti ia ingin mempunyai dua lembah dan tidak ada yang dapat menutup mulutnya (menghentikan kerakusannya kepada dunia) kecuali tanah (maut). Dan Allah berkenan memberi taubat kepada siapa yang bertaubat.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Allah tertawa melihat dua orang yang telah bunuh membunuh dan keduanya masuk surga. Seorang pejuang berjuang di jalan Allah (Fisabilillah) lalu terbunuh kemudian yang membunuh masuk Islam dan ikut berjihad Fisabilillah sehingga mati syahid terbunh pula.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hak kewajiban seorang muslim atas muslim lainnya ada lima. Pertama menjawab salam. Kedua menjenguk yang sakit. Ketiga mengantar jenazah. Keempat memenuhi undangan. Kelima mendo’akan orang yang bersin.”(Muttafaq ‘Alaih)
  • Dari Sahl bin Hanif bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa meminta mati syahid kepada Allah dengan jujur, pasti akan Allah sampaikan ia ke tingkat para syuhada sekalipun mati di atas tempat tidur.” (Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
  • Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap anggota badan manusia wajib atasnya sedekah, setiap hari bila terbit matahari engkau damaikan antara dua orang yang berselisih, itu adalah sedekah dan menolong orang berkenaan dengan kendaraannya, engkau mengangkatnya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya, itu adalah sedekah dan setiap langkah untuk shalat adalah sedekah. Dan menyingkirkan sesuatu rintangan dari jalan adalah sedekah.”(Bukhari – Muslim)
  • Dari Abdillah bin ‘Amr bin Al-‘Ash ra. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang memiliki empat sifat maka ia munafik murni dan barangsiapa memiliki satu darinya, berarti ia mempunyai satu sifat munafik, yaitu jika diberi amanat ia berkhianat, bila bicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika bersengketa ia membongkar rahasia terdahulu.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Utsman bin Affan ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang yang terbaik dari antaramu ialah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.”(Bukhari)
  • Dari Anas r.a. berkata, Nabi saw masuk masjid tiba-tiba beliau menemukan tali yang terulur di antara dua tiang. Nabi saw bertanya, “Tali apakah ini?” Jawab orang banyak, “Tali kepunyaan Zainab kalau ia merasa capai berdiri shalat, ia berpegangan dengannya.” Maka Nabi saw bersabda, “Lepaskan tali itu. Hendaklah shalat dilakukan dalam keadaan tangkas, cekatan dan apabila letih (mengantuk) hendaklah tidur.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Jika mengantuk salah seorang dari kamu dalam mengerjakan shalat hendaklah ia tidur sehingga hilang rasa kantuknya. Sesungguhnya jika seseorang mengerjakan shalat dengan mengantuk, jangan-jangan ia akan membaca istighfar lalu mengigau mengumpat dirinya sendiri.”(Bukhari – Muslim)
  • Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Biarkanlah selama aku membiarkan kamu dalam kebebasanmu. Maka sesungguhnya penyebab kebinasaan umat terdahulu sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan menyalahi Nabi-nabi mereka. Maka apabila aku mencegahmu dari sesuatu perkara, tinggalkanlah perkara itu dan jika aku perintahkan sesuatu perkara, kerjakanlah sekuat tenagamu.”(Bukhari – Muslim)
  • Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Semua umatku selamat kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa (mujaharah). Dan termasuk mujaharah adalah orang yang berbuat di waktu malam yang gelap kemudian pagi harinya diceritakan pada orang lain padahal semalaman itu Allah menutupinya sedangkan pagi harinya ia membuka sendiri apa yang ditutupi oleh Allah. (Bukhari – Muslim)
  • Dari Abu Mas’ud al-Badri r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, “Apabila salah seorang kamu membelanjai istrinya dengan mengharapkan pahala maka tercatat baginya sebagai sedekah.”(Bukhari – Muslim)
  • Dari Anas r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Ya Allah,sesungguhnya tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali kehidupan akhirat.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.”(Bukhari – Muslim)
  • Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Pada hari kiamat seorang Mu’min didekatkan kepada Tuhan dengan dinaungi oleh rahmat-Nya, kemudian ditanya, “Tahukah kamu dosa ini? Tahukah kamu dosa itu?” Jawabnya, “Ya, saya tahu.” Maka Allah berfirman, “Aku telah menutupi atasmu dunia dan kini aku mengampuninya darimu.” Kemudian diberikan kepadanya suratan amal kebaikannya.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Anas r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa memilikinya akan merasakan kelezatan iman yaitu jika ia mencintai Allah dan Rasulullah melebihi cintanya kepada yang lain; Jika ia mencintai sesama manusia semata-mata karena Allah dan jika ia enggan kembali kafir setelah diselamatkan Allah daripadanya, sebagaimana ia enggan dimasukkan ke dalam neraka.”(Bukhari – Muslim)
  • Dari ‘Ubadah bin ash Shamit r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa percaya bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Nabi Muhammadadalah hamba dan utusan-Nya dan bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang diturunkan kepada Maryam dan ruh daripada-Nya dan bahwa surga itu benar adanya (haq) maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dengan amal perbuatannya (yang baik) seberapa pun adanya.” (Bukhari – Muslim)
  • Abu Hurairah r.a. telah mendengar Nabi saw bersabda, “Ada tiga orang dari Bani Israil yaitu si Belang, si Botak dan si Buta ketika Allah akan menguji mereka, Allah mengutus Malaikat berupa manusia. Maka datanglah Malaikat itu kepada orang yang belang dan bertanya, “Apakah yang kau inginkan?” Jawabnya, “Kulit dan rupa yang bagus serta hilangnya penyakit yang menyebabkan orang-orang jijik kepadaku.” Maka diusaplah orang itu oleh Malaikat. Seketika itu juga hilanglah penyakitnya dan berganti rupa dan kulit yang bagus, kemudian ditanya lagi, “Kekayaan apakah yang engkau inginkan?” Jawabnya, “Unta.” Maka diberinya seekor unta yang bunting sambil didoakan, BAARAKALLAAHU LAKA FIIHAA (Semoga Allah memberkahimu pada kekayaanmu itu).” Kemudian datanglah si Malaikat itu kepada si Botak dan bertanya, “Apakah yang engkau inginkan?” Jawabnya, “Rambut yang bagus dan hilangnya penyakitku yang menyebabkan kehinaan pada pandangan orang.” Maka diusaplah orang botak itu lalu seketika itu juga tumbuhlah rambut yang bagus. Kemudian ditanya lagi, “Kini kekayaan apa yang engkau inginkan?” Jawabnya, “Lembu.” Maka diberinya seekor lembu yang bunting sambil didoakan, “BAARAKALLAAHU LAKA FIIHAA (Semoga Allah memberkahimu pada kekayaanmu itu).” Lalu datanglah Malaikat itu kepada si Buta dan bertanya, “Apakah yang engkau inginkan?” Jawabnya, “Kembalinya penglihatan mataku supaya aku dapat melihat orang.” Maka diusaplah matanya sehingga dapat melihat kembali. Selanjutnya dia ditanya pula, “Kekayaan apa yang engkau inginkan?” Jawabnya, “Kambing.” Maka diberinya seekor kambing yang bunting sambil didoakan “BAARAKALLAAHU LAKA FIIHAA (Semoga Allah memberkahimu pada kekayaanmu itu).”

Beberapa tahun kemudian setelah masing-masing mempunyai daerah tersendiri yang penuh dengan unta, lembu dan kambing, datanglah Malaikat itu dalam rupa seorang yang miskin seperti keadaan si Belang dahulu pada waktu ia belum sembuh dan kaya. Malaikat itu berkata, “Saya seorang miskin yang telah terputus hubungan dalam perjalananku ini maka tidak ada yang dapat mengembalikan aku kecuali dengan pertolongan Allah dan bantuanmu. Maka saya mengharap, demi Allah yang memberi rupa dan kulit yang bagus, satu unta saja untuk meneruskan perjalananku ini.” Jawab si Belang, “Masih banyak hak orang lain padaku, aku tidak dapat memberimu apa-apa, mintalah saja di lain tempat.” Malaikat berkata, “Rasa-rasanya aku pernah berjumpa denganmu, bukankah engkau si Belang dahulu yang dijijiki orang dan seorang miskin kemudian Allah memberimu kekayaan?” Jawab si Belang, “Saya telah mewarisi kekayaan orang tuaku.” Malaikat berkata, “Jika engkau berdusta maka semoga Allah mengembalikan keadaanmu seperti dahulu.” Kemudian pergilah malaikat itu kepada si Botak dengan menyamar seperti keadaan si Botak dahulu dan berkata pula padanya sebagaimana yang dikatakan kepada si Belang, namun ternyata mendapat jawaban seperti jawaban si Belang, hingga karenanya didoakan, “Jika engkau berdusta maka semoga engkau kembali seperti keadaanmu semula.” Akhirnya datanglah Malaikat itu kepada si Buta dengan menyamar seperti keadaan si Buta dahulu semasa ia miskin dan berkata, “Saya seorang miskin dan perantau yang telah putus hubungan dalam perjalanan, tidak dapat meneruskan perjalanan kecuali dengan pertolongan Allah dan bantuanmu. Aku minta demi Allah yang mengembalikan pandangan matamu, satu kambing saja untuk meneruskan

perjalananku ini.” Jawab si Buta, “Dahulu aku memang buta lalu Allah mengembalikan penglihatanku maka kini ambillah sesukamu, aku tidak akan memberatkan sesuatu pun kepadamu yang engkau ambil karena Allah.” Maka berkata Malaikat, “Jagalah harta kekayaanmu, sebenarnya kamu telah diuji maka Allah ridha kepadamu dan murka kepada kedua temanmu itu.”

(Bukhari – Muslim)

  • Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seorang dari kamu mengharap-harapkan maut disebabkan oleh penderitaan yang dialaminya maka jika harus terpaksa berkata, ucapkanlah, ALLAAHUMMA AHYINII MAAKAANATIL HA AATU KHAIRAN LII WA TAWAFFANII IDZAA KAANATIL WAFAATU KHAIRAN LII ( Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku apabila mati itu lebih baik bagiku ).” ( Bukhari – Muslim )
  • Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: Ketika selesai perang Hunain, Rasulullah saw mengutamakan pembagian ghanimah kepada beberapa orang terkemuka dari bangsa Quraisy yang baru masuk Islam maka diberikan seratus unta kepada al-Aqra’ bin Habis dan seratus ekor unta untuk Uyainah bin Hishn dan beberapa orang lainnya dari pemuka bangsa Quraisy sehingga ada seseorang berkata, “Demi Allah, pembagian ini tidak adil dan tidak karena Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Demi Allah, akan saya sampaikan perkataan itu kepada Rasulullah saw.” Maka saya segera pergi memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw, kemudian beliau berkata, “Siapakah yang adil, jika Allah dan Rasulullah dianggap tidak adil?” Kemudian beliau berdoa, “Semoga Allah tetap merahmati Musa, sesungguhnya ia telah memperoleh gangguan lebih banyak dari ini tetapi sabar.” Ibnu Mas’ud berkata, “Saya pasti tidak akan menyampaikan suatu berita seperti itu lagi kepada Rasulullah saw sesudah kejadian ini.”

(Bukhari – Muslim)

  • Dari Sulaiman bin Shurad r.a. berkata: ketika saya duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba ada dua orang saling memaki sedang salah satu telah merah wajahnya dan tegang pula urat lehernya maka Rasulullah saw bersabda, “Saya mengetahui suatu kalimat yang apabila kalimat itu dibaca, pasti hilang apa yang dirasakannya yaitu A’UDZUBILLAAHI MINASYSYAITHOONIR RAJIIM.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Akan terjadi sepeninggalku sifat monopoli (mementingkan diri sendiri) dan beberapa kemungkaran.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pesan tuan kepada kami menghadapi hal itu?” Nabi saw bersabda, “Tunaikanlah kewajibanmu dan mintalah kepada Allah untuk mendapatkan hakmu.”

(Bukhari – Muslim)

  • Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu hingga aku melihat seorang Nabi dengan rombongan yang kecil dan ada Nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang bahkan ada Nabi yang tidak ada pengikutnya. Tiba-tiba terlihat olehku rombongan yang besar, saya kira itu umatku maka diberitahu kepadaku bahwa itu Nabi Musa dan kaumnya tetapi lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu. Tiba-tiba di sana aku melihat rombongan yang besar sekali. Dikatakan kepadaku: Itulah umatmu dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa perhitungan (hisab).” Setelah itu Nabi bangun dan masuk ke rumahnya sehingga para sahabat saling memperbincangkan orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat, “Mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Nabi saw.” Ada pula yang berpendapat, “Mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah.” dan berbagai pendapat lainnya yang mereka sebutkan. Kemudian Rasulullah saw kembali dan bertanya, “Apa yang sedang engkau bicarakan?” Mereka memberitahukan segala pembicaraan mereka maka Rasulullah saw bersabda, “Mereka yang tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung dan kepada Tuhan mereka selalu berserah diri (tawakal). Maka bangunlah ‘Ukkasyah bin Mihshan dan berkata, “Ya Rasulullah, doakan semoga Allah memasukkan aku dari golongan mereka.” Nabi saw menjawab, “Engkau termasuk golongan mereka.” Kemudian berdiri orang lain, izin dan berkata, “Doakan semoga Allah menjadikan aku dari golongan mereka.” Nabi saw menjawab, “Engkau telah didahului oleh ‘Ukkasyah.” (Bukhari – Muslim)
  • Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Ketika Nabi saw masuk ke rumah kami bertepatan dengan adanya seorang wanita maka Nabi saw bertanya, “Siapakah wanita itu?” Jawab ‘Aisyah, “Ini Falunah yang terkenal ibadah shalatnya banyak sekali.” Maka Nabi saw bersabda, “Ah (kata yang menyatakan kurang senang), hendaklah ia mengerjakan menurut kadar kemampuannya dengan tidak memaksakan diri maka Allah tidak akan jemu (bosan) menerima amalmu sehingga kamu sendiri yang jemu beramal dan perilaku agama yang disukai Allah ialah yang dikerjakan terus-menerus.”

(Bukhari – Muslim)

  • Dari Abu Musa r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan tuntunan hidayah dan ilmu yang diutuskan Allah kepadaku adalah bagaikan hujan yang turun ke bumi. Ada tanah yang subur menerima air dan menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak dan ada yang keras tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh orang yang mengerti agama Allah lalu belajar dan mengajar dan orang yang tidak dapat menerima sama sekali petunjuk ajaran Allah yang diutuskan kepadamu.” (Bukhari – Muslim)
  • #

Dari ‘Utban bin Malik r.a. berkata: Ketika Nabi saw selesai shalat beliau bertanya, “Dimanakah Malik bin al-Dakhsyum?” Dijawab oleh seseorang, “Dia itu munafik, tidak suka Allah dan Rasulullah.” Maka Nabi saw bersabda, “Jangan berkata demikian, tidakkah engkau tahu bahwa ia telah mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH dengan ikhlas karena Allah? dan Allah telah mengharamkan api neraka kepada siapa yang mengucapkanLAA ILAAHA ILLALLAAH dengan ikhlas karena Allah.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Zaid (Usamah) bin Zaid Haritsah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Seseorang dihadapkan di hari kiamat kemudian dilemparkan ke dalam neraka maka keluar usus perutnya lalu berputar-putar di dalam neraka bagaikan himaryang berputar di sekitar penggilingan. Maka kerumunan ahli neraka padanya sambil bertanya, “Hai Fulan, mengapakah engkau, bukankah engkau dahulu yang menganjurkan kebaikan dan mencegah kemunkaran?” Jawabnya, “Benar, aku dahulu menganjurkan kebaikan, tetapi tidak saya kerjakan dan mencegah kemunkaran tetapi saya kerjakan.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatan, harta atau lainnya hendaklah ia segera meminta halal (maaf)nya sekarang juga sebelum datang suatu hari yang ketika itu tidak ada harta dinar atau dirham. Jika ia mempunyai amal shaleh maka akan diambil menurut penganiayaannya dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan) maka akan diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditangguhkan kepadanya.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari An-Nu’man bin Basyir r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan orang-orang Mu’min dalam cinta mencintai, kasih mengasihi dan rahmat merahmati adalah bagaikan satu badan, apabila salah satu anggotanya menderita sakit maka menjalarkan penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan panas.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Orang yang menyantuni janda dan orang miskin adalah bagaikan orang yang berjihad fi sabilillah bahkan seperti orang yang tidak pernah berhenti puasa dan bagun shalat malam.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Jundub bin Abdullah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada orang lain maka Allah akan

mempermalukannya di hari kiamat dan barangsiapa yang memperlihatkan amalnya kepada orang lain maka Allah akan membalas riya’nya itu.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tinggalkan tujuh dosa yang akan membinasakan.” Sahabat bertanya, “Apakah itu, ya Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Menyekutukan Allah, Sihir (tenung), membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada waktu perang, menuduh wanita Mu’minat yang sopan dengan tuduhan berzina.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Seorang perempuan disiksa karena kucing yang dikurungnya hingga mati maka ia dimasukkan ke dalam neraka disebabkan ia tidak memberi makan dan minum ketika mengurungnya dan tidak pula melepaskannya agar memakan binatang-binatang melata di bumi.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Mencaci maki seorang Muslim adalah fasiq (melanggar agama) dan memerangi seorang Muslim adalah kafir.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menuduh hamba sahayanya berzina maka ia akan dihukum dera pada hari kiamat kecuali jika benar tuduhannya.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah saw berjalan melalui dua kuburan maka beliau bersabda, “Sesungguhnya kedua orang dalam kubur ini sedang disiksa padahal keduanya tidak disiksa karena perkara yang besar. Adapun yang satu maka ia biasa berjalan mengadu domba sedang yang kedua tidak menyelesaikan kencingnya (tidak membersihkan bekas kencingnya)

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Hudzaifah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa percaya kepada Allah dan hari kemudian hendaklah ia berkata baik atau diam.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Musa r.a. berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah siapakah diantara kaum Muslimin yang paling utama?” Nabi saw menjawab, “Siapa yang selamat semua orang Islam dari (kejahatan) LIDAH DAN TANGANNYA.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sungguh ada kalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan maka tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh sebab kalimat itu, lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”

(Bukhari – Muslim)

#

“Tiga hal yang apabila seseorang berada di dalamnya akan merasakan manisnya iman. Pertama apabila orang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain.”

(Muttafaq ‘alaih)

#

“Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sampai aku lebih dicintai olehnya melebihi bapak dan anaknya.”

(Muslim)

#

“Barangsiapa yang berada dalam keadaan aman di tengah kaumnya, sehat tubuhnya, ada yang akan dimakan hari itu maka sepertinya dunia telah digiring kepadanya dengan segala isinya.”

(Tirmidzi)

#

“Bila kamu hendak tidur, berwudhulah kamu sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat dan miringkanlah badanmu pada sisi sebelah kanan.”

(Muttafaq ‘alaih)

#

Dari Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah saw ketika menjelang tidur beliau berdoa, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan dan menjaga kita serta mencukupi segala kebutuhan kita betapa banyak orang yang tidak tercukupi kebutuhannya dan tidak punya tempat tinggal.”

(Muslim)

#

Dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dihatinya ada setitik kesombongan.”

(Muslim)

#

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika seseorang berjalan dengan sombongnya dan takjub kepada dirinya sendiri dan dengan rambut yang disisir, berlagak dalam jalannya maka Allah tiba-tiba membenamkannya ke tanah sehingga turun dan tenggelam sampai hari kiamat.”

(Muttafaq ‘alaih)

#

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia menghormati tamunya, hak tamu sebagai hadiah adalah sehari semalam. Dan hak orang bertamu itu selama tiga hari, selebihnya adalah sedekah. Dan tidak boleh melakukan sesuatu yang membuat kesal tuan rumah.”

(Bukhari)

#

“Senyumanmu ketika bertemu saudaramu adalah sedekah.”

(Tirmidzi)

#

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw pernah melihat sahabat memakai cincin emas, lalu beliau mencopot dan membuangnya, lalu berkata, “Seseorang di antara kalian telah memasang bara api neraka ditangannya.”

(Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, aku mohon ampun dan bertobat lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”

(Bukhari)

#

“Orang yang kikir adalah orang yang apabila aku disebut dihadapannya, orang itu tidak mau bershalawat kepadaku.”

(Tirmidzi)

#

“TIdak berkumpul satu kaum dalam majelis dan tidak disebut di dalamnya nama Allah serta tidak bershalawat kepada nabinya kecuali ditimpakan kepada mereka kebohongan. Kalau Allah menghendaki mereka akan disiksa dan kalau Dia berkehendak mereka diampuni.”

(Tirmidzi)

#

Dari Mu’adz r.a. berkata: Rasulullah saw mengutus saya sebagai gubernur di negeri Yaman maka Rasulullah saw berpesa kepadaku, “Engkau akan menghadapi kaum ahli kitab maka ajaklah mereka kembali kepada kalimat Syahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah. Jika mereka telah menurut kepada ajakan itu, beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka mengerjakan shalat lima kali sehari semalam dalam lima waktu. Jika mereka telah taat, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan zakat (sedekah) yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada fakir miskin. Jika mereka telah menaati itu maka berhati-hatilah kamu dari kekayaan mereka terutama yang benar-benar mereka sayangi dan takutlah kamu dari doa orang yang teraniaya karena tidak ada dinding antara doa itu dengan Allah.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Humaid (Abdurrahman) bin Sa’ad Saldy r.a. berkata: Rasulullah saw mengangkat Ibnu al-Lutbiyah dari suku al-Azd untuk mengumpulkan zakat dan ketika ia telah kembali kepada Rasulullah, ia berkata, “Yang ini untukmu dan yang ini saya terima sebagai hadiah dari orang-orang.” Maka Rasulullah saw segera naik ke atas mimbar dan setelah memuji syukur kepada Allah, beliau berkata, “Amma ba’du, adapun saya mengangkat seseorang untuk suatu tugas yang diberikan. Ini bagianmu dan ini saya sendiri telah mendapat hadiah dari orang-orang. Mengapakah ia tidak duduk-duduk saja di rumah ibu atau ayahnya sehingga datang hadiah itu kepadanya jika memang benar-benar demikian. Demi Allah tidak ada seorang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya kecuali pasti akan dipikulnya di hari kiamat. Maka saya akan ketahui seseorang yang memikul unta atau lembu atau kambing yang mengembik.” Kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat putih ketiaknya sambil bersabda, “ALLAHUMMA HAL BALLAGHTU (Ya Allah, saya telah menyampaikan).”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang kamu mengerjakan shalat mengimami orang banyak maka hendaklah ia meringankan karena mungkin diantara makmum ada orang lemah, orang sakit atau orang tua dan apabila melaksanakan shalat sendirian maka bolehlah memanjangkan sesukanya.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim yang lain; tidak boleh menganiaya atau membiarkan dianiaya. Dan barangsiapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan melaksanakan hajatnya. Dan barangsiapa membebaskan kesusahan seorang Muslim maka Allah akan membebaskannya di hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melapangkan suatu kesukaran dunia pada seorang Mukmin maka Allah akan baginya kesukaran hari kiamat. Dan barangsiapa meringankan kemiskinan seorang miskin maka Allah akan meringankan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa menutupi aib orang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Dan barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Dan tidak berkumpul suatu kaum dalam Baitullah (masjid untuk membaca dan mempelajari kitab Allah melainkan diturunkan kepada mereka ketenangan dan diliputi rahmat, dikerumuni Malaikat dan disebut-sebut oleh Allah di depan para Malaikat-Nya. Dan barangsiapa yang lambat amal perbuatannya maka tidak dapat dipercepat oleh nasab (tidak lekas naik derajatnya).”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihalalkan bagi seorang istri berpuasa sunat ketika suaminya di rumah melainkan dengan izin suaminya. Dan tidak boleh bagi istri mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya melainkan dengan izin suaminya.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya mengenai kepemimpinanmu. Imam (Penguasa) adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan bertanggung jawab mengenai kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Pelayan (buruh) adalah pemeliharaharta majikannya dan akan ditanya mengenai pemeliharaannya. Maka kamu sekalian adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash r.a. berkata: Ada seseorang datang menghadap kepada Rasulullah saw dan berkata, “Saya berbai’at kepadamu, ya Rasulullah, untuk berhijrah dan berjihad dengan mengharap pahala dari Allah.” Rasulullah saw bertanya, “Apakah ada yang masih hidup salah seorang dari ayah bundamu?” Orang itu menjawab, “Bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah saw bersabda, “Engkau mengharap pahala dari Allah?” Orang itu menjawab, “Ya.” Nabi saw bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan perbaikilah pelayananmu kepada keduanya.”

(Bukhari – Muslim)

#

Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan sahabat yang baik dan sahabat yang buruk bagaikan pembawa misk (kasturi) dan peniup api. Maka pembawa misk itu ada kalanya memberi kepadamu atau engkau memberi kepadanya atau engkau mendapat bau harum daripadanya. Adapun peniup api maka kalau tidak membakar pakaianmumaka kau akan mendapatkan bau busuk daripadanya.”

(Bukhari – Muslim)

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda,”Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah dengan sesungguhnya kecuali Allah dan bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Maka apabila mereka telah mengerjakan semua itu, berarti telah terjamin daripadaku darah dan harta mereka kecuali karena kewajiban Islam dan perhitungan mereka terserah kepada Allah.”
(Bukhari – Muslim)
2.

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. berkata: Rasulullah saw duduk di atas mimbar dan kami duduk di sekitanya kemudian Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan sepeninggal aku nanti adalah terbuka lebarnya atas kamu kemewahan dan keindahan dunia.”
(Bukhari – Muslim)
3.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang berada di atasmu karena yang demikian itu lebih layak supaya kamu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.”
(Bukhari – Muslim)
4.

Dari Hakim bin Hizam r.a. berkata:Rasulullah saw bersabda, “Tangan yang di lebih baik dari tangan yang di bawah dan dahulukan dalam bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baiknya sedekah adalah yang masih menyisakan kekayaan. Barangsiapa memelihara kehormatan dirinya, Allah akan memelihara kehormatan dirinya dan barangsiapa mencukupkan dengan kekayaan yang ada maka Allah akan mencukupinya.”
(Bukhari – Muslim)
5.

Dari Umar r.a. berkata: “Saat kami duduk dekat Rasulullah saw di suatu hari maka tiba-tiba tampaklah oleh kami seorang laki-laki memakai pakaian sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas (tanda-tanda) dalam perjalanan dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya maka duduklah ia dihadapan Nabi saw lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi saw lalu meletakkan tangannya di atas paha Nabi saw kemudian ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukanlah padaku tentang Islam!” Maka jawab Rasulullah saw, “Islam yaitu engkau bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan sungguh Muhammad itu utusan Allah, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan dan mengerjakan Hajji ke Baitullah (Mekkah) jika engkau kuasa menjalaninya.” Berkata orang itu, “Benar.” Kami heran, ia bertanya dan ia pula yang membenarkannya. Maka bertanyalagi orang itu, “Beritahukanlah padaku tentang Iman.” Jawab Nabi saw, “Engkau beriman kepada Allah dan Malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari Qiamat dan beriman kepada Qadar baik dan yang buruk.” Berkatalah orang itu, “Benar.” Bertanya lagi orang itu, “Maka beritahukanlah padaku tentang Ihsan.” Jawab Nabi, “Engkau beribadah (mengabdi) kepada Allah seakan-akan engkau melihat kepada-Nya, sekalipun engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya ia melihat engkau.” Tanya orang itu lagi, “Beritahukanlah aku tentang hari Qiamat.” Jawab Nabi, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari si penanya.” Tanya orang itu lagi, “Beritahukanlah aku tentang tanda-tandanya.” Jawab Nabi, “Diantaranya jika seorang hamba telah melahirkan majikannya dan jika engkau melihat orang yang tadinya miskin papa, berbaju compang-camping, sebagai penggembala kambing sudah berkemampuan, berlomba-lomba dalam kemegahan bangunan.” Kemudian pergilah orang tadi. Aku diam tenang sejenak kemudian Nabi saw berkata, “Wahai Umar tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Jawabku, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi saw berkata, “Dia itu Jibril datang kepada kalian mengajarkan tentang agama kalian.”
(Muslim)
6.

Dari Abi Abdirrahman Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw dan dialah yang selalu benar dan dibenarkan, “Sesungguhnya setiap kamu dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya empat puluh hari berupa nutfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu juga, kemudian diutus kepadanya Malaikat maka ia meniupkan roh padanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rizkinya, ajalnya, amalnya, ia celaka atau bahagia. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain dari pada-Nya, sungguh seorang di antara kamu ada yang melakukan pekerjaan ahli syurga sehingga tidak ada antara dia dan syurga itu kecuali sehasta saja maka dahululah atasnya takdir Allah, lalu ia lakukan pekerjaan ahli neraka maka iapun masuk neraka.” Dan sungguh salah seorang diantara kamu melakukan pekerjaan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka kecuali sehasta saja maka dahululah ketentuan Allah atasnya, lalu ia melakukan pekerjaan ahli syurga maka iapun masuk ke dalam syurga.”
(Bukhari – Muslim)
7.

Dari Ummil Mu’minin, ibunya Abdillah, Aisyah r.a. berkata: “Telah bersabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) dalam urusan (agama) kami ini, yang tidak kami perintahkan maka hal itu ditolak.”
(Bukhari – Muslim)
8.

Dari Abi Abdillah An-Nu’man bin Basyir r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sungguh sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, antara keduanya ada hal yang samar-samar (syubhat) yang kebanyakan manusia tidak tahu. Maka siapa yang menjaga dirinya dari syubhat itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya dan siapa yang melakukan perkara syubhat itu maka ia jatuh dalam perkara haram seperti penggembala di sekeliling tanah larangan (milik orang), lambat laun ia akan masuk ke dalamnya. Ingatlah setiap raja ada larangannya. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya. Sepotong daging itu adalah hati.”
(Bukhari – Muslim)
9.

Dari Abi Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Agama itu adalah nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa ya Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam-imam Muslimin dan bagi Muslimin umumnya.”
(Muslim)
10.

Dari Abi Hurairah Abdir-Rahman bin Shakhr r.a. berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Apa-apa yang telah kami larang untukmu maka jauhilah dan apa-apa yang telah kami perintahkan kepadamu maka kerjakanlah sebisamu. Celakanya orang-orang sebelum kamu adalah karena banyak pertanyaan dan perselisihan terhadap Nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh).”
(Bukhari – Muslim)
11.

Dari Abi Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Rasulullah saw dan kesayangannya berkata: Aku telah hafal sabda dari Rasulullah saw, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, kerjakan apa-apa yang tidak meragukan kamu.”
(Tirmidzi – Nasa’i)
12.

Dari An-Nawas bin Sam’an r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu.”
(Muslim)
13.

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan – karenaku – dari ummatku amal-amal yang khilaf, lupa dan yang dipaksakan atas mereka.”
(Ibnu Majah – Baihaqi-dll)
14.

Dari Abi Abbas Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi r.a. berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah! Tunjukkilah aku pada suatu amal yang jika aku kerjakan, aku dicintai Allah dan dicintai manusia. Maka Rasulullah saw bersabda, “Zuhudlah engkau akan dunia, pasti Allah mencintai engkau. Zuhudlah engkau akan apa yang ada pada manusia, pasti manusia mencintai engkau.”
(Ibnu Majah-dll)
15.

Dari Abi Tsa’labah Al-Khusyani Jurtsum bin Nasyir r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menentukan beberapa batas maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Ia telah diam dari beberapa perkara sebab rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu mempersoalkannya.”
(Ad-Daruquthni-dll)
16.

Dari Abi Dzarr Al-Ghoffari r.a. dari Nabi saw yang diriwayatkan dari Allah Azza wajalla: Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, “Hai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku haramkan perilaku zhalim atas diri-Ku dan Aku jadikan di antaramu haram maka janganlah kamu saling menzhalimi. Hai hamba-Ku! Kamu semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk maka hendaklah minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku beri petunjuk. Hai hamba-Ku! Kamu semuanya lapar kecuali yang telah Aku beri makan, hendaklah kamu minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberi makan padamu. Hai hamba-Ku! Kamu semua telanjang kecuali yang telah Aku beri pakaian, hendaklah kamu minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberi pakaian padamu. Hai hamba-Ku! Sungguh kalian lakukan kesalahan siang dan malam dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semua maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku akan mengampuni kalian. Hai hamba-Ku! Sungguh kalian tidak dapat membinasakan Akudan kalian tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku. Hai hamba-Ku! Jika orang terdahulu dan orang yang terakhir daripadamu, manusia dan jin semuanya, mereka itu berhati taqwa seperti paling taqwa diantaramu, hal itu tidak akan menambah kerajaan-Ku sedikit juga.Hai hamba-Ku! Jika yang pertama dan terakhir daripadamu, manusia dan jin seluruhnya, mereka berhati jahat seperti paling jahat diantaramu, itu tidak akan mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun. Hai hamba-Ku! Jika orang terdahulu dan terakhir diantaramu, manusia dan jin semuanya, mereka berada di bumi yang satu, mereka meminta kepada-Ku maka Aku berikan setiap orang permintaannya, hal itu tidaklah mengurangi apa yang ada pada-Ku, melainkan seperti sebatang jarum dimasukkan ke laut. Hai hamba-Ku Sungguh itu semua amal perbuatanmu. Aku catat semuanya bagimu sekalian kemudian Kami membalasnya. Maka barangsiapa mendapat kebaikan hendaklah bersyukur kepada Allah dan barangsiapa mendapat selain itu maka janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.”
(Muslim)
17.

Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang Mu’min dengan apa yang telah diperintahkan kepada Rasul-rasul maka Allah telah berfirman, “Hai Rasul-rasul! Makanlah dari segala sesuatu yang baik dan bekerjalah kamu dengan pekerjaan yang baik.” Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari apa yang telah Kami rizkikan padamu.” Kemudian beliau menceritakan seorang lelaki yang telah jauh perjalanannya, rambutnya kusut penuh debu. Dia berkata: Wahai Rabbi, Wahai Rabbi sedang makanannya haram, pakaiannya haram dan kenyang dengan barang haram maka bagaimana akan diterima do’anya?
(Muslim)
18.

Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw berkata: Bahwa Allah berfirman, “Barangsiapa memusuhi orang yang setia pada-Ku, sesungguhnya Aku telah menyatakan PERANG terhadapnya dan tidaklah beramal seorang hamba-Ku yang lebih Ku sukai seperti jika ia melakukan kewajiban yang Ku perintahkan atasnya. Dan selalu hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sunnah hingga Aku mencintainya dan jika Aku mencintainya, jadilah Aku sebagai telinganya untuk mendengar dan sebagai matanya untuk melihat dan sebagai tangannya untuk berjuang dan sebagai kakinya untuk berjalan dan jika ia minta kepada-Ku pasti Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberi perlindungan kepadanya.”
(Bukhari)
19.

Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan ampunkan segala dosa yang telah terlanjur dan tidak Aku perdulikan lagi. Wahai anak Adam! Walaupun dosamu sampai setinggi langit kemudian meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh isi bumi tetapi engkau tidak sekutukan sesuatu yang lain dengan-Ku, niscaya Aku datang padamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”
(Tirmidzi)
20.

“Hai segenap manusia, sebarkanlah salam, sedekahkanlah makanan dan sambunglah tali persaudaraan (silahturrahmi) serta shalatlah di kala manusia tidur di kegelapan malam, niscaya kamu akan masuk surga dengan penuh kesejahteraan.”
(Tirmidzi)
21.

Dari Abu Hurairah berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw, bagaimana bangunan surga itu? Beliau menjawab, “Terbuat dari batu bata perak dan emas, sedang perekatnya adalah kesturi yang sangat wangi, bebatuannya dari mutiara dan permata yaqut, sedang debunya adalah za’faran (sejenis kunyit). Barangsiapa yang memasukinya, ia akan senang, tidak pernah susah dan akan kekal tidak pernah mati, pakaiannya tidak pernah kumal dan masa mudanya tidak pernah sirna.”
(Ahmad, Darami, Bazzaar, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
22.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memberi infaq kepada dua orang isteri di jalan Allah maka ia akan diseru di surga, ‘Hai Abdullah, ini adalah suatu kebajikan.’ Jika ia termasuk orang yang tekun shalat maka ia akan diseru dari Pintu Shalat. Apabila ia ahlul jihad maka akan diseru dari Pintu Jihad. Jika ia orang yang suka bersedekah maka ia akan dipanggil dari Pintu Sedekah. Begitu pula jika ia tergolong orang yang rajin shaum maka akan diseru dari Pintu Rayyaan.” Kemudian Abu Bakar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah seseorang diseru dari pintu-pintu ini karena darurat. Adakah seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu tersebut?” Rasulullah saw menjawab, “Ya dan aku berharap engkau salah satunya.”
(Muslim)
23.

Dari Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Pada hari kiamat aku datang mengetuk pintu surga. Kemudian penjaganya (malaikat) bertanya, ‘Siapakah engkau?’ ‘Muhammad’ jawabku. Lalu malaikat itu berkata, “Aku dilarang oleh Allah untuk membuka pintu surga ini kepada siapapun sebelum engkau.'”
(Muslim)
24.

Dari Abu Musa Al Asy’ari r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya perumpamaanku dengan apa yang kubawa dari Allah adalah laksana seorang lelaki yang mendatangi suatu kaum. Laki-laki tersebut berkata, ‘Aku melihat tentara dengan mataku. Dan sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang berterus-terang. Maka taatilah.’ Sekelompok kaum ada yang menaatinya dan mereka pergi sehingga mereka selamat. Sementara sekelompok yang lain diam di tempatnya sehingga diserang musuh dan hancur binasa. Kelompok yang pertama seperti orang yang menaati aku, sedangkan kelompok kedua seperti orang yang tidak menaatiku.”
(Muslim)
25.

“Barangsiapa yang mati tidak berperang dan tidak terlintas di hatinya untuk ikut berperang maka ia mati membawa sifat kemunafikan.”
(Muslim)
26.

Dari Usman bin ‘Affan r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang memasuki waktu shalat wajib kemudian ia berwudhu’ dengan sempurna dan shalat dengan khusyu’, sambil memelihara ruku’nya, melainkan akan terhapus dosa-dosanya yang telah lalu selama tidak melakukan dosa besar, hal itu berlaku sepanjang masa.”
(Muslim)
27.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Ketika Allah menciptakan makhluk, Ia menulis di buku (catatan) sementara di sisi-Nya di atas ‘Arasy-Nya, ‘Rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.'”
(Muttafaq ‘Alaih)
28.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya seorang mukmin mengetahui siksaan Allah, niscaya tidak seorang pun yang tamak terhadap surga-Nya. Dan seandainya seorang kafir mengetahui rahmat Allah, niscaya ia tidak putus asa dari surga-Nya.”
(Muslim)
29.

Dari Abu Barzah Al Aslamy r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Seorang hamba tidak bergeser dari tempatnya pada hari kiamat sehingga ditanya empat hal; Pertama, mengenai umurnya dihabiskan untuk apa; Kedua, mengenai ilmunya digunakan untuk apa; Ketiga, mengenai hartanya dipakai untuk apa dan dari mana asalnya; Keempat, mengenai tubuhnya yang sehat dimanfaatkan untuk apa.”
(Tirmidzi. Menurut beliau, hadits ini hasan)
30.

Dari Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Allah menyegerakan siksaannya di dunia. Dan jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Ia menangguhkannya sampai pada hari kiamat nanti.”
(Tirmidzi)
31.

“Barangsiapa yang diinginkan oleh Allah sebagai orang yang baik baik maka Ia memberikannya pemahaman dalam agama.”
(Bukhari – Muslim dan Ibnu Majah)
32.

“Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci Allah ialah yang paling sangat gigih dalam permusuhan.”
(Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan Nasai)
33.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan orang yang paling baik di antaramu ialah yang paling baik terhadap keluarganya.”
(Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan Nasai)
34.

Dari Mu’adz bin Jabal r.a. berkata: “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang satu amal yang memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka!” Rasulullah saw menjawab, ‘Engkau menanyakan kepadaku tentang perkara besar yang sebenarnya mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah untuk menjalankannya yaitu hendaklah engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, membayar zakat, shaum di bulan Ramadhan dan pergi haji ke Baitullah.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Tiadakah kau kuberitahu tentang pintu-pintu kebaikan? Shaum itu adalah perisai, sedekah memadamkan dosa atau kesalahan seperti air membunuh api dan shalat di tengah malam.’ Lalu Rasulullah saw membaca ayat betikut: ‘Lambung mereka renggang dari tempat tidurnya sedang mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap serta menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikamat) yang sedap dipandang mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.’ (As Sajdah 16-17). Lalu beliau bersabda, ‘Tidakkah kau kuberitahukan tentang pokok segala perkara, tiang dan puncaknya?’ Aku menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Maka beliau berkata, ‘Pokok segala perkara ialah Islam, tiangnya ialah shalat, puncaknya adalah jihad!’ ‘Tiadakah kau kuberitahu tentang penopang semuanya itu?’ tanya beliau lagi. “Ya,” jawabku. Maka Rasulullah memegang lidahnya sambil bersabda, ‘Peliharalah ini!’ Kemudian aku bertanya, “Wahai Nabiyullah, apakah kita akan disiksa karena pembicaraann kita?” Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Hai … ibumu kehilanganmu! Bukankah wajah (atau hidung) manusia disungkurkan ke api neraka, lantaran dosa-dosa dari tergelincirnya lidah-lidah mereka?'”
(Tirmidzi. Menurut beliau, hadits ini hasan shahih)
35.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku amal apa yang paling banyak mengandung harapan yang telah kau kerjakan dalam Islam. Aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di surga.” Bilal menjawab, “Aku tidak mengerjakan amalan yang istimewa, selain melakukan shalat setiap usai wudhu di siang dan di malam hari. Suatu shalat yang ditetapkan untuk aku lakukan.”
(Bukhari – Muslim)
36.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw maka tampillah Bilal untuk adzan.” Selesai Bilal adzan, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengucapkan kalimat ini dengan yakin, ia pasti masuk surga.”
(Bukhari – Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
37.

Dari Abu Said Al Khudri r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mendengar muadzin maka ikutilah apa yang diucapkannya.”
(Bukhari – Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
38.

Dari Rabi’ah bin Ka’ab r.a. berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah saw. Ketika aku membawakan air wudhu dan kebutuhan lainnya, beliau bertanya, ‘Tiadakah engkau bertanya kepadaku?’ Maka aku menjawab, ‘Aku meminta supaya aku menjadi temanmu di surga.’ Beliau bertanya lagi, ‘Tidak meminta yang lain?’ ‘Tidak,’ jawabku. Maka beliau bersabda, ‘Perbanyaklah sujud.'”
(Muslim)
39.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Amal manusia yang pertama kali dihisab ialah shalat.” Allah berfirman kepada malaikat – meskipun sebenarnya Dia telah mengetahui — “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau kurang?” Jika sempurna maka tulislah sempurna. Bila kurang, Allah berfirman, “Lihatlah shalat sunnahnya, bagaimana?” Bila si hamba rajin shalat sunnah saat di dunia maka Allah berfirman, “Tambahkanlah shalat fardhunya dengan shalat sunnahnya!” Kemudian malaikat melakukannya.
(Abu Daud)
40.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Seorang laki-laki pernah mengunjungi saudaranya di sebuah kampung. Maka Allah mengutus malaikat untuk memantaunya. Ketika ia lewat, malaikat bertanya, ‘Mau kemana kau?’ Ia menjawab, ‘Aku akan mengunjungi saudaraku di kampung ini.’ Malaikat bertanya, ‘Apakah karena ada kenikmatan yang akan kamu peroleh darinya (hasil bumi)?’ Ia menjawab, ‘Tidak, aku hanya mencintainya karena Allah.’ Lalu malaikat berkata, ‘Aku adalah utusan Allah untuk menyatakan kepadamu bahwa Allah
mencintaimu sebagaimana kau telah mencintaimu saudaramu karena Dia.'”
(Muslim)
41.

Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang masuk surga ingin kembali ke dunia dan dia tidak mempunyai sesuatu pun di dunia kecuali orang yang syahid. Ia mengharap dapat kembali ke dunia untuk berperang dan terbunuh sampai sepuluh kali karena kemuliaan yang ia peroleh.”
(Bukhari – Muslim dan Tirmidzi)
42.

Dari Ubadah bin Shamit r.a. beerkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, Maha Tunggal Ia, tidak ada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, sedang surga itu hak dan neraka itu hak maka Allah memasukkan ia ke surga sesuai dengan amalnya di dunia.” Ubadah menambahkan, “Masuk surga dari pintunya yang delapan sekehendaknya.”
(Bukhari – Muslim. Lafazhnya dari Bukhari)
43.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, kami berlayar di laut dan kami hanya membawa air sedikit, jika kami memakai air itu untuk berwudhu’ maka kami akan kehausan; bolehkah kami berwudhu’ dengan air laut?” Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci lagi menyucikan, bangkainya halal dimakan.”
(Riwayat lima ahli hadits, menurut Tirmidzi, hadits ini shahih)
44.

Rasulullah saw bersabda, “Cara mencuci bejana seorang dari kamu, apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.”
(Muslim)
45.

Rasulullah saw bersabda, “Tiap-tiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan bismillah maka pekerjaan itu kurang berkah.”
(Abu Daud)
46.

Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw suka mendahulukan anggota kanan ketika memakai sandal, bersisir, bersuci dan dalam segala halnya.”
(Bukhari – Muslim)
47.

Dari Busrah binti Shafwan, sesungguhnya Nabi saw berkata, “Laki-laki yang menyentuh zakarnya (kemaluannya) janganlah shalat sebelum ia berwudhu.”
(Riwayat lima ahli hadits, menurut Bukhari hadits ini paling sah dalam hal ini)
48.

Rasulullah saw berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy, “Apabila datang haidh itu, hendaklah engkau tinggalkan shalat dan apabila habis haidh itu, hendaklah engkau mandi dan shalat.”
(Bukhari)
49.

Dari ‘Atha bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Ada dua orang laki-laki dalam perjalanan, lalu datang waktu shalat sedangkan air tidak ada, lantas keduanya bertayammum dengan debu yang suci dan shalat, kemudian keduanya memperoleh air dan waktu shalat masih ada. Seorang diantara keduanya lantas berwudhu’ dan mengulang shalatnya dan yang lain tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah saw dan diterangkannyalah kejadian itu kepada Rasulullah saw. Beliau lalu berkata kepada orang yang tidak mengulang shalat, Benar engkau dan shalatmu sah” dan kepada orang yang mengulang shalat dengan berwudhu’ beliau berkata, “Bagimu ganjarannya dua kali lipat.”
(Nasa’i dan Abu Daud)
50.

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memberi makanan bagi orang yang puasa, maka ia mendapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang puasa itu, tidak kurang sedikit pun.”
(Tirmidzi)
51.

Dari Anas: Ditanyakan orang kepada Rasulullah saw, “Apakah sedekah yang lebih baik?” Rasulullah saw menjawab, “Sedekah yang paling baik ialah sedekah pada bulan Ramadhan.”
(Tirmidzi)
52.

Dari Abu Ayyub: Rasulullah saw berkata, “Barangsiapa puasa dalam bulan Ramadhan, kemudian ia puasa enam hari dalam bulan Syawal adalah seperti puasa sepanjang masa.”
(Muslim)
53.

Dari Abu Hurairah: Rasulullah saw telah berkata dalam pidato beliau, “Hai manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu mengerjakan ibadat haji maka hendaklah kamu kerjakan.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau diam tidak menjawab dan yang bertanya itu mendesak sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah saw berkata, “Kalau saya menjawab ‘ya’, sudah tentu menjadi wajib setiap tahun, sedangkan kamu tidak akan kuasa mengerjakannya, biarkanlah apa yang saya tinggalkan (artinya jangan ditanya karena boleh jadi jawabannya memberatkanmu).”
(Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
54.

Dari Ibnu ‘Abbas: Nabi saw telah berkata, “Hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu halangan yang akan merintanginya.”
(Ahmad)
55.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya segala amal ibadat hanya sah dengan niat.”
(Bukhari)
56.

Dari Ibnu ‘Umar: Nabi saw bersabda, “Tidak boleh bagi perempuan yang ihram memakai tutup kepala dan tidak boleh memakai sarung tangan.”
(Bukhari dan Ahmad)
57.

Dari Abu Hurairah: Bahwasanya Rasulullah saw pernah melewati suatu onggokan makanan yang akan dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba jari beliau di dalamnya meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu dan berkata, “Mengapakah ini?” Jawab yang mempunyai makanan, “Basah karena hujan ya Rasulullah.”Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau taruh di sebelah atas supaya dapat dilihat orang? Barangsiapa yang mengecoh maka ia bukan umatku.”
(Muslim)
58.

Dari Ibnu Mas’ud: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali.”
(Ibnu Majah)
59.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang ketika itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya yaitu Pemimpin yang adil; Pemuda yang rajin beribadat kepada Allah; Orang yang hatinya senantiasa terpaut kepada masjid; Dua orang yang berkasih sayang karena Allah, baik di waktu berkumpul maupun berpisah; Seorang lelaki yang diajak berbuat serong oleh wanita bangsawan yang cantik kemudian ia menolak dan berkata, ‘Saya takut kepada Allah’; Orang yang bersedekah dengan diam-diam; Orang yang senantiasa berdzikir (ingat) kepada Allah ketika sendirian kemudian mencucurkan air mata.”
(Bukhari – Muslim)
60.

Dari Usamah bin Zaid r.a. berkata: Rasulullah saw mengutus kami ke Huraqah pada suku Juhainah maka ketika kami sampai disana, pagi-pagi kami menyerbu. Tiba-tiba aku dan seorang Anshar bertemu dengan seorang dari mereka. Maka ketika kami telah mengepungnya, ia berkata, “LAA ILAAHA ILLALLAAH.” Maka sahabatku orang Anshar itu menyuruh aku menghentikan (tidak membunuhnya) tetapi aku terus saja menikam dengan tombakku sehingga matilah dia. Dan ketika kami telah kembali ke Madinah, berita itu telah sampai kepada Rasulullah saw maka beliau bertanya, “Hai Usamah, apakah engkau bunuh dia setelah ia mengucapkan ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH’?” Jawabku, “Ya Rasulullah, ia hanya akan menyelamatkan diri.” Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau bunuh dia setelah ia mengucapkan ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH’?” Maka Rasulullah saw mengulang-ulang kalimat itu, sehingga aku ingin andaikan aku baru masuk Islam pada hari itu.
(Bukhari – Muslim)
61.

Dalam riwayat lain: Rasulullah saw bertanya, “Apakah sesudah ia mengucapkan ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH’ masih juga engkau membunuhnya?” Jawabku, “Ya Rasulullah, ia berkata begitu mungkin hanya karena takut kepada senjataku.” Nabi saw bersabda, “Apakah sudah engkau belah dadanya sehingga engkau mengetahui dengan jelas, apakah ia berkata karena takut atau tidak.” Maka Rasulullah saw masih saja mengulang-ulang kalimat itu,sehingga aku ingin kiranya aku baru masuk Islam pada hari itu.
62.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Dapat dipastikan atas manusia bagiannya dari zina yang pasti mengenainya tanpa dapat dielakkan lagi. Dua mata zinanya adalah pandangan mata; Dua telinga zinanya adalah mendengarkan; Lidah zinanya adalah perkataan; Tangan zinanya adalah menampar; Kaki zinanya adalah melangkah; Hati zinanya adalah menyukai dan mengharapkan. Semua perzinaan itu, kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya.”
(Bukhari – Muslim)
63.

Umar bin al-Khaththab r.a. berkata: Saya memberikan kuda kepada seseorang dalam jihad fi sabilillah maka kuda itu disia-siakan oleh orang yang saya beri itu. Lalu saya bermaksud membelinya kembali dengan sangkaan bahwa ia akan menjualnya dengan harga murah. Maka saya bertanya kepada Nabi saw. Dijawab, “Jangan engkau membeli dan jangan engkau menarik kembali sedekahmu, meskipun ia memberikan kepadamu dengan harga satu dirham. Karena orang yang menarik kembali sedekahnya bagaikan orang yang menelan kembali muntahnya.”
(Bukhari – Muslim)
64.

Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah olehmu buruk sangka karena buruk sangka sedusta-dusta berita.”
(Bukhari – Muslim)
65.

Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menawar barang hanya untuk menjerumuskan orang lain.”
(Bukhari – Muslim)
66.

Abu Ayyub r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihalalkan bagi seorang Muslim memboikot (memusuhi) saudaranya sesama Muslim lebih dari tiga hari. Keduanya berpapasan lalu yang satu berpaling dan yang lain berpaling.Dan sebaik-baik keduanya ialah yang lebih dahulu memberi salam.”
(Bukhari – Muslim)
67.

Abu Sa’id (Tsabit) bin adh-Dhahhak al-Anshari r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan sesuatu agama selain Islam, padahal ia sengaja berdusta maka ia tercatat sebagaimana yang dikatakannya itu. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu (alat) maka ia akan disiksa dengan alat itu pula pada hari kiamat. Dan tidak wajib atas seseorang melaksanakan nadzar terhadap apa yang tidak dimilikinya. Dan melaknat seorang Mu’min sama artinya dengan membunuhnya.”
(Bukhari – Muslim) Maksud hadits ini ialah apabila seseorang berkata, “Demi Allah, jika saya berdusta maka saya kafir,” padahal ia sengaja berdusta maka Allah akan mencatatnya seperti apa yang dikatakannya itu.
68.

Anas r.a. berkata: Suatu hari Rasulullah saw berkhutbah. Belum pernah aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah seperti itu. Maka diantaranya Rasulullah saw bersabda, “Andaikan kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu sedikit tertawa dan banyak menangis.” Seketika itu aku melihat sahabat-sahabat Nabi saw menutup mukanya masing-masing sambil menangis terisak-isak.
(Bukhari – Muslim)
Dalam riwayat lain: Ketika Rasulullah saw mendengar suatu hal mengenai sahabat- sahabatnya maka Rasulullah saw segera berkhutbah memberi nasehat. Dalam khutbah itu Rasulullah saw bersabda, “Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, hingga aku merasa belum pernah melihat seperti hari ini tentang kebaikan dan kejahatan. Andaikan kamu mengetahui apa yang aku ketahui, pasti kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis. Maka tidak pernah terjadi pada masa sahabat-sahabat Nabi saw sebagaimana hari itu, mereka menutup muka sambil terisak-isak.
69.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Akan berpeluh manusia di hari kiamat hingga mengalir peluh mereka sampai tujuh puluh hasta dan tenggelam mereka dalam peluhnya sendiri hingga ke mulut dan telinga mereka.”
(Bukhari – Muslim)
70.

Dari Adiy bin Hatim r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tiadalah seseorang dari kamu melainkan akan berhadapan dan ditanya oleh Tuhan tanpa ada antaranya dengan Tuhan seorang juru bahasa. Maka ia melihat ke sebelah kanannya tiada sesuatu pun kecuali amal perbuatannya yang baik-baik dan ia melihat ke sebelah kiri juga tidak melihat sesuatu pun kecuali amal perbuatannya yang buruk dan ia melihat ke depannya maka tidak terlihat kecuali api yang di hadapannya. Maka jagalah dirimu dari api neraka walau dengan bersedekah separuh biji kurma.”
(Bukhari – Muslim)
71.

‘Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Manusia akan dihimpun pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan masih kulup (belum berkhitan).” ‘Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah lelaki dan perempuan akan berkumpul dan masing-masing akan melihat kepada yang lainnya?” Nabi saw menjawab, “‘Aisyah, suasana pada hari itu jauh lebih berat dari sekadar sebagiannya mereka memperhatikan sebagian yang lain.”
(Bukhari – Muslim)
72.

Mu’adz bin Jabal r.a. berkata: Ketika aku membonceng dibelakang Rasulullah saw di atas himar, tiba-tiba beliau bertanya, “Hai Mu’adz, tahukah engkau, apakah hak Allah yang diwajibkan atas hamba? Dan apakah hak hamba yang akan diberikan oleh Allah?” Jawab Mu’adz, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka Nabi saw bersabda, “Hak Allah yang diwajibkan atas hamba adalah menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan hak hamba yang akan diberikan Allah adalah tidak akan menyiksa orang yang tidak
menyekutukan-Nya.” Saya bertanya, “Bolehkah aku kabarkan yang demikian itu kepada orang banyak?” Jawab Nabi saw, “Jangan, nanti mereka tidak mau berusaha.”
73.

Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam qubah, kurang lebih empat puluh orang maka Nabi saw bersabda, “Sukakah kamu jika kamu menjadi seperempat dari ahli surga?” Jawab kami, “Ya.” Bersabda Nabi saw, “Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, aku mengharap semoga kamu menjadi separuh dari penduduk surga. Yang demikian itu karena surga itu tidak dimasuki kecuali oleh orang Muslim, sedangkan kamu di tengah-tengah ahli syirik bagaikan rambut putih di badan lembu hitam atau rambut hitam di kulit lembu merah.”
(Bukhari – Muslim)
74.

Dari ‘Amr bin ‘Auf r.a. berkata: Rasulullah mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah r.a. ke Bahrain untuk menagih pajak penduduk. Kemudian ia kembali dari Bahrain dengan membawa harta yang sangat banyak dan kedatangan kembali Abu ‘Ubaidah itu terdengar oleh sahabat Anshar maka mereka pun shalat Shubuh bersama Rasulullah saw. Kemudian setelah selesai shalat mereka menghadap Rasulullah saw maka beliau tersenyum melihat mereka kemudian bersabda, “Mungkin kamu telah mendengar kedatangan Abu ‘Ubaidah yang membawa harta banyak?” Jawab mereka, “Benar, ya Rasulullah.” Lalu Nabi saw bersabda, “Sambutlah kabar baik dan tetaplah berpengharapan baik untuk mencapai semua cita-citamu. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kamu, tetapi aku khawatir kalau terhampar luas dunia ini bagimu, sebagaimana telah terhampar untuk orang-orang yang sebelum kamu, kemudian kamu berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, sehingga membinasakan kamu sebagaimana telah membinasakan mereka.”
(Bukhari – Muslim)
75.

Dari ‘Utban bin Malik r.a. berkata: Ketika Nabi saw selesai shalat bertanya, “Dimanakah Malik bin al-Dakhsyum?” Dijawab oleh seseorang, “Dia itu munafik, tidak suka Allah dan Rasulullah.” Maka Nabi saw bersabda, “Jangan berkata demikian, tidakkah engkau tahu bahwa ia telah mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH dengan ikhlas karena Allah? Dan Allah telah mengharamkan api neraka kepada siapa yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH dengan ikhlas karena Allah.”
(Bukhari – Muslim)
76.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Berlindunglah kamu kepada Allah dari beratnya bala’, menimpanya kesukaran, keburukan takdir dan cemoohan musuh.”
(Bukhari – Muslim)
77.

Dari Sahl bin Sa’ad r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda kepada Ali r.a., “Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seseorang karena ajaranmu maka yang demikian itu bagimu lebih baik dari kekayaan binatang ternak yang merah-merah.”
(Bukhari – Muslim)
78.

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu pengetahuan dari seorang hamba begitu saja, tetapi akan mencabutnya dengan matinya orang-orang alim, hingga apabila telah habis orang-orang alim maka orang banyak akan mengangkat orang-orang yang bodoh untuk menjadi pemimpin mereka. Lalu jika mereka ditanya, mereka akan memberikan fatwa tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka mereka itu sesat dan menyesatkan.”
(Bukhari – Muslim)
79.

Dari ‘Aisyah r.a. berkata kepada ‘Urwah, “Demi Allah, hai kemenakanku, kami keluarga Nabi saw adakalanya melihat bulan berganti tiga kali dalam dua bulan, sedangkan di rumah-rumah Rasulullah saw tidak dinyalakan api.” ‘Urwah bertanya, “Apa makananmu?” ‘Aisyah menjawab, “Kurma dan air. Hanya saja adakalanya tetangga Rasulullah saw mengirim hadiah susu ternak mereka.”
(Bukhari – Muslim)
80.

Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata: Suatu hari ‘Aisyah r.a. mengeluarkan kain dan sarung yang tebal, ditunjukkan kepada kami sambil berkata, “Rasulullah saw ketika meninggal dunia sedang memakai sarung dan kain ini.”
(Bukhari – Muslim)
81.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling meminta-minta kepada orang banyak sehingga tertolak dari satu dua suap makanan atau satu dua biji kurma, tetapi orang miskin yang sesungguhnya dan yang dikehendaki oleh Islam untuk dibantu ialah orang yang tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi dan yang tidak diingat orang untuk disedekahi serta tidak suka pergi meminta-minta kepada orang lain.”
(Bukhari – Muslim)
82.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sungguh, sekiranya salah seorang dari kamu itu pergi mencari kayu dan dipikul di atas pundaknya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau ditolak.”
(Bukhari – Muslim)
83.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Setiap hamba Allah melewati waktu paginya, tentu ada dua malaikat yang turun berdoa. Yang satu berdoa, “Ya Allah, berilah ganti (balasan yang berlipat) kepada orang yang suka memberi (dermawan).” Malaikat yang kedua berdoa, “Ya Allah, berilah kepada orang yang kikir itu kehancuran dan kemusnahan pada hartanya.”
(Bukhari – Muslim)
84.

Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Tidak boleh seorang menginginkan hak orang lain kecuali dua macam yaitu seseorang yang diberi kekayaan harta oleh Allah lalu digunakannya semata-mata untuk memperjuangkan kebenaran dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah
lalu digunakan dan diajarkan kepada manusia.”
(Bukhari – Muslim)
85.

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak boleh seseorang iri terhadap orang lain kecuali dalam dua hal yaitu seseorang yang diberi pengertian Al Qur’an lalu ia mempergunakannya sebagai pedoman amalnya siang-malam dan seseorang yang diberi oleh Allah kekayaan harta lalu ia membelanjakannya siang-malam untuk segala amal kebaikan.”
(Bukhari – Muslim)
86.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Sesungguhnya para fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala, tingkat-tingkat yang tinggi dan kesenangan yang abadi.” Nabi saw bertanya, “Mengapakah demikian?” Mereka menjawab, “Mereka shalat sebagaimana kami, puasa sebagaimana kami, mereka bersedekah sedangkan kami tidak bersedekah dan mereka memerdekakan budak sedangkan kami tidak dapat memerdekakan budak.” Rasulullah saw bersabda, “Sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorangpun yang lebih utama dari kamu, kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?” Mereka menjawab, “Baiklah, ya Rasulullah.” Nabi saw bersabda, “Membaca tasbih (SUBHAANALLAAH), takbir (ALLAAHU AKBAR) dan tahmid (ALHAMDULILLAAH) setiap selesai shalat 33 kali.” Kemudian sesudah itu para fakir miskin itu kembali mengeluh kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, saudara-saudara kami, orang-orang kaya mendengar perbuatan kami maka mereka berbuat sebagaimana perbuatan kami.” Maka Nabi saw bersabda, “Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
(Bukhari – Muslim)
87.

Dari Ash-Sha’ab bin Jatstsamah r.a. berkata: Saya memberi hadiah himar liar kepada Rasulullah saw, tiba-tiba ditolak dan ketika Nabi saw melihat wajahku berubah (karena merasa kecewa), beliau bersabda, “Kami tidak menolak pemberianmu itu melainkan karena kami sedang melakukan ihram (Orang yang sedang berihram dilarang memburu dan menangkap binatang liar).”
(Bukhari – Muslim)
88.

Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw datang dari bepergian sedang beranda rumah kututup dengan tabir yang bergambar patung maka ketika Rasulullah saw melihatnya, beliau merobek-robeknya seraya berkata, “Manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang menyerupakan ciptaan Allah.”
(Bukhari – Muslim)
89.

Dari ‘Aisyah r.a. berkata, “Belum pernah aku melihat Rasulullah saw tertawa sehingga terlihat langit-langit mulutnya tetapi beliau selalu tersenyum.”
(Bukhari – Muslim)
90.

Dari Abu Umar r.a. berkata, “Rasulullah saw biasa jika keluar dari jalan asy-Syajarah dan jika kembali dari jalan al-Mu’arris. Dan jika masuk Makkah dari jalan ats-Tsaniyatul ‘Ulya dan jika keluar dari ats-Tsaniyatus-sufla.”
(Bukhari – Muslim)
91.

Dari Abu Mas’ud (Uqbah) bin ‘Amr al-Badri r.a. berkata: Seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Saya terpaksa mundur dari shalat jama’ah Shubuh karena Fulan (Imam) memanjangkan bacaannya.” Berkata Uqbah, “Maka saya tidak pernah melihat Nabi saw marah dalam suatu nasihat sebagaimana waktu itu.” Nabi saw bersabda, “Hai sekalian manusia, seseungguhnya diantaramu ada orang-orang yang membenci orang lain. Maka barangsiapa diantaramu mengimami orang banyak, hendaklah ia meringkas (bacaan suratnya) karena di belakangnya ada orang yang sudah lanjut usia, orang yang lemah dan orang yang mempunyai kepentingan.”
(Bukhari – Muslim)
92.

Dari Abu Ya’la (Ma’qil) bin Yasar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tiadalah seseorang yang diamanati oleh Allah untuk memimpin rakyatnya kemudian ketika mati, ia masih menipu rakyatnya melainkan pasti Allah mengharamkan surga baginya.”
(Bukhari – Muslim)
93.

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Seorang Muslim wajib mendengar dan taat kepada pemerintahnya pada apa yang disetujui dan yang tidak disetujui, kecuali jika diperintah bermaksiat. Maka apabila disuruh bermaksiat, ia tidak wajib mendengar dan tidak wajib taat.”
(Bukhari – Muslim)
94.

Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata: Aku bersama dua orang sepupuku masuk kepada Rasulullah saw, maka salah seorang dari sepupuku berkata, “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu.” Sepupuku yang kedua juga berkata demikian, maka Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau orang yang berambisi pada jabatan itu.”
(Bukhari – Muslim)
95.

Dari Abu Sa’id (Abdurrahman) bin Samurah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda kepadaku, “Ya Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut kedudukan dalam pemerintahan karena jika engkau diserahi jabatan tanpa meminta, maka engkau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya. Tetapi jika jabatan itu engkau peroleh karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan jika engkau telah bersumpah atas sesuatu perkara kemudian engkau dapatkan perkara lainnya yang lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakanlah apa yang lebih baik itu.”
(Bukhari – Muslim)
96.

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw melewati seseorang yang sedang menasihati saudaranya karena pemalu, maka Nabi saw bersabda, “Biarkanlah ia karena sesungguhnya sifat malu itu sebagian dari Iman.”
(Bukhari – Muslim)
97.

Dari Abu Wa’il (Syaqiq) bin Salamah berkata: Biasanya Ibnu Mas’ud r.a. memberi ceramah kepada kami setiap hari kamis, maka seseorang berkata kepadanya, “Hai Abu Abdurrahman, aku ingin agar engkau suka memberi ceramah setiap hari.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Tiada halangan bagiku untuk memberi ceramah setiap hari, hanya saja aku khawatir akan menjemukan kamu. Dan aku sengaja memberi ceramah dalam waktu yang jarang, sebagaimana Rasulullah saw pernah memberi ceramah kepada kami, khawatir akan membuatmu jemu dari nasehat.”
(Bukhari – Muslim)
98.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Apabila bersandal salah seorang kamu, hendaklah ia mendahulukan kaki yang kanan dan jika melepas, hendaklah ia mendahulukan kaki yang kiri. Hendaklah yang kanan lebih dahulu disandali dan yang terakhir dilepaskan.”
(Bukhari – Muslim)
99.

Dari ‘Amr bin Salamah r.a. berkata: Rasulullah saw mengajarkan kepadaku, “Bacalah BISMILLAH dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari yang dekat-dekat kepadamu.”
(Bukhari – Muslim)
100.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Selamanya Rasulullah saw tidak pernah mencela makanan, maka jika beliau suka, dimakannya dan jika beliau tidak suka, ditinggalkannya makanan itu.”
(Bukhari – Muslim)
101.

Dari Hudzaifah r.a. berkata: Rasulullah saw melarang kami dari pakaian sutera yang halus atau tebal dan minum dari bejana emas atau perak lalu beliau bersabda, “Itu semua untuk orang-orang kafir di dunia dan untuk kamu di akhirat.”
(Bukhari – Muslim)
102.

Dari Ummu Salamah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Orang yang minum dari bejana perak seolah-olah menuangkan ke dalam perutnya api neraka jahannam.”
(Bukhari – Muslim)
***
Dalam riwayat Muslim: Sesungguhnya orang-orang yang makan dalam bejana perak atau emas atau yang minum dalam bejana perak atau emas, seolah- olah menuangkan ke dalam perutnya api neraka jahannam.
103.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Segerakanlah pemakaman jenazah, maka jika ia jenazah orang shaleh, berarti kamu menyegerakan ia kepada kebaikan dan jika sebaliknya, berarti kamu telah melepaskan kejahatan dengan segera dari bahumu (pundakmu).”
(Bukhari – Muslim)
104.

Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Ketika istri-istri Rasulullah saw sedang berkerumun di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang Siti Fatimah yang jalannya cepat seperti jalannya Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw melihat kepadanya, maka dia disambut dengan ucapan, “Selamat datang anakku,” kemudian ia didudukkan di sebelah kanan atau kirinya, lalu dibisikkan kepadanya. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu dan ketika Rasulullah saw melihat tangisnya, beliau berbisik kembali kepadanya, lalu tertawalah Fatimah. Maka aku berkata, “Rasulullah saw mengistimewakan dengan rahasia-rahasia atas Fatimah lebih dari istri-istrinya.” Maka menagislah aku dan ketika Rasulullah saw telah pergi dari tempat itu, aku bertanya kepada Fatimah, “Apa yang dikatakan Rasulullah saw tadi kepadamu?” Fatimah menjawab, “Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah saw.” Kemudian setelah Rasulullah saw meninggal, aku berkata, “Sungguh aku ingin mendapat keterangan tentang apa yang dibisikkan oleh Rasulullah saw kepadamu itu.” Fatimah menjawab, “Kini baiklah. Pada bisikan pertama Nabi saw memberitahukan bahwa Jibril biasa mengulangi padanya bacaan al-Qur’an setiap tahun satu kali dan kini dia mengulanginya sampai dua kali, ‘Aku merasa bahwa ajalku sudah dekat, maka bertakwalah kamu kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahului kamu,’ karena itu aku menangis. Kemudian ketika beliau melihat aku sangat sedih, beliau membisikkan kepadaku untuk kedua kalinya, ‘Hai Fatimah, tidak puaskah engkau sebagai wanita yang utama bagi sekalian Mu’min atau wanita yang utama dari sekalian umat ini? Maka tertawalah aku karenanya.”
(Bukhari – Muslim)
105.

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menurunkan kainnya dibawah mata kaki karena sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya dengan pandangan rahmat pada hari kiamat.” Maka Abubakar r.a. bertanya, “Ya Rasulullah, kainku selalu turun kebawah mata kaki, kecuali jika kujaga benar-benar.” Nabi saw bersabda, “Engkau tidak berbuat itu karena sombong.”
(Bukhari – Muslim)
106.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Allah tidak akan melihat dengan pandangan rahmat pada hari kiamat kepada siapa yang memakai (menurunkan) kainnya karena sombong.”
(Bukhari – Muslim)
107.

Dari Anas r.a berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memakai kain sutera di dunia, maka tidak akan memakainya di akhirat.”
(Bukhari – Muslim)
108.

Dari Umar bin al-Khaththab r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Janganlah engkau memakai kain sutera, maka barangsiapa memakainya di dunia, tidak akan memakainya di akhirat.”
(Bukhari – Muslim)
109.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menghadiri jenazah hingga menshalatkannya, maka ia akan mendapat pahala satu qirath dan barangsiapa menghadirinya hingga dimakamkan, maka ia akan mendapat pahala dua qirath.” Ketika ditanya, “Aapakah dua qirath itu?” Nabi saw menjawab, “Sebesar dua bukit yang besar-besar.”
(Bukhari – Muslim)
110.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, Bagaimanakah pendapatmu seumpama ada sebuah sungai di muka pintu salah seorang dari kamu, lalu ia mandi daripadanya setiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Nabi saw bersabda, “Maka demikianlah shalat lima waktu, Allah akan menghapuskan dosa-dosa dengannya.”
(Bukhari – Muslim)
111.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Kekasihku Rasulullah saw pernah berpesan kepadaku supaya berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur.”
(Bukhari – Muslim)
112.

Dari Abu Musa r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepadaku bagaikan hujan yang turun ke tanah, maka ada sebagian tanah yang subur, yang dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang banyak sekali. Dan adapula tanah yang keras menahan air, hingga berguna untuk minuman dan penyiraman kebun tanaman. Dan ada sebagian tanah yang keras kering tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah dan mempergunakan apa yang diberikan Allah kepadaku, lalu mengajarkannya dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang telah ditugaskan kepadaku.”
(Bukhari – Muslim)
113.

Abu Sa’id al-Khudri r.a. mendengar Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang kamu melihat mimpi yang disukai, maka itu dari Allah dan hendaklah diceritakannya kepada orang lain.”Dalam riwayat lain: “Jangan diberitakan kecuali kepada orang yang engkau sukai. Dan jika mimpi yang menakutkan, maka itu dari setan dan hendaklah ia berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak menceritakannya kepada orang lain, maka tidak akan berbahaya baginya.
(Bukhari – Muslim)
114.

Dari Abu Qatadah r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Impian yang baik dari Allah dan impian yang buruk dari syetan. Maka barangsiapa bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia meludah ke sebelah kiri tiga kali dan membaca A’UDZU BILLAAHI MINASY SYATHAANIR RAJIIM tiga kali, maka tidak akan membahayakannya.”
(Bukhari – Muslim)
115.

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah seorang kamu membangunkan temannya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk padanya. Tetapi hendaklah kamu memperluas (merenggangkan) untuk memberi tempat.” Adalah Ibnu Umar dalam mempraktekkan hadits ini, jika seseorang bangun dari majelisnya, ia tidak suka duduk pada tempat orang itu.
(Bukhari – Muslim)
116.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk dan rombongan yang sedikit memberi salam kepada rombongan yang banyak.”
(Bukhari – Muslim)
117.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata: Nabi saw bersabda, “Jangan menyendiri seorang lelaki dengan perempuan melainkan harus ada mahram yang menyertainya. Dan jangan berpergian seorang perempuan melainkan bersama mahramnya.” Maka ada seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, istriku pergi berhaji sedangkan aku telah tercatat untuk pergi berperang.” Maka Nabi saw bersabda, “Pergilah engkau berhaji bersama istrimu.”
(Bukhari – Muslim)
118.

Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan orang Mukmin yang membaca al-Qur’an adalah bagaikan buah jeruk; baunya harum dan rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak dapat membaca al-Qur’an adalah bagaikan kurma; rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah bagaikan bunga yang berbau harum dan rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an adalah bagaikan buah hanzhal yang tidak berbau dan rasanya pahit.”
119.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya umatku pada hari kiamat nanti akan dipanggil dalam keadaan putih cemerlang muka, tangan dan kakinya dari bekas-bekas wudhu”. Maka barangsiapa ingin memperpanjang kecermelangannya itu, hendaklah ia melakukannya.
(Bukhari – Muslim)
120.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Andaikan manusia benar-benar mengetahui keutamaan shaf pertama dan menyambut adzan kemudian untuk mendapatkan shaf pertama mereka harus berundi, niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya. Dan andaikan mereka mengetahui keutamaan mendatangi shalat berjamaah pada waktu yang awal, niscaya mereka akan berlomba-lomba untuk mendahuluinya. Dan andaikan mereka mengetahui keutamaan shalat shubuh dan ‘isya berjamaah, pasti mereka akan mendatanginya,
meskipun dengan merangkak-rangkak.”
121.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Apabila telah diserukan adzan untuk shalat maka berlari mundurlah setan sambil terkentut-kentut, hingga tidak terdengar olehnya suara adzan itu. Apabila adzan telah selesai, ia pun datang kembali. Kemudian ia mengganggu hati orang yang shalat, seraya berkata, ‘Ingatlah ini dan ingatlah itu.’ Padahal yang demikian itu tidak pernah diingatnya sebelum shalat. Sehingga orang yang shalat itu tidak tahu lagi, sudah berapa rakaatkah shalat yang dikerjakannya itu.”
(Bukhari – Muslim)
122.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Shalat seseorang dengan berjamaah itu dilipatgandakan (pahalanya) atas shalatnya yang dilakukan di rumah atau di pasarnya dengan kelipatan dua puluh lima kali. Yang demikian itu karena apabila ia menyempurnakan wudhu’nya dengan maksud untuk shalat (berjamaah), maka tiadalah ia melangkahkan kakinya selangkah melainkan terangkat untuknya satu derajat dan dihapuskan daripadanya satu kesalahannya. Lalu apabila ia melakukan shalat, maka senantiasalah Malaikat mendoakan atasnya, selama ia masih tetap berada di tempat shalatnya. (Doa Malaikat itu adalah), ‘Ya Allah, belas kasihanilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Dan senantiasalah salah seorang kamu dianggap berada dalam shalat, selama ia menantikan shalat (berjamaah).”
(Bukhari – Muslim)
123.

Zaid bin Tsabit r.a. berkata: Bersabda Nabi saw, “Hai sekalian manusia, shalatlah di rumah, maka sesungguhnya seutama-utama shalat seseorang itu adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”
(Bukhari – Muslim)
124.

Ibnu Umar r.a. berkata: Bersabda Nabi saw, “Jadikan penghabisan (akhir) shalatmu pada waktu malam dengan shalat witir.”
(Bukhari – Muslim)
125.

Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bangun malam pada bulan Ramadhan dan mengerjakan shalat malam karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah maka diampuni semua dosanya yang telah lalu.”
(Bukhari – Muslim)
126.

Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Andai aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya kuwajibkan mereka bersiwak (gosok gigi) pada tiap-tiap shalat.”
(Bukhari – Muslim)
127.

Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Nabi saw, “Lima macam dari fitrah (kelakuan yang tetap dari sunat para Nabi) yaitu khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur kumis.”
(Bukhari – Muslim)
128.

Ibnu Umar r.a. berkata: Bersabda Nabi saw, “Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.”
(Bukhari – Muslim)
129.

Dari Jabir bin Samurah r.a. berkata: “Penduduk Kufah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. kepada Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab r.a. sehingga Umar pun memecatnya dan digantikan oleh Ammar bin Yasir r.a. Begitu berat pengaduan mereka, hingga mereka mengadukan bahwa engkau tidak bisa shalat dengan sempurna.” Jawab Sa’ad, “Adapun aku, demi Allah, memimpin mereka dalam shalat sebagaimana shalat Rasulullah saw tidak mengurangi sedikit pun daripadanya. Yaitu memanjangkan dua rakaat pertama dan memendekkan dua rakaat terakhir.” Berkata Umar, “Aku kira engkau memang demikian adanya, ya Abu Ishaq.” Kemudian Umar mengirim Sa’ad ke Kufah bersama beberapa orang untuk menanyakan langsung kepada rakyat di sana tentang dirinya. Setiap masjid didatangi dan kepada jamaah yang ada di situ langsung ditanyakan tentang Sa’ad. Maka mereka pun menjawab dengan jujur, terus terang dan mereka semua memuji kebaikan Sa’ad kecuali ketika mereka masuk di masjid bani ‘Abs, maka ketika ditanyakan tentang Sa’ad ada seorang lelaki bernama Usamah bin Qatadah yang bergelar Abu Sa’adah menjawab, “Jika engkau bertanya tentang Sa’ad maka ia adalah orang yang tidak suka keluar
memimpin pasukan perang, kalau membagi tidak pernah rata dan kalau menghukum tidak adil.” Mendengar jawaban seperti itu, Sa’ad menyerahkan urusannya kepada Allah dan berkata, “Ingat, saya hendak berdoa tiga macam yaitu ‘Ya Allah, jika hamba-Mu ini berdusta (yakni Abu Sa’adah), hanya bermaksud mencari muka dan nama, maka panjangkanlah umurnya, jadikan ia miskin sampai tua dan hadapkan ia kepada berbagai fitnah.'” Ternyata doa Sa’ad dikabulkan oleh Allah, sehingga ketika orang itu telah lanjut usia, selalu saja bila orang bertanya tentangnya maka dijawab, “Orang yang telah terkena bala’ oleh doa Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.”
(Bukhari – Muslim)
130.

Abdul Malik bin Umar yang meriwayatkan hadits ini dari Jabir bin Samurah berkata, “Saya sendiri melihat orang itu telah demikian tuanya, sehingga alisnya hampir menutupi matanya. Tetapi ia selalu duduk- duduk di tepi jalan mengganggu gadis-gadis yang lewat.”
131.

Dari Abu Waqid (al-Harits) bin ‘Auf r.a. berkata: Ketika Rasulullah saw duduk di masjid, sedang orang banyak (para sahabat) duduk pula bersama beliau, tiba-tiba datang tiga orang lelaki. Maka dua orang diantara mereka menghadap Rasulullah saw, sedang yang seorang lagi terus pergi. Kemudian kedua orang itu berhenti di hadapan Rasulullah saw. Lalu salah seorang dari keduanya melihat tempat kosong pada majelis itu, kemudian duduk padanya. Sedang yang seorang lagi duduk di belakang mereka. Adapun orang yang ketiga maka ia berpaling dan terus pergi. Ketika Rasulullah saw telah selesai menyampaikan ajarannya, berliau bersabda, “Sukakah aku beritahukan kepadamu
tentang ketiga orang itu? Adapun salah seorang dari mereka, maka ia bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah pun mendekatinya. Yang seorang lagi merasa malu (untuk berdesak-desakkan) maka Allah pun malu (untuk menyiksanya). Sedang orang yang ketiga berpaling, maka Allah pun berpaling dari padanya (tidak memberikan rahmat-Nya).”
(Bukhari – Muslim)
132.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Ada seseorang yang biasa menghutangkan kepada orang-orang, maka jika ia menyuruh menagih kepada pesuruhnya, ia selalu berpesan, ‘Jika kamu mendapati orang itu masih belum dapat membayar, maka maafkanlah dia, semoga Allah memaafkan kami kelak.’ Maka ketika ia berhadapan dengan Allah, Allah memaafkannya.”
(Bukhari – Muslim)
133.

Dari Abu Waqid (al-Harits) bin ‘Auf r.a. berkata: Ketika Rasulullah saw duduk di masjid, sedang orang banyak (para sahabat) duduk pula bersama beliau, tiba-tiba datang tiga orang lelaki. Maka dua orang diantara mereka menghadap Rasulullah saw, sedang yang seorang lagi terus pergi. Kemudian kedua orang itu berhenti di hadapan Rasulullah saw. Lalu salah seorang dari keduanya melihat tempat kosong pada majelis itu, kemudian duduk padanya. Sedang yang seorang lagi duduk di belakang mereka. Adapun orang yang ketiga maka ia berpaling dan terus pergi. Ketika Rasulullah saw telah selesai menyampaikan ajarannya, berliau bersabda, “Sukakah aku beritahukan kepadamu tentang ketiga orang itu? Adapun salah seorang dari mereka, maka ia bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah pun mendekatinya. Yang seorang lagi merasa malu (untuk berdesak-desakkan) maka Allah pun malu (untuk menyiksanya). Sedang orang yang ketiga berpaling, maka Allah pun berpaling dari padanya (tidak memberikan rahmat-Nya).”
(Bukhari – Muslim)

http://addhiyaullami.com/index.php?option=com_content&view=article&id=47:kumpulan-beberapa-hadits-shahih&catid=31:hadits&Itemid=46

SIFAT DUA PULUH – سبحانه و تعالى‎ الله‎ ( 2 ) sifat wajib.


Sifat Dua Puluh

.

Majelis Rasulullah

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Kasih sayang dan Rahmat Nya swt semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan,

Saudaraku yg kumuliakan,
1. tentunya ada kelebihan dan kekurangannya, namun jumhur ulama kita merujuk pada fatwanya, hal ini tak akan terjadi jika fatwa beliau masih banyak kekurangannya, hal ini terjadi tentunya karena tsiqah dan terpercayanya fatwa fatwa beliau hingga diakui oleh para Imam kita.

2. banyak saudaraku, namun Imam imam kita lebih merujuk pada Imam Asy’ariy.

3. cukup jika ia memahami dg seksama, karena tauhid tak perlu diperluas, ia adalah Iman dan bukan syarah dan dalil.
pernah seorang Imam besar yg dikenal dapat mengeluarkan 1000 ayat Alqur’an yg membuktikan keberadaan Allah, maka ketika ia lewat bersama murid muridnya ada seorang nenek tua yg sedang menyapu jalan, orang orang memerintahkannya minggir, maka ibu itu berkata : “engkaukah yg mampu mengeluarkan dalil keberadaan Allah dg 1000 ayat dari Alqur’an?”, maka Imam itu berkata : “Betul”, maka ibu itu berkata lagi : “apakah keberadaan Allah butuh dalil..?”, maka Imam itu tertunduk malu seraya menangis.., ia malu akan dirinya sendiri..

sebenarnya keberadaan Allah swt tak butuh dalil

karena Dialah Allah Yang Maha Ada, Dialah yg paling berhak untuk tidak diingkari, Dialah yg paling berhak dipercaya, dalil adalah bagi yg tak dipercaya, dalil adalah untuk yg diingkari, dan Allah Maha Suci dari itu semua.

hanya kalangan wahabi saja yg memperpanjang masalah tauhid, karena jiwa mereka mengingkari, merreka butuh setumpuk dalil aqli dan naqli untuk beriman pada Allah,

beda dengan kita dan para sahabat Nabi saw, yg beriman kepada Allah swt tanpa perlu setumpuk dalil Aqli dan Naqli, dan Rasul saw pun tak menumpukkan seratus dalil tentang keberadaan Allah, beliau menyingkat makna makna tauhid, lalu mereka bersyahadat maka sah lah keislamannya.

4. tidak saudaraku, itu sudah cukup, namun untuk memperjelas maka boleh sedikit diperluas dg mempelajari sifat dua puluh, dan boleh saja dipelajari, jika tidak pun tauhid kita tetap sah.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

Wallahu a’lam

http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&catid=7&id=16084

.

Wajib bagi setiap mukallaf dan muslim mempercayai bahwa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah. Maka, wajib juga dipercayai akan sifat Allah yang dua puluh dan perlu diketahui juga sifat yang mustahil bagi Allah. Sifat yang mustahil bagi Allah merupakan lawan kepada sifat wajib.

Sifat wajib pula terbahagi juga empat bagian iaitu nafsiah, salbiah, ma’ani atau ma’nawiah.

Sifat Wajib

Tulisan Arab

Maksud

Sifat

Sifat Mustahil

Tulisan Arab

Maksud

Wujud

ﻭﺟﻮﺩ

Ada Nafsiah Adam

ﻋﺪﻡ

Tiada
Qidam

ﻗﺪﻡ

Sedia Salbiah Haduth

ﺣﺪﻭﺙ

Baharu
Baqa

ﺑﻘﺎﺀ

Kekal Salbiah Fana

ﻓﻨﺎﺀ

Akan binasa
Mukhalafatuhu lilhawadith

ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ

Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu Salbiah Mumathalatuhu lilhawadith

ﻣﻤﺎﺛﻠﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ

Menyamai atau bersamaan bagi-Nya dengan suatu yang baru
Qiamuhu binafsih

ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ

Berdiri-Nya dengan sendiri Salbiah Qiamuhu bighairih

ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻐﻴﺮﻩ

Berdiri-Nya dengan yang lain
Wahdaniat

ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ

Esa Allah Ta’ala pada dzat,pada sifat dan pada perbuatan Salbiah Ta’addud

ﺗﻌﺪﺩ

Berbilang-bilang
Qudrat

ﻗﺪﺭﺓ

Berkuasa Ma’ani Ajzun

ﻋﺟﺰ

Lemah
Iradat

ﺇﺭﺍﺩﺓ

Berkehendak menentukan Ma’ani Karahah

ﻛﺮﺍﻫﻪ

Benci iaitu tidak menentukan
Ilmu

ﻋﻠﻢ

Mengetahui Ma’ani Jahlun

ﺟﻬﻞ

Bodoh
Hayat

ﺣﻴﺎﺓ

Hidup Ma’ani Al-Maut

ﺍﻟﻤﻮﺕ

Mati
Sama’

ﺳﻤﻊ

Mendengar Ma’ani As-Summu

ﺍﻟﺻﻢ

Pekak
Basar

ﺑﺼﺮ

Melihat Ma’ani Al-Umyu

ﺍﻟﻌﻤﻲ

Buta
Kalam

ﻛﻼ ﻡ

Berkata-kata Ma’ani Al-Bukmu

ﺍﻟﺑﻜﻢ

Bisu
Kaunuhu qaadiran

ﻛﻮﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭﺍ

Keadaan-Nya yang berkuasa Ma’nawiyah Kaunuhu ajizan

ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﺟﺰﺍ

Keadaan-Nya yang lemah
Kaunuhu muriidan

ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺮﻳﺪﺍ

Keadaan-Nya yang berkehendak menentukan Ma’nawiyah Kaunuhu kaarihan

ﻛﻮﻧﻪ ﻛﺎﺭﻫﺎ

Keadaan-Nya yang benci iaitu tidak menentukan
Kaunuhu ‘aliman

ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ

Keadaan-Nya yang mengetahui Ma’nawiyah Kaunuhu jahilan

ﻛﻮﻧﻪ ﺟﺎﻫﻼ

Keadaan-Nya yang bodoh
Kaunuhu hayyan

ﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎ

Keadaan-Nya yang hidup Ma’nawiyah Kaunuhu mayitan

ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻴﺘﺎ

Keadaan-Nya yang mati
Kaunuhu sami’an

ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻤﻴﻌﺎ

Keadaan-Nya yang mendengar Ma’nawiyah Kaunuhu asamma

ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺻﻢ

Keadaan-Nya yang pekak
Kaunuhu basiiran

ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺼﻴﺭﺍ

Keadaan-Nya yang melihat Ma’nawiyah Kaunuhu a’maa

ﻛﻮﻧﻪ ﺃﻋﻤﻰ

Keadaan-Nya yang buta
Kaunuhu mutakalliman

ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ

Keadaan-Nya yang berkata-kata Ma’nawiyah Kaunuhu abkam

ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺑﻜﻢ

Keadaan-Nya yang kelu

Sifat kesempurnaan

Dua puluh yang tertera di atas yang wajib bagi Allah terkandung di dalam dua sifat kesempurnaan. Sifat tersebut adalah:

  • Istigna’ ( ﺇﺳﺘﻐﻨﺎﺀ )

·         Kaya Allah daripada sekelian yang lain daripada-Nya iaitu tidak berkehendak ia kepada sesuatu. Maksudnya, Allah tidak mengkehendaki yang lain menjadikan-Nya dan tidak berkehendakkan tempat berdiri bagi zat-Nya. Contohnya, Allah tidak memerlukan dan tidak mengkehendaki malaikat untuk menciptakan Arasy.

·         Maka, Maha suci Tuhan daripada tujuan pada sekelian perbuatan dan hukum-hukumnya dan tidak wajib bagi-Nya membuat sesuatu atau meninggalkan sesuatu.

·         Sifatnya: wujud, qidam, baqa’, mukhalafatuhu lilhawadith, qiamuhu binafsih, sama’, basar, kalam, kaunuhu sami’an, kaunuhu basiran, kaunuhu mutakalliman.

  • Iftiqar ( ﺇﻓﺘﻘﺎﺭ )

·         Yang lain berkehendakkan sesuatu daripada Allah iaitu yang lain berkehendakkan daripada Allah untuk menjadikan dan menentukan mereka dengan perkara yang harus. Contohnya, manusia memohon kepada Allah melancarkan hidupnya.

·         Sifatnya: wahdaniat, qudrat, iradat, ilmu, hayat, kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu hayyan.

Sifat yang harus

Sifat harus atau sifat jaiz juga dimiliki oleh Allah. Harus bagi Allah memperbuatkan sesuatu yang harus ada atau tiada atau meninggalkannya. Contohnya, harus bagi Allah menciptakan langit, bumimatahari dan yang lain dan harus juga bagi Allah untuk tidak menciptakannya. Tidak wajib bagi Allah membuat sesuatu seperti menghidupkan atau mematikan bahkan itu harus pada hak Allah.

Sifat-Sifat Allah

Sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama

adalah sifat dzatiyah

yakni sifat yang senantiasa melekat denganNya. Sifat ini tidak berpisah dari DzatNya

Seperti

 الْعِلْمُ

(ilmu)

 الْقُدْرَةُ

(kekuasan)

 السَّمْعُ

(mendengar)

 الْبَصَرُ

(melihat)

 الْعِزَّةُ

(kemuliaan)

 الْحِكْمَةُ

(hikmah)

 الْعُلُوَّ

(ketinggian)

 الْعَظَمَةُ

(keagungan)

 الْوَجْهُ

(wajah)

 الْيَدَيْنِ

(dua tangan)

 الْعَيْنَيْنِ

(dua mata)

Bagian kedua

adalah sifat fi’liyah

Yaitu sifat yang Dia perbuat jika berkehendak

Seperti

bersemayam di atas ‘Arsy

turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir dari malam

  datang pada hari Kiamat.
Berikut ini kami sebutkan sejumlah sifat-sifat Allah dengan dalil dan keterangannya, apakah ia termasuk dzatiy atau fi’liy?!

 Al-qudrah (berkuasa)

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“… dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu…”

( Al-Maidah: 120 )

” Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”

( Al-Baqarah: 20 )

” Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

( Al-Kahfi: 45 )

” Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu’.”

( Al-An’am: 65 )

” Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembali-kannya (hidup sesudah mati).”

( Ath-Thariq: 8 )

.
Dia telah menetapkan sifat qudrah, kuasa untuk melakukan apa saja, sebagaimana Dia juga menafikan dari DiriNya sifat ‘ajz (lemah) dan lughub (letih).

.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.”

(Fathir: 44)

” Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit-pun tidak ditimpa keletihan.”

 ( Qaf: 38 )

Dia memiliki qudrah yang mutlak dan sempurna sehingga tidak ada sesuatu pun yang melemahkanNya. Tidaklah ada penciptaan makhluk dan pembangkitan mereka kembali kecuali bagaikan satu jiwa saja.

” Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.”

( Yasin: 82 )

Maka seluruh makhlukNya, baik yang di atas maupun yang di bawah, menunjukkan kesempurnaan qudrah-Nya yang menyeluruh. Tidak ada satu partikel pun yang keluar dariNya. Cukuplah menjadi dalil bagi seorang hamba manakala ia melihat kepada penciptaan diri-nya; bagaimanakah Allah menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, membelah baginya pendengaran dan penglihatannya, mencipta-kan untuknya sepasang mata, sebuah lisan dan sepasang bibir? Kemudian apabila ia melayangkan pandangannya ke seluruh jagat raya ini maka ia akan melihat berbagai keajaiban qudrah-Nya yang menunjuk-kan keagunganNya.

Al-iradah ( berkehendak )

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya.”

( Al-Maidah: 1 )

” Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

( Al-Hajj: 14 )

” Mahakuasa berbuat apa yang dikehendakiNya.”

( Al-Buruj: 16 )

” Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.”

( Yasin: 82 )

Ayat-ayat ini menetapkan iradah untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala yakni di antara sifat Allah yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ahlus-Sunnah wal Jama’ah menyepakati bahwa iradah itu ada dua macam:

Iradah Kauniyah

sebagaimana yang terdapat dalam ayat:

” Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit …”

( Al-An’am: 125 )

Yaitu iradah yang menjadi persamaan masyi’ah (kehendak Allah), tidak ada bedanya antara masyi’ah dan iradah kauniyah.

 Iradah Syar’iyah,

sebagaimana terdapat dalam ayat:

” Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

( Al-Baqarah: 185 )

Perbedaan antara keduanya ialah:
Iradah kauniyah pasti terjadi, sedangkan iradah syar’iyah tidak harus terjadi; bisa terjadi bisa pula tidak.

Iradah kauniyah meliputi yang baik dan yang jelek, yang bermanfaat dan yang berbahaya bahkan meliputi segala sesuatu. Sedangkan iradah syar’iyah hanya terdapat pada yang baik dan yang bermanfaat saja.

Iradah kauniyah tidak mengharuskan mahabbah (cinta Allah). Terkadang Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang tidak Dia cintai, tetapi dari hal tersebut akan lahir sesuatu yang dicintai Allah. Seperti penciptaan Iblis dan segala yang jahat lainnya un-tuk ujian dan cobaan. Adapun iradah syar’iyah maka di antara konsekuensinya adalah mahabbah Allah, karena Allah tidak menginginkan dengannya kecuali sesuatu yang dicintaiNya, seperti taat dan pahala.

 Al-‘Ilmu ( Ilmu )

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“… Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata …”

( Al-Hasyr: 22 )

“… Yang mengetahui yang ghaib. Tidak ada tersembunyi dari-padaNya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi …”

( Saba’: 3 )

“. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi.”

( Al-Hujurat: 18 )

Yang dimaksud dengan ghaib adalah yang tidak diketahui oleh manusia, tetapi Allah mengetahuinya.

“. Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.”

( Ali Imran: 5 )

Yang dimaksud dengan syahadah adalah apa yang disaksikan dan dilihat oleh manusia. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“… dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah …”

( Al-Baqarah: 255 )

“. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak menge-tahui.”

( An-Nahl: 74 )

Di antara dalil yang menunjukkan atas ilmuNya yang luas adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :

“… agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu…”

( Ath-Thalaq: 12 )

Di antara dalilnya yang lain ialah hasil ciptaanNya yang sangat teliti dan sempurna. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“…Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan)…?”

( Al-Mulk: 14 )

Karena mustahil bisa menciptakan benda-benda di alam ini de-ngan sangat teliti dan sempurna kalau bukan Yang Maha Mengetahui. Yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai ilmu tidak mungkin menciptakan sesuatu, seandainya ia menciptakan tentu tidak akan teliti dan sempurna. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“…Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) …”

( Al-An’am: 59 )

” Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan menge-tahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”

( At-Taghabun: 4 )

Dan masih banyak lagi ayat-ayat tentang masalah ini. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata,

 Muslimin memahami, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu sebelum benda-benda itu ada dengan ilmuNya dan qadim azaliy yang merupakan salah satu dari konsekuensi DiriNya yang Mahasuci. Dan Dia tidak mengambil ilmu tentang benda itu dari benda itu sendiri.

“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?”

( Al-Mulk: 14 )

Al-Hayat (Hidup)

Yaitu sifat dzatiyah azaliyah yang tetap untuk Allah, karena Allah bersifat dengan ‘ilmu, qudrat dan iradah; sedangkan sifat-sifat itu tidaklah ada kecuali dari yang hidup. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) …”

( Al-Baqarah: 255 )

“Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia …” ( Ghafir: 65 )

” Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati …”

( Al-Furqan: 58 )

Ayat-ayat di atas menetapkan sifat hayat bagi Allah. Dan bahwa Al-Hayyul Qayyum adalah “Al-Ismul A’zham” (nama yang paling agung) yang jika Allah dipanggil dengannya pasti Dia mengabulkan, jika Dia dimintai dengannya pasti Dia memberi; karenanya hayat menunjukkan kepada seluruh sifat-sifat dzatiyah, dan qayyum menun-jukkan kepada seluruh sifat-sifat fi’liyah.

Jadi seluruh sifat kembali kepada dua nama yang agung ini. BagiNya adalah kehidupan yang sempurna; tidak ada kematian, tidak ada kekurangan, tidak ada kantuk dan tidak ada tidur. Dialah Al-Qayyum, yang menegakkan yang lainNya dengan memberinya sebab-sebab kelangsungan dan kebaikan.

5. As-Sam’u (Mendengar) Dan Al-Bashar (Melihat)

Keduanya termasuk sifat dzatiyah Allah. Allah menyifati diriNya dengan kedua-duanya dalam banyak ayat, seperti firmanNya:

” Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

( Asy-Syura: 11 )

” Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

( An-Nisa’: 58 )

“… Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.”

( Thaha: 46 )

Pendengaran Allah Subhannahu wa Ta’ala menangkap semua suara, baik yang keras maupun yang pelan; mendengar semua suara dengan semua bahasa dan dapat membedakan semua kebutuhan masing-masing. Satu pen-dengaran tidak mengganggu pendengaran yang lain. Berbagai macam bahasa dan suara tidaklah membuat samar bagiNya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

( Al-Mujadalah: 1 )

“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?”

( Az-Zukhruf: 80 )

Sebagaimana Allah juga melihat segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang menutupi penglihatanNya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”

( Al-‘Alaq: 14 )

” Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”

( Asy-Syu’ara: 218-219 )

“…Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu itu …”

( At-Taubah: 105 )

” Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.”

( Ali Imran: 5 )

Yang tidak mendengar dan melihat tidak layak untuk menjadi Tuhan. Allah Subhannahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ibrahim Alaihissalam yang berbicara kepada bapaknya sebagai protes atas penyembahan mereka terhadap berhala.

” Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar dan melihat.”

( Maryam: 42 )

” Apakah berhala-berhala itu mendengar (do`a) mu sewaktu kamu berdo`a (kepadanya)?”

( Asy-Syu’ara: 72 )

6. Al-Kalam ( Berbicara )

Di antara sifat Allah yang dinyatakan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ salaf dan para imam adalah Al-Kalam. Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala berbicara sebagaimana yang Dia kehendaki; kapan Dia menghendaki dan dengan apa Dia kehendaki, dengan suatu kalam (pembicaraan) yang bisa didengar. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“ Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) dari-pada Allah.”

( An-Nisa’: 87 )

” Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?”

( An-Nisa’: 122 )

” Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”

( An-Nisa’: 164 )

“… Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) …”

( Al-Baqarah: 253 )

” (Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa …”

( Ali Imran: 55 )

” Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).”

( Maryam: 52 )

” Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa …”

( Asy-Syu’ara: 10 )

” Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka …”

( Al-Qashash: 62 )

“…supaya ia sempat mendengar firman Allah…”

( At-Taubah: 6 )

“… padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, …”

( Al-Baqarah: 75 )

Semua ayat ini menetapkan sifat hadits (ucapan), qaul (perkata-an), kalam (pembicaraan), nida’ (seruan) dan munajat. Semuanya adalah termasuk jenis kalam yang tetap bagi Allah sesuai dengan keagunganNya.

Kalam Allah termasuk sifat dzatiyah, karena terus menyertai Allah dan tidak pernah berpisah dariNya. Juga termasuk sifat fi’liyah, karena berkaitan dengan masyi’ah dan qudrah-Nya. Allah Subhannahu wa Ta’ala juga menyebutkan bahwa yang tidak bisa berbicara tidak pantas untuk menjadi Tuhan.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka?”

 ( Al-A’raf: 148 )

Kalam adalah sifat kesempurnaan, sedangkan bisu adalah sifat kekurangan. Dan Allah memiliki sifat kesempurnaan, suci dari keku-rangan.

7. Al-Istiwa’ ‘Alal-‘Arsy (Bersemayam Di Atas ‘Arsy)

Ia adalah termasuk sifat fi’liyah. Allah Subhannahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia bersemayam di ata ‘Arsy, pada tujuh tempat di dalam kitabNya.

Pertama, pada surat Al-A’raf :

” Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy …”

( Al-A’raf: 54 )

Kedua, pada surat Yunus:

” Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy …”

( Yunus: 3 )

Ketiga, pada surat Ar-Ra’d:

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy …”

( Ar-Ra’d: 2 )

Keempat, pada surat Thaha:

” (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy …”

( Thaha: 5 )

Kelima, pada surat Al-Furqan:

“… kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah …”

( Al-Furqan: 59 )

Keenam, pada surat As-Sajdah:

” Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersema-yam di atas `arsy.”

( As-Sajdah: 4 )

Ketujuh, pada surat Al-Hadid:

” Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy …”

( Al-Hadid: 4 )

Dalam ketujuh ayat ini lafazh istawa’ datang dalam bentuk dan lafazh yang sama. Maka hal ini menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima ta’wil, yaitu ke-tinggian dan keluhuranNya di atas ‘Arsy.

‘Arsy menurut Bahasa Arab adalah singgasana untuk raja. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘Arsy di sini adalah singgasana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat, ia merupakan atap bagi semua makhluk. Sedangkan bersemayamnya Allah di atas-nya ialah yang sesuai dengan keagunganNya.

Kita tidak mengetahui kaifiyah (cara) nya, sebagaimana kaifiyah sifat-sifatNya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita pahami dari maknanya dalam bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya, karena memang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab.

8. Al-‘Uluw (Tinggi) Dan Al-Fawqiyyah (Di Atas)

Dua sifat Allah yang termasuk dzatiyah adalah ketinggianNya di atas makhluk dan Dia di atas mereka. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”

( Al-Baqarah: 255 )

” Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.”

( Al-A’la: 1 )

” Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.”

( Al-Mulk: 16 )

Maksudnya “Dzat yang ada di atas langit” apabila yang dimaksud dengan sama’ (dalam ayat tersebut) adalah langit, atau “Dzat yang di atas” jika yang dimaksud dengan sama’ adalah sesuatu yang ada di atas. Sebagaimana Dia menggambarkan tentang diangkatnya apa-apa kepadaNya:

“… sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepadaKu …”

( Ali Imran: 55 )

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat `Isa kepada-Nya.”

( An-Nisa’: 158 )

Dan tentang shu’ud (naik)nya sesuatu kepadaNya:

“… KepadaNya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya.”

( Fathir: 10 )

Dan tentang ‘uruj (naik)nya sesuatu kepadaNya:

” Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan …”

( Al-Ma’arij: 4 )

‘Uruj dan shu’ud adalah naik. Dalil-dalil semacam ini menunjuk-kan kepada ‘uluw (ketinggian) Allah di atas makhlukNya. Begitu pula fawqiyah-Nya ditetapkan oleh berbagai dalil, di antaranya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :

” Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hambaNya …”

( Al-An’am: 18 )

” Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.”

( An-Nahl: 50 )

Perbedaan antara ‘uluw dan istiwa’ adalah bahwasanya ‘uluw ada-lah sifat dzat, sedangkan istiwa’ adalah sifat fi’il. ‘Uluw mempunyai tiga makna:
– ‘Uluwudz-Dzat (DzatNya di atas makhluk)
– ‘Uluwudz-Qahr (kekuatanNya di atas makhluk)
– ‘Uluwul-Qahr (kekuasaanNya di atas makhluk)
Kesemuanya itu adalah sifat yang benar untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala .

9. Al-Ma’iyyah (Kebersamaan)

Ia adalah sifat yang tetap bagi Allah berdasarkan dalil yang banyak sekali. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”

( At-Taubah: 40 )

 ” Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”

( Al-Hadid: 4 )

“… sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”.

( Thaha: 46 )

Dalil-dalil di atas menetapkan bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala selalu bersama hambaNya, di mana pun mereka berada.

Arti ma’iyah:

Ma’iyah Allah terhadap makhlukNya ada dua macam:

Ma’iyah umum bagi semua makhlukNya. Maksudnya, pengetahuan Allah terhadap amal perbuatan hamba-hambaNya, gerakan yang zhahir dan yang batin, perhitungan amal dan pengawasan ter-hadap mereka.

Tidak ada sesuatu pun dari mereka yang lepas dari pengawasan Allah di mana pun mereka berada. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“… Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada …”

( Al-Hadid: 4 )

Ma’iyah khusus untuk orang-orang mukmin. Maknanya, pengawasan dan pengetahuan Allah terhadap mereka, serta pertolongan, dukungan dan penjagaan Allah untuk mereka dari tipu muslihat musuh-musuh mereka.

“… Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.”

( Thaha: 46 )

“… Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita …”

( At-Taubah: 40 )

Catatan Penting:

Dari uraian di atas, jelaslah makna Ma’iyah Allah terhadap hambaNya bukan berarti “Allah bercampur dengan mereka melalui DzatNya”, Mahasuci Allah dari hal tersebut, karena hal itu adalah “madzhab hululiyah” yang sesat, batil dan kufur.
Karena Allah di atas para hambaNya dan Maha tinggi di atas mereka, tidak bercampur DzatNya dengan mereka, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan Dia bersama mereka dengan ilmuNya, mengetahui segala hal ihwal mere-ka, mengawasi mereka dan mereka tidak sedikit pun bisa menghilang dari pandangan Allah.

Ma’iyah dapat digunakan untuk kebersamaan yang mutlak, sekali pun tidak ada sentuhan atau percampuran. Anda mengatakan, “ مَتَاعِى مَعِى ” (barang/harta saya ada bersama saya). Padahal harta tersebut ada di atas kepala anda atau di atas kendaraan anda atau di atas kuda anda. Anda mengatakan, “Kami terus saja berjalan, dan rembulan bersama kami”, padahal dia ada di langit, akan tetapi ia tetap menerangi dan tidak hilang dari pandangan anda, sedang yang sampai hanyalah cahaya dan penerangannya saja.

10. Al-Hubb (Cinta) Dan Ar-Ridha (Ridha)

Ia adalah dua sifat yang tetap bagi Allah dan termasuk sifat fi’liyah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin …”

( Al-Fath: 18 )

“… Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terha-dapNya …”

( Al-Maidah: 119 )

” Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa`at mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).”

( An-Najm: 26 )

“… maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya …”

( Al-Maidah: 54 )

” Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

( Al-Baqarah: 222 )
“… sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

( Al-Baqarah: 195 )

Dalam ayat-ayat ini terdapat ketetapan adanya sifat mahabbah dan ridha bagi Allah. Bahwasanya Dia mencintai sebagian manusia dan meridhai mereka. Dan Dia mencintai sebagian amal dan akhlak, yaitu cinta dan ridha yang hakiki yang sesuai dengan keagunganNya Yang Mahasuci. Tidak seperti cintanya makhluk untuk makhluk atau ridhanya. Di antara buah cinta dan ridha ini ialah terwujudnya taufiq dan pemuliaan serta pemberian nikmat kepada hamba-hambaNya yang Dia cintai dan Dia ridhai. Dan bahwa terwujudnya cinta dan ridha dari Allah untuk hambaNya adalah dikarenakan amal shalih yang di antaranya adalah takwa, ihsan dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah:

” Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi …”

( Ali Imran: 31 )

(( وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ))

” Dan senantiasa hambaKu mendekat kepadaKu dengan melaksa-nakan ibadah-ibadah ‘sunnah’ sehingga Aku mencintainya.”

( HR. Al-Bukhari )

11. As-Sukhtu (Murka) Dan Al-Karahiyah ( Benci )

Sebagaimana Allah mencintai hambaNya yang mukmin dan meri-dhainya, maka Dia juga memurkai orang-orang kafir dan munafik, membenci mereka dan membenci amal perbuatan mereka.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka …”

( Al-Ma’idah: 80 )

“… tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka …”

( At-Taubah: 46 )

Murka dan benci adalah dua sifat yang tetap bagi Allah sesuai dengan keagunganNya. Di antara dampak dari keduanya adalah terja-dinya berbagai musibah dan siksaan terhadap orang-orang yang di-murkaiNya dan dibenci perbuatannya.

12. Al-Wajhu (Wajah), Al-Yadaani (Dua Tangan) Dan Al-‘Ainaani (Dua Mata)

Ini adalah sifat-sifat dzatiyah Allah sesuai dengan keagunganNya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

(Ar-Rahman: 27)

” Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah.”

(Al-Qashash: 88)

Dua ayat tersebut menekankan wajah untuk Allah. Kita mene-tapkannya untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala sesuai dengan keagunganNya sebagaimana Dia sendiri menetapkan untukNya. Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.”

( Al-Ma’idah: 64 )

“… apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tanganKu. …”.

( Shaad: 75 )

Dua ayat tersebut menetapkan dua tangan untuk Allah I. Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“… maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, …”

( Ath-Thur: 48 )

Maksudnya adalah “berada dalam penglihatan dan penjagaan Kami”. “Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami …”

( Al-Qamar: 14 )

Maksudnya adalah

” dalam penglihatan Kami dan di bawah pemeliharaan Kami”

“… dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasanKu.”

( Thaha: 39 )

Disebutkan lafazh ‘ain (mata) dan a’yun (beberapa mata) sesuai dengan apa yang disandarkan kepadanya, berbentuk tunggal atau ja-mak sesuai dengan ketentuan bahasa Arab.

Dan disebutkan dalam sunnah yang suci sesuatu yang menun-jukkan makna tatsniyah (dua). Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda ketika menyifati Dajjal yang mengaku sebagai tuhan,

(( أَنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ ))

” Sesungguhnya dia adalah buta sebelah, dan sesungguhnya Tuhanmu tidaklah buta sebelah.”

( HR. Al-Bukhari dan Muslim )

Ini jelas, bahwa maksudnya bukanlah menetapkan satu mata, karena mata yang sebelah jelas cacat (buta). Mahasuci dari hal yang demikian. Maka dalam ayat-ayat dan hadits tersebut terdapat penetapan terhadap dua mata bagi Allah, sesuai dengan apa yang pantas bagi keagunganNya sebagaimana sifat-sifatNya yang lain.

13. Al-‘Ajab (Heran)

Ia adalah sifat yang tetap bagi Allah Subhannahu wa Ta’ala sesuai dengan apa yang pantas bagi keagunganNya, sebagaimana yang ada dalam beberapa nash-nash shahih dan sharih (jelas). Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

عَجِبَ رَبُّنَا مِنْ قُنُوْطِ عِبَادِهِ وَقُرْبِ غِيَرِهِ يَنْظُرُ إِلَيْكُمْ أَزِلِيْنَ قَنِطِيْنَ فَيَظَلُّ يَضْحَكُ يَعْلَمُ أَنَّ فَرَجَكُمْ قَرِيْبٌ 

” Tuhan kita merasa heran terhadap keputus asaan hamba-ham-baNya padahal telah dekat perubahan (keadaan dari kesulitan kepada kemudahan) olehNya. Dia melihat kepadamu yang dalam keadaan sempit (susah) dan berputus asa. Dia pun tertawa, Dia mengetahui bahwa pertolonganNya untukmu adalah dekat.”

( HR. Ahmad dan lainnya )

Dalam hadits ini terdapat sifat heran dan tertawa, yaitu dua sifat Allah dari sifat-sifat fi’liyah-Nya sebagaimana sifat-sifatNya yang lain. Tidaklah keherananNya sama dengan keheranan makhluk, dan tidaklah pula tertawaNya sama dengan tertawanya makhluk. Tidak ada sesuatu pun yang menyamaiNya.

14. Al-Ityan Dan Al-Maji’ (Datang)

Keduanya adalah sifat fi’liyah Allah Subhannahu wa Ta’ala . Dia berfirman:

” Janganlah (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan ber-turut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.”

( Al-Fajr: 21-22 )

“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, …”

(Al-Baqarah: 210)

” Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malai-kat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedata-ngan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. …”

( Al-An’am: 158 )

Ayat-ayat tersebut menetapkan sifat ityan dan maji’ bagi Allah I , yaitu datang dengan DzatNya secara sebenarnya untuk memutuskan hukum antara hamba-hambaNya pada hari Kiamat, sesuai dengan ke-agunganNya. Sifat datang dan mendatangi itu tidak sama dengan sifat makhluk. Mahasuci Allah dengan hal itu.

15. Al-Farah ( Gembira )

Al-Farah adalah sifat yang tetap bagi Allah. Ia merupakan salah satu dari sifat fi’liyah-Nya sesuai dengan keagunganNya. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan bahwasanya Allah sangat bergembira karena taubat seorang hambaNya. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

(( اللَّـهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِرَاحِلَتِهِ ))

“Allah amat gembira karena taubat hamba melebihi kegembira-an salah seorang dari kalian karena (telah menemukan) kendara-annya (kembali).”

 ( HR. Al-Bukhari dan Muslim )

Kegembiraan Allah ini adalah kegembiraan berbuat baik dan sayang, bukan kegembiraan seorang yang membutuhkan kepada taubat hambaNya yang bisa diambil manfaatnya. Karena sesungguhnya Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ketaatan hambaNya. Akan teta-pi Dia bergembira untuk itu karena kebaikanNya, sayangNya dan anugerahNya kepada pada hambaNya yang mukmin; sebab Dia mencintai dan menginginkan kebaikan serta keselamatan hamba dari siksaan-Nya.

Keempat: Pendapat-Pendapat Golongan Sesat Tentang Sifat-Sifat Ini Beserta Bantahannya

Golongan-golongan sesat seperti Jahmiyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah menyalahi AhlusSunnah wal Jama’ah dalam hal sifat-sifat Allah. Mereka menafikan sifat-sifat Allah atau menafikan banyak sekali dari sifat-sifat itu atau men-ta’wil-kan nash-nash yang menetapkannya dengan ta’wil yang batil. Syubhat (keraguan, kerancuan) mereka dalam hal ini adalah mereka mengira bahwa penetapan dalam sifat-sifat ini menimbulkan adanya tasybih (penyerupaan Allah dengan lainNya). Oleh karena sifat-sifat ini juga terdapat pada makhluk maka penetapannya untuk Allah pun menimbulkan penyerupaanNya dengan makhluk. Karena itu harus dinafikan -menurut mereka- atau harus di-ta’wil-kan dari zhahir-nya, atau tafwidh (menyerahkan) makna-makna-nya kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Demikianlah madzhab mereka dalam sifat-sifat Allah, dan inilah syubhat dan sikap mereka terhadap nash-nash yang ada.

Bantahan Terhadap Mereka

Sifat-sifat ini datang dan ditetapkan oleh nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mutawatir. Sedangkan kita diperintahkan mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

” Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu …”

( Al-A’raf: 3 )

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

(( عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَقَاءِ الرَّاسِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ ))

” Ikutilah sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Rasyidin se-sudahku.”

( HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih )

Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; …”

( Al-Hasyr: 7 )

Maka barangsiapa yang menafikannya berarti dia telah menafikan apa yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, dan berarti pula dia telah menentang Allah dan RasulNya.

Sesungguhnya kaum salaf dari sahabat, tabi’in dan ulama pada masa-masa yang dimuliakan, semuanya menetapkan sifat-sifat ini dan mereka tidak berselisih sedikit pun di dalamnya.

Imam Ibnul Qayyim berkata:

“Manusia banyak berselisih penda-pat dalam banyak hal tentang hukum, tetapi mereka tidak berselisih dalam memahami ayat-ayat sifat dan juga hadits-haditsnya, sekali pun itu hanya sekali. Bahkan para sahabat dan tabi’in telah bersepakat untuk iqrar (menetapkannya) dan imrar (membiarkan apa adanya) di-sertai dengan pemahaman makna-makna lafazh-nya bahwa hal terse-but telah dijelaskan dengan tuntas, dan bahwa menjelaskannya adalah hal yang teramat penting, karena ia termasuk penyempurnaan bagi perwujudan dua kalimah syahadah, dan penetapannya merupakan konsekuensi tauhid. Maka Allah I dan RasulNya menjelaskan de-ngan jelas dan gamblang tanpa kesamaran dan keraguan yang bisa menimpa ahlul ilmi.”

Sedangkan Rasulullah telah bersabda,

” Kewajiban kalian ada-lah mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin.”

Sedangkan penetapan sifat adalah termasuk hal tersebut.

Seandainya zhahir nash-nash tentang sifat-sifat itu bukan yang dimaksud, dan dia wajib di-ta’wil-nya (penyerahan makna kepada Allah), tentu Allah dan RasulNya telah berbicara kepada kita dengan khitab dan ucapan yang kita tidak paham maknanya. Dan tentu nash ini bersifat teka-teki atau kode-kode (sandi) yang tidak bisa kita pahami. Ini adalah mustahil bagi Allah, Allah Mahasuci dari yang demikian. Karena kalam Allah dan kalam RasulNya adalah ucapan yang sangat jelas, gamblang dan berisi petunjuk.

Menafikan sifat berarti menafikan wujud Allah, karena tidak ada dzat tanpa sifat, dan setiap yang wujud pasti mempunyai sifat. Mustahil dibayangkan ada wujud yang tidak mempunyai sifat. Se-sungguhnya yang tidak mempunyai sifat hanyalah ma’dum (sesuatu yang tidak ada). Maka barangsiapa yang menafikan sifat-sifat bagi Allah yang telah Dia tetapkan untuk diriNya, berarti ia telah mencam-pakkan sifat-sifat Allah, telah membangkang kepada Allah dan telah menyerupakan Allah dengan benda-benda yang tidak ada wujudnya, dan itu berarti pula dia telah mengingkari wujud Allah; sebagai keha-rusan dan konsekuensi dari ucapannya itu.

Kesamaan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhlukNya dalam bahasa tidak mengharuskan kesamaan atau penyerupaan dalam hakikat atau kaifiyat. Allah memiliki sifat-sifat yang khusus dan sesuai dengan keagungan-Nya. Makhluk mempunyai sifat-sifat khusus dan sesuai dengan kepantasannya pula. Ini tidak mengharuskan kesamaan atau penyerupaan. Bahkan antar makhluk pun tidak harus sama.
Jika dikatakan,

” Sesungguhnya ‘Arsy itu adalah sesuatu yang wujud “

dan

” Sesungguhnya nyamuk itu sesuatu yang wujud “

ini tidak mengharuskan keduanya sama dalam “sesuatu dan wujud”, juga dalam hakikat dan kaifiyat. Jika hal ini terjadi antara makhluk dengan makhluk, maka antara Allah Al-Khaliq dengan makhlukNya adalah lebih utama untuk tidak sama.

Sebagaimana Allah mempunyai Dzat yang tidak diserupai oleh dzat makhluk, maka Dia juga mempunyai sifat-sifat yang tidak diserupai oleh sifat-sifat makhluk.

Sesungguhnya menetapkan sifat-sifat yang ada adalah ke-sempurnaan dan menafikannya adalah kekurangan. Sedangkan Allah Mahasuci dari sifat kekurangan. Maka wajiblah penetapan sifat-sifat itu.

Sesungguhnya dengan nama-nama dan sifat-sifat ini, para hamba dapat mengetahui Tuhannya dan mereka memohon kepadaNya dengan nama-nama itu. Mereka takut kepadaNya dengan nama-nama itu. Mereka takut kepadaNya dan mengharap dariNya sesuai dengan kandungan nama-nama itu. Jika dinafikan dari Allah maka hilanglah makna-makna yang agung itu. Lalu dengan apa Dia dimintai dan dengan apa pula ber-tawassul kepadaNya?

Sesungguhnya hukum asal dalam nash-nash sifat adalah zhahir dan makna aslinya. Tidak boleh menyelewengkan dari zhahir-nya kecuali jika terpenuhi keempat syarat berikut ini:
Menetapkan kemungkinan lafazh mengandung makna yang akan di-ta’wil-kan kepadanya.

Menegakkan dalil yang memalingkan lafazh dari zhahir-nya kepada makna yang mungkin dikandungnya yakni makna yang menyalahi zhahir-nya.

Menjawab dalil-dalil yang bertentangan dengan dalilnya tadi. Karena orang yang mengaku benar harus mempunyai bukti atas dakwaannya. Dia harus mempunyai jawaban yang benar terhadap dalil-dalil yang berlawanan dengannya. Dan tidaklah disebut memiliki dalil orang yang hanya mendakwakan ta’wil.

Bahwasanya manakala Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam berbicara dengan suatu pembicaraan jika beliau menginginkan arti yang bukan zhahir-nya, pasti beliau menjelaskan kepada umat bahwasanya beliau menginginkan majaz (arti kiasan) bukan hakikat atau arti sebenarnya. Ternyata ini tidak pernah terjadi pada nash-nash sifat tersebut.

( berbagai sumber)

Asma ul Husna – merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits


Ar-Rahman

1Ar-Rahim

2Al-Malik

3Al-Quddus

4As-Salaam

5Al-Mu’min

6

Al-Muhaimin

7Al-Aziiz

8Al-Jabbar

9Al-Mutakabbir

10Al-Khaliq

11Al-Barii’

12Al-Musawwir

13Al-Ghaffar

14Al-Qahhar

15Al-Wahhab

16Ar-Razzaq

17Al-Fattah

18Al-‘Aliim

19Al-Qabidh

20Al-Basith

21Al-Khaafidh

22Ar-Rafii’

23

al-Mu’izz

24Al-Mudzil

25As-Samii’

26Al-Bashiir

27Al-Hakam

28Al-‘Adl

29Al-Lathiif

30Al-Khabbiir

31Al-Halim

32Al-Azhiim

33Al-Ghafuur

34Asy-Syakuur

35Al-Aliy

36Al-Kabbir

37Al-Hafzh

38Al-Muqiit

39

Al-Hasiib

40

Al-Jaliil

41

Al-Kariim

42Ar-Raqiib

43Al-Mujiib

44Al-Waasi’

45Al-Hakiim

46Al-Waduud

47Al-Majiid

48Al-Baa’its

49Asy-Syahiid

50Al-Haqq

51Al-Wakiil

52Al-Qawiyy

53Al-Matiin

54Al-Waliy

55Al-Hamiid

56Al-Mushsi

57Al-Mubdi’

58Al-Mubdi’

58

Al’Mu’iid

59

Al-Muhyi

60

Al-Mumiit

61

Al-Hayyu

62Al-Qayyum

63Al-Waajid

64Al-Maajid

64Al-Waahid

66

Al-Aahad

67Ash-Shamad

68Al-Qaadir

69Al-Muktadir

70Al-Muqaddim

71Al-Muakhkhir

72Al-Awwal

73Al-Aakhir

74Al-Zhaahir

75Al-Bathin

76Al-Walii

77Al-Muta’aali

78Al-Barrii

79At-Tawwab

80Al-Muntaqim

81Al-‘Afuww

82Ar-Ra’uuf

83Malikul-Mulk

84Dzul Jalaali wal Ikraam

85Al-Muqsiith

86Al-Jamii’

87Al-Ghaniy

88Al-Mughniy

89Al-Maani’

90Ad-Dhaar

91An-Naafi’

92An-Nuur

93Al-Haadi

94Al-Badii’

95

Al-Baaqii

96Al-Waaritsu

97

Ar-Rasyid

 98

Ash-Shabuur

99

Sujud Tilawah – ayat-ayat sajdah – سجدة


Sujud Tilawah: Sujud yang disunahkan pada saat membaca atau mendengar beberapa ayat tertentu dalam Alquran. Jumlah ayat-ayat itu adalah lima belas, yaitu:

1.   إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ

Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud. [ Al-A’raaf : 206 ]

2.   وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. [ Ar-Ra’d : 15 ]

3.   وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلائِكَةُ وَهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. [  An-Nahl : 49 ]

4.   وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk [ Al-Israa : 109 ]

5.   أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni`mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis .[ Maryam : 58 ]

6.   أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki [ Al-Hajj : 18 ]

7.   يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudhah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan [ Al-Hajj: 77 ]

8.   وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudhah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab: “Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami [bersujud kepada-Nya]?”, dan [perintah sujud itu] menambah mereka jauh (dari iman) [ Al-Furqaan : 60 ]

9.  اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy yang besar”. [ An-Naml : 26 ]

10.   إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri [ As-Sajdah : 15 ]

11.   قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُدُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ

Daud berkata: “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. [ Shaad : 24 ]

12.   فَإِنِ اسْتَكْبَرُوا فَالَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لا يَسْأَمُونَ

Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari, sedang mereka tidak jemu-jemu [ Fushshilat: 38 ]

13.  فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا

Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia) [ An-Najm : 62 ]

14.  وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْءَانُ لا يَسْجُدُونَ

Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud [ Al-Insyiqaaq : 21 ]

15.  كَلَّا لا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan) [ Al-‘Alaq : 19 ]

.

Demikianlah ayat-ayat sajdah itu, selanjutnya perlu diketahui bahwa ayat sajdah kedua dalam surat Al-Hajj, ayat-ayat sajdah yang berada pada surat Shaad, An-Najm, Al-Insyiqaaq, dan al-‘Alaq diperselisihkan oleh para ulama.

Sebagai tanda ayat-ayat sajdah itu adalah gambar mihrab pada akhir setiap ayat dan ditulis kata [ سجدة ] pada pinggir halaman.

Hukum Mengerjakan Sujud Tilawah

Berdasarkan dari dalil-dalil di atas dan banyak lagi dalil lainnya, para ulama umumnya mengatakan bahwa sujud tilawah hukumnya sunnah. Namun kalau kita perdalam lagi, sebenarnya ada sedikit variasi hukum yang mereka kemukakan.

1. Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah

Mereka sepakat mengatakan bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah muakkadah. Dalam pandangan mereka, sujud tilawah ini tidak menjadi wajib, karena Rasulullah SAW pernah juga tidak melakukan sujud tatkala membaca atau dibacakan ayat sajdah, yaitu sebagaimana disebutkan di dalam riwayat berikut ini:

Dari Zaid bin Tsabit berkata, “Aku membaca surat An-Najm di depan Nabi SAW namun beliau tidak melakukan sujud. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)

2. Pendapat mahzab Al-Hanafiyah

Cukup menarik kalau kita pelajari mazhab ini khususnya dalam hal sujud tilawah. Sebab mereka lah satu-satunya mazhab yang mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu wajib. Keterangan seperti itu bisa kita telusuri di dalam kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 382.

Untuk itu di antara dalil yang mereka gunakan adalah sabda Nabi Muhammad SAW:

Sujud itu wajib bagi mereka yang mendengarnya ( ayat sajdah )

Namun hadits ini menurut Az-Zayla’i adalah hadits yang gharib, sebagaimana kita baca dalam kitab Nashburrayah jilid 2 halaman 178.

Namun para ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentu saja tidak hanya bergantung pada satu hadits ini saja. Ternyata mereka juga menggunakan hadits tentang syetan yang menangis melihat anak Adam bersujud. Di atas tadi kami sudah tuliskan haditsnya.

3. Pendapat mazhab Al-Malikiyah

Kalau kita baca dalam kitab Jawahirul Iklil jidil 1 halaman 71, kita akan dapati ternyata para ulama di dalam mazhab ini agak kurang kompak. Sebagain bilang bahwa sujud tilawah itu hukumnya sunnah yang bukan muakkadah. Sebagian lainnya mengatakan hukumnya fadhilah (keutamaan).

Yang bilang hukumnya sunnah ghairu muakkadah adalah Ibnu ‘Athaillah dan Al-Fakihani Sedangkan yang mengatakan hukumnya fadhilah adalah Al-Baji dan Ibnu Katib.

 

Tata Cara Sujud Tilawah

Sujud tilawah dilakukan hanya sekali saja, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Di dalam shalat, begitu selesai membaca ayat sajdah, kita disunnahkan untuk langsung sujud, tanpa ruku’ atau i’tidal. Sujudnya hanya sekali dan langsung berdiri kembali untuk meneruskan bacaan yang tadi sempat terjeda untuk sujud.

Sujud tilawah di dalam atau di luar shalat dilakukan di tengah dua takbir. Maksudnya, sujud itu dimulai dengan takbir lalu sujud lalu bangun dari sujud dengan takbir juga.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْعَوَّامِ قَالَ سَأَلْتُ مُجَاهِدًا عَنْ السَّجْدَةِ فِي ص قَالَ سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَالَ { أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمْ اقْتَدِهْ } وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْجُدُ فِيهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar Telah menceritakan kepada kami Gundar Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al ‘Awwam dia berkata; Aku bertanya kepada Mujahid mengenai ayat sajdah di dalam surat Shaad, lalu ia berkata; Ibnu ‘Abbas ditanya tentang hal itu lalu ia menjawab; Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (Al ‘An’am: 90). Dan Ibnu Abbas sujud pada ayat itu.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الطَّنَافِسِيُّ عَنْ الْعَوَّامِ قَالَ سَأَلْتُ مُجَاهِدًا عَنْ سَجْدَةٍ فِي ص فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ مِنْ أَيْنَ سَجَدْتَ فَقَالَ أَوَ مَا تَقْرَأُ { وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ } { أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمْ اقْتَدِهْ } فَكَانَ دَاوُدُ مِمَّنْ أُمِرَ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ فَسَجَدَهَا دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلَام فَسَجَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { عُجَابٌ } عَجِيبٌ الْقِطُّ الصَّحِيفَةُ هُوَ هَا هُنَا صَحِيفَةُ الْحِسَابِ وَقَالَ مُجَاهِدٌ { فِي عِزَّةٍ } مُعَازِّينَ { الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ } مِلَّةُ قُرَيْشٍ الْاخْتِلَاقُ الْكَذِبُ الْأَسْبَابُ طُرُقُ السَّمَاءِ فِي أَبْوَابِهَا قَوْلُهُ { جُنْدٌ مَا هُنَالِكَ مَهْزُومٌ } يَعْنِي قُرَيْشًا { أُولَئِكَ الْأَحْزَابُ } الْقُرُونُ الْمَاضِيَةُ { فَوَاقٍ } رُجُوعٍ { قِطَّنَا } عَذَابَنَا { اتَّخَذْنَاهُمْ سُخْرِيًّا } أَحَطْنَا بِهِمْ { أَتْرَابٌ } أَمْثَالٌ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ الْأَيْدُ الْقُوَّةُ فِي الْعِبَادَةِ الْأَبْصَارُ الْبَصَرُ فِي أَمْرِ اللَّهِ { حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي } مِنْ ذِكْرِ طَفِقَ مَسْحًا يَمْسَحُ أَعْرَافَ الْخَيْلِ وَعَرَاقِيبَهَا { الْأَصْفَادِ } الْوَثَاقِ

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid At Thanafisi dari Al ‘Awwam dia berkata; Aku bertanya kepada Mujahid mengenai ayat sajdah pada surat Shaad. Ia menjawab; Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, pada ayat mana kamu bersujud? Ibnu Abbas menjawab; Apakah kamu tidak membaca; dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman,… (Al An’am: 84). Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (Al An’am: 90). Nabi Daud adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kalian ikuti. Maka ketika Daud sujud pada surat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun sujud. ‘UJAABUN, artinya lembaran hisab. Mujahid berkata; FI ‘IZZATIN, yakni mereka dimuliakan. AL MILLAH AL AKHIRAH yaitu agama Quraisy yang bercampur kedustaan. JUNDUN MAA HUNAALIKA MAHZUUM, yaitu orang-orang Quraisy.

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ أَخْبَرَنِي أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَوَّلُ سُورَةٍ أُنْزِلَتْ فِيهَا سَجْدَةٌ وَالنَّجْمِ قَالَ فَسَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَجَدَ مَنْ خَلْفَهُ إِلَّا رَجُلًا رَأَيْتُهُ أَخَذَ كَفًّا مِنْ تُرَابٍ فَسَجَدَ عَلَيْهِ فَرَأَيْتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ قُتِلَ كَافِرًا وَهُوَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad Telah menceritakan kepada kami Israil dari Abu Ishaq dari Al Aswad bin Yazid dari Abdullah radliallahu ‘anhu dia berkata; Surat pertama kali yang di dalamnya ada ayat sajdah adalah surat An Najm. Abdullah berkata; Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang berada dibelakang beliau pun bersujud, kecuali seorang laki-laki yang aku lihat ia mengambil segenggam tanah lalu ia bersujud di atasnya. Setelah itu aku melihat orang itu terbunuh dalam keadaan kafir. Ia adalah Umayyah bin Khalaf.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Indeks.


Hadist Dho’if / Bid’ah / Mutawatir.



Hadits DHO’IF tidaklah sama dengan Hadits MAUDHU’ Hadits DHO’IF adalah Hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan Hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga Hadits itu menjadi DHO’IF tapi tetap saja Hadits DHO’IF bukan Hadits Palsu!

Zaman awal Islam mulai berkembangHadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan Hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan Hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).

Dengan demikian, maka Hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( Jumhur Ulama sepakat , beliau sebagai Khalifah ke lima- red )  mulai khawatir akan perkembangan Hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka  ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang Hadits, dan mengatakan bahwa Hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.

Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan Bid’ah Hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya Hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh  Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat  bahwa ada Bid’ah yang Hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang  melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan Hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua ( bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka )

Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah  Hadits. Di antaranya adalah ilmu Sanad Hadits, yakni memeriksa suatu Hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka Hadits itu dinyatakan sebagai Hadits Shahih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka Hadits tersebut disebut Hadits DHO’IF.

Saat itu jenis Hadits hanya ada tiga saja, pertama Hadits Shahih, kedua Hadits DHO’IF, dan ketiga disebut Hadits Maudhu’, yang pada hakekatnya Hadits Palsu.

Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat Hadits pun bertambah pula. Ada Hadits Shahih, Hadits Hasan Lidzatihi, Hadits Hasan Lighoirihi, Hadits Mutawatir Lafdzi, Mutawatir Ma’nawi, Hadits DHO’IF Munkar, dan Maudhu‘ dll.

KEDUDUKAN HADITS DHO’IF DIMATA PARA IMAM MUJTAHID MUTLAK.

Semua Madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi , Imam Maliki , Imam Syafi’i , Imam Hambali sepakat bahwa Hadits DHO’IF tidak boleh dibuang semuanya, karena Hadits DHO’IF adalah Hadits Rasulullah yang berderajat DHO’IF bukan Hadits Maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada Hadits DHO’IF sekalipun, jika saja tidak didapati ada Hadits yang Shahih dalam perkara tersebut. Imam Asy-Syafi’i memakai Hadits DHO’IF sebagai penyemangat dalam beramal ( fadhoilul a’mal ). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.

Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal Hadits ini kedudukannya DHO’IF, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip Hadits DHO’IF sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).

Kenapa Hadits DHO’IF masih dipelihara.

Dari 1.000.000 Hadits hafalan Imam Hanbal, hanya 27.688 Hadits yang dapat diterima / ditulis.

Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta Hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, Hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah Hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan Hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan Shalat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali Hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.

Namun demikian, tidaklah serta merta Hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbuang dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta Hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Perilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai Hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.

Dalam rangka memilah dan memilih Hadits DHO’IF para ulama Hadits Empat Mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena DHO’IF nya tidak keterlaluan.

HAFIDZ – ULAMA HUJJAH – HAKIM .

Ulama Hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama Hadits. Ada ulama Hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu Hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu Hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi  yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?

Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang  hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama Hadits terdahulu. Kata mereka Hadits ini dho’if, Hadits itu mauhdu’, Hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli Hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari Hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama Hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?

QUNUT SUBUH .

Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah Qunut Shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa Hadits Qunut Shubuh adalah Shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan Qunut Shubuh itu Bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan Qunut Shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.

Para ulama dari kalangan ahli Hadits, ahli Fiqh dan Jumhur Ulama ,  berkata: DIBENARKAN DAN DISUKAI beramal dengan Hadits DHO’IF dalam hal 2 Fadha’il serta Targhib dan Tarhib, selama Hadits itu tidak berstatus Maudhu’ (palsu).” (Al-Azkar, hal. 5)

Sekarang terserah anda mau percaya ulama Hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.

Sumber naskah

Fatihah itu pembukaan maksud bagi orang-orang mukmin


Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda yang bermaksud:

“Membaca Fatihah Al-Quran pahalanya seperti sepertiga Al-Quran”

Juga Nabi Muhammad s.a.w.bersabda:

“Surat Al-Fatihah adalah untuk apa ia dimaksudkankan dalam bacaannya.” dan

“Fatihah itu pembukaan maksud bagi orang-orang mukmin.”

Barangsiapa membaca surah Al-Fatihah dalam keadaan berwudlu sebanyak 70 kali setiap hari selama tujuh hari lalu ditiupkan pada air yang suci lalu diminum maka ia akan memperoleh ilmu dan hikmah serta hatinya dibersihkan dari fikiran rusak.

Diantara khasiat Fatihah ialah siapa yang membaca ‘Al-Fatihah’ diwaktu hendak tidur, Surah ‘Al-Ikhlas’ sebanyak 3 kali dan Mu’awwidzatain maka ia akan aman dari segala hal selain ajal. Dan siapa berhajat (berkeinginan sesuatu) kepada Allah s.w.t.maka olehnya dibaca surah Al-Fatihah sebanyak 41 kali diantara sembahyang sunat Subuh dan sembahyang fardu Subuh sampai 40 hari (tidak Lebih) kemudian memohon kepada Allah s.w.t. maka Insyaallah ia penuhi keperluan hidupnya.

Barangsiapa membaca Fatihah berserta Basmallah diantara sunat Subuh dan fardu Subuh dengan Istiqomah maka kalau ia inginkan pangkat terkabullah ia dan kalau ia fakir maka akan kaya serta jika ia punya hutang maka mampu membayarnya dan kalau ia sakit maka akan sembuh serta kalau ia punya anak maka anaknya itu menjadi anak yang shaleh, berkat surah Al-Fatihah.

Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah sebanyak 20kali setiap selesai sembahyang fardu lima waktu maka Allah s.w.t. luaskan rezekinya,perbaiki akhlaknya, dimudahkan urusannya, hilangkan keperihatinannya dan kesusahannya, anugerahkan apa yang ia angan-angankan, dapatkan berbagai berkat dan kemuliaan, jadikan ia berwibawa, berpangkat luhur, berpenghidupan baik dan ia pula anak-anaknya terlindung dari kemudharatan dan kerusakan serta dianugerahkan kebahagiaan dan sebagainya.

Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah sebanyak 125 kali selesai sembahyang Subuh maka ia peroleh maksudnya dan ia ketemukan apa yang dicari-cari serta sebaiknya ia panjatkan do’a yang bermaksud:

 “Yaa Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran Surah Al-Fatihah dan rahasianya, supaya dimudahkan bagiku semua urusanku, sama ada urusan dunia atau urusan akhirat, supaya dimakbulkan permohonanku dan ditunaikan hajatku………..”

Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah diwaktu sahur (tengah malam) sebanyak 41 kali maka Allah s.w.t.bukakan pintu rezekinya dan Dia mudahkan urusannya tanpa kesusahan dan kesulitan. Selesai bacaan Al-Fatihah tersebut dan sebaiknya berdo’a:

 “Yaa Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran surah Al-Fatihah dan rahsianya, supaya Engkau bukakan bagiku pintu-pintu rahmatMu, kurnia-Mu dan rezeki-Mu. Dan Engkau mudahkan setiap urusanku, murahkanlah bagiku rezekiMu yang banyak lagi berkat tanpa kekurangan dan tanpa susah payah, sesungguhnya Engkau berkuasa atas setiap sesuatu. Aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran surah Al-Fatihah dan rahsianya, berikan apa yang kuhajati……..”

Diriwayatkan dari Syeikh Muhyiddin Ibnul Arabi didalam kitab ‘Qaddasallaahusirrahu’:

“Siapa yang punya maksud maka sebaiknya ia membaca surat Al-Fatihah sebanyak 40 kali sehabis sembahyang Maghrib dan sunatnya, selesai itu ia ajukan permohonan hajatnya kepada Allah s.w.t.”

Surat Al-Fatihah dapat mengobati penyakit mata, sakit gigi, sakit perut dan lain-lainnya dengan dibacakan sebanyak 41 kali.

Mengobati penyakit : Baca SurahAl-Fatihah sebanyak 40 kali pada tempat berisi air, lalu air itu diusap-usapkan pada kedua belah tangan, kedua belah kaki, muka, kepala dan seluruh badan, kemudian diminum, Insyaallah menjadi sembuh.

Mengobati sakit disebabkan oleh sengatan kala: Ambil sebuah tempat bersih lalu diisi air dan sedikit garam lalu dibacakan padanya Surah Al-Fatihah sebanyak 7 kali lalu diberi minum pada orang yang tersengat kala itu, Insyaallah ia akan sembuh.

Mengobati sakit gigi dan lain-lain: Untuk dirinya sendiri = letakkan jari pada tempat yang sakit lalu membaca Al-Fatihah dan berdoa sebanyak 7 kali:

“Yaa Allah, hilangkan daripada keburukan dan kekejian yang aku dapati dengan do’a Nabi-Mu yang jujur (al- Amin) dan tetap disisi-Mu”.

Mengobati penyakit gigi orang lain: selesai membaca Al-Fatihah maka berdo’a 7 kali:

“Yaa Allah, hilangkan daripada orang ini keburukan dan kekejian yang aku dapati dengan do’a Nabi-Mu yang jujur (al- Amin) dan tetap disisi-Mu”.

Adapun faedah dan khasiat dari Surah Al-Fatihah ialah menyembuhkan penyakit mata yang kabur (rabun)

Sabda Nabi Muhammad s.a.w.”

“Barangsiapa yang ingin menyembuhkan kelemahan pandangannya (kabur/rabun) maka hendaklah dilakukan:

Memandang bulan pada awal bulan, jika tidak kelihatan atau terhalang oleh awan dan lain-lain hal, lakukan pada malam kedua, juga tidak dapat, coba pada malam ketiga atau begitu seterusnya hingga nampak kelihatan bulan itu.

Apabila telah kelihatan, hendaklah ia menyapukan tangan kanannya kemata dengan membaca Al-Fatihah sebanyak 10 kali.

Sesudah itu mengucapkan pula sebanyak 7 kali do’a ini:

“Al-Fatihah itu menjadi obat tiap-tiap penyakit dengan rahmat Mu ya Tuhan yang pengasih penyayang.”

Lalu mengucapkan “Yaa Rabbi” sebanyak 5 kali.

Terakhir mengucapkan pula do’a ini sebanyak 1 kali:

“Yaa Allah sembuhkanlah, Engkaulah yang menyembuhkan, Yaa Allah sehatkanlah, Engkaulah yang menyehatkan”.

Indeks.

Sayyidu lIstighfar 1.


 

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ, خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ, وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اِسْتَطَعْتُ, أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ, أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي; فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

 

(Allahumma Anta Robbi, Laa Ilaaha Illa Anta, Kholaqtani wa ana abduKa, wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, Audzubika min syarri maa shona’tu, Abu’u laka bi ni’matiKa ‘alaiyya wa abu’u laKa bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru dzunuuba illa Anta )

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.
– See more at: http://www.voa-islam.com/read/doa/2010/01/21/2797/keutamaan-sayyidul-istighfar/#sthash.VWDVXa9l.dpuf
=========================
Kamis, 26 Jumadil Akhir 1435 H / 21 Januari 2010 16:30 wib
Keutamaan Sayyidul Istighfar
SAYYIDUL ISTIGHFAR
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ, خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ, وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اِسْتَطَعْتُ, أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ, أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي; فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
(Allahumma Anta Robbi, Laa Ilaaha Illa Anta, Kholaqtani wa ana abduKa, wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, Audzubika min syarri maa shona’tu, Abu’u laka bi ni’matiKa ‘alaiyya wa abu’u laKa bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru dzunuuba illa Anta )

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.

Kapan membacanya?

Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum petang hari, maka dia termasuk penduduk syurga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka dia termasuk penduduk syurga.” (HR. Al-Bukhari – Fathul Baari 11/97)
Kandungan maknanya?

Ini adalah doa agung yang mencakup banyak makna : taubat, merendahkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan kembali menghadap kepada-Nya. Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam menamainya sebagai Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yang demikian itu karena melebihi seluruh bentuk istighfar dalam hal keutamaan. Dan lebih tinggi dalam hal kedudukan.
Diantara makna sayyid adalah orang yang melebihi kaumnya dalam hal kebaikan dan yang berkedudukan tinggi dikalangan mereka.

Keutamaan doa ini dibanding bentuk istighfar yang lain adalah :
– Nabi Shallalahu ‘alahi wasallam mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (penetapan Tauhid Ar Rububiyyah), Dan bahwa Allah adalah Al Ma’buud (sesembahan) yang haq dan tidak ada sesembahan yang haq selainNya. Maka Dia adalah satu-satunya yang berhak diibadahi dan ini merupakan realisasi Tauhid Al Uluhiyyah.
– Pernyataannya bahwa ia senantiasa tegak diatas janji dan kokoh diatas ikatan berupa iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, seluruh nabi dan rasul-Nya. Menjalankan segenap ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya. Ia akan menjalaninya sesuai kemampuan dan kesanggupannya.
– Kemudian dia berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa dari seluruh kejelekan apa yang telah dia perbuat, baik sikap kurang dalam menjalani apa yang Allah wajibkan baginya yaitu mensyukuri nikmat-Nya ataupun berupa perbuatan dosa. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menisbatkan keburukan kepada diri beliau sendiri, bukan kepada Allah Ta’alaa dan ini merupakan bentuk cara beradab kepada Allah, meskipun kita yakin bahwa segala sesuatu baik yang baik maupun yang buruk semuanya berasal dari Allah dan karena takdirNya.
– Kemudian ia mengakui akan nikmat Allah yang terus datang beruntun dan anugerah-Nya serta pemberian -Nya yang tiada pernah berhenti.
– Dan dia mengakui atas dosa-dosanya, sehingga iapun lantas memohon ampunan kepada Allah Suhhanahu wa Ta’ala dari itu semua dengan segenap pengakuannya bahwa tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Allah Suhhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah paling sempurna apa yang ada pada sebuah doa. Kerana itu ia menjadi seagung-agungnya bentuk istighfar dan yang paling utama dan paling luas kandungan maknanya yang mesti akan mendatangkan ampunan bagi dosa-dosa.

Hanyalah yang mengucapkan doa ini dan menjaganya yang akan memperoleh janji yang mulia dan pahala serta ganjaran besar ini, karena ia telah membuka harinya dan menutupnya dengan penetapan Tauhidullah baik Rububiyyah-Nya dan Ululhiyyah-Nya. Dan pengakuan dirinya sebagai hamba yang siap menghamba dan persaksiannya terhadap anugerah dan nikmat Allah. Pengakuannya dan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan dirinya dan permohonan maaf dan ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, diiringi dengan rasa tunduk dan rendah dihadapan-Nya untuk senantiasa patuh dan taat kepada-Nya. Ini semua merupakan cakupan makna yang utama dan sifat yang mulia yang ia buka dan tutup lembaran siangnya. Yang pantas bagi orang yang mengucapkan dan menjaganya mendapat maaf dan ampunan, terbebas dari neraka dan masuk syurga.
Wallahu a’lam bisshowab.
Kita memohon kepada Allah Yang Maha Mulia keutamaan dan anugerah-Nya.
(Lihat kitab Fiqhul Ad’iyyah wal adzkar II/17-20. As Syaikh Abdur Rozaq bin abdil Muhsin Al Badr. )
– See more at: http://www.voa-islam.com/read/doa/2010/01/21/2797/keutamaan-sayyidul-istighfar/#sthash.dms0KqRO.dpuf

Keutamaan Sayyidul Istighfar

SAYYIDUL ISTIGHFAR

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ, خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ, وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اِسْتَطَعْتُ, أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ, أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي; فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

(Allahumma Anta Robbi, Laa Ilaaha Illa Anta, Kholaqtani wa ana abduKa, wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, Audzubika min syarri maa shona’tu, Abu’u laka bi ni’matiKa ‘alaiyya wa abu’u laKa bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru dzunuuba illa Anta )

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.

Kapan membacanya?
Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum petang hari, maka dia termasuk penduduk syurga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka dia termasuk penduduk syurga.” (HR. Al-Bukhari – Fathul Baari 11/97)

Kandungan maknanya?
Ini adalah doa  agung yang mencakup banyak makna : taubat, merendahkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan kembali menghadap kepada-Nya. Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam menamainya sebagai Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yang demikian itu karena  melebihi seluruh bentuk istighfar dalam hal keutamaan. Dan lebih tinggi dalam hal kedudukan.
Diantara makna sayyid adalah orang yang melebihi kaumnya dalam hal kebaikan dan yang berkedudukan tinggi dikalangan mereka.
Keutamaan doa ini dibanding bentuk istighfar yang lain adalah :

– Nabi Shallalahu ‘alahi wasallam mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (penetapan Tauhid Ar Rububiyyah), Dan bahwa Allah adalah Al Ma’buud (sesembahan) yang haq dan tidak ada sesembahan yang haq  selainNya. Maka Dia adalah satu-satunya yang berhak diibadahi dan ini merupakan realisasi Tauhid Al Uluhiyyah.

– Pernyataannya bahwa ia senantiasa tegak diatas janji dan kokoh diatas ikatan berupa iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, seluruh nabi dan rasul-Nya. Menjalankan segenap ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya. Ia akan menjalaninya sesuai kemampuan dan kesanggupannya.

– Kemudian dia berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa dari seluruh kejelekan apa yang telah dia perbuat, baik sikap kurang dalam menjalani apa yang Allah wajibkan baginya yaitu mensyukuri nikmat-Nya ataupun berupa perbuatan dosa. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menisbatkan keburukan kepada diri beliau sendiri, bukan kepada Allah Ta’alaa dan ini merupakan bentuk cara beradab kepada Allah, meskipun kita yakin bahwa segala sesuatu baik yang baik maupun yang buruk semuanya berasal dari Allah dan karena takdirNya.

– Kemudian ia mengakui akan nikmat Allah yang terus datang beruntun dan anugerah-Nya serta pemberian -Nya yang tiada pernah berhenti.

– Dan dia mengakui atas dosa-dosanya, sehingga iapun lantas memohon ampunan kepada Allah Suhhanahu wa Ta’ala dari itu semua dengan segenap pengakuannya bahwa tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Allah Suhhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah paling sempurna apa yang ada pada sebuah doa. Kerana itu ia menjadi seagung-agungnya bentuk istighfar dan yang paling utama dan paling luas kandungan maknanya yang mesti akan mendatangkan ampunan bagi dosa-dosa.

Hanyalah yang mengucapkan doa ini dan menjaganya yang akan memperoleh janji yang mulia dan pahala serta ganjaran besar ini, karena ia telah membuka harinya dan menutupnya dengan penetapan Tauhidullah baik Rububiyyah-Nya dan Ululhiyyah-Nya. Dan pengakuan dirinya sebagai hamba yang siap menghamba dan persaksiannya terhadap anugerah dan nikmat Allah. Pengakuannya dan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan dirinya dan permohonan maaf dan ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, diiringi dengan rasa tunduk dan rendah dihadapan-Nya untuk senantiasa patuh dan taat kepada-Nya. Ini semua merupakan cakupan makna yang utama dan sifat yang mulia yang ia buka dan tutup lembaran siangnya. Yang pantas bagi orang yang mengucapkan dan menjaganya mendapat maaf dan ampunan, terbebas dari neraka dan masuk syurga.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Mulia  keutamaan dan anugerah-Nya.

(Lihat kitab Fiqhul Ad’iyyah wal adzkar II/17-20. As Syaikh Abdur Rozaq bin abdil Muhsin Al Badr. )

– See more at: http://www.voa-islam.com/read/doa/2010/01/21/2797/keutamaan-sayyidul-istighfar/#sthash.dms0KqRO.dpuf

Keutamaan Sayyidul Istighfar

SAYYIDUL ISTIGHFAR

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ, خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ, وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اِسْتَطَعْتُ, أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ, أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي; فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

(Allahumma Anta Robbi, Laa Ilaaha Illa Anta, Kholaqtani wa ana abduKa, wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, Audzubika min syarri maa shona’tu, Abu’u laka bi ni’matiKa ‘alaiyya wa abu’u laKa bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru dzunuuba illa Anta )

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.

Kapan membacanya?
Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum petang hari, maka dia termasuk penduduk syurga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka dia termasuk penduduk syurga.” (HR. Al-Bukhari – Fathul Baari 11/97)

Kandungan maknanya?
Ini adalah doa  agung yang mencakup banyak makna : taubat, merendahkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan kembali menghadap kepada-Nya. Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam menamainya sebagai Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yang demikian itu karena  melebihi seluruh bentuk istighfar dalam hal keutamaan. Dan lebih tinggi dalam hal kedudukan.
Diantara makna sayyid adalah orang yang melebihi kaumnya dalam hal kebaikan dan yang berkedudukan tinggi dikalangan mereka.
Keutamaan doa ini dibanding bentuk istighfar yang lain adalah :

– Nabi Shallalahu ‘alahi wasallam mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (penetapan Tauhid Ar Rububiyyah), Dan bahwa Allah adalah Al Ma’buud (sesembahan) yang haq dan tidak ada sesembahan yang haq  selainNya. Maka Dia adalah satu-satunya yang berhak diibadahi dan ini merupakan realisasi Tauhid Al Uluhiyyah.

– Pernyataannya bahwa ia senantiasa tegak diatas janji dan kokoh diatas ikatan berupa iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, seluruh nabi dan rasul-Nya. Menjalankan segenap ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya. Ia akan menjalaninya sesuai kemampuan dan kesanggupannya.

– Kemudian dia berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa dari seluruh kejelekan apa yang telah dia perbuat, baik sikap kurang dalam menjalani apa yang Allah wajibkan baginya yaitu mensyukuri nikmat-Nya ataupun berupa perbuatan dosa. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menisbatkan keburukan kepada diri beliau sendiri, bukan kepada Allah Ta’alaa dan ini merupakan bentuk cara beradab kepada Allah, meskipun kita yakin bahwa segala sesuatu baik yang baik maupun yang buruk semuanya berasal dari Allah dan karena takdirNya.

– Kemudian ia mengakui akan nikmat Allah yang terus datang beruntun dan anugerah-Nya serta pemberian -Nya yang tiada pernah berhenti.

– Dan dia mengakui atas dosa-dosanya, sehingga iapun lantas memohon ampunan kepada Allah Suhhanahu wa Ta’ala dari itu semua dengan segenap pengakuannya bahwa tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Allah Suhhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah paling sempurna apa yang ada pada sebuah doa. Kerana itu ia menjadi seagung-agungnya bentuk istighfar dan yang paling utama dan paling luas kandungan maknanya yang mesti akan mendatangkan ampunan bagi dosa-dosa.

Hanyalah yang mengucapkan doa ini dan menjaganya yang akan memperoleh janji yang mulia dan pahala serta ganjaran besar ini, karena ia telah membuka harinya dan menutupnya dengan penetapan Tauhidullah baik Rububiyyah-Nya dan Ululhiyyah-Nya. Dan pengakuan dirinya sebagai hamba yang siap menghamba dan persaksiannya terhadap anugerah dan nikmat Allah. Pengakuannya dan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan dirinya dan permohonan maaf dan ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, diiringi dengan rasa tunduk dan rendah dihadapan-Nya untuk senantiasa patuh dan taat kepada-Nya. Ini semua merupakan cakupan makna yang utama dan sifat yang mulia yang ia buka dan tutup lembaran siangnya. Yang pantas bagi orang yang mengucapkan dan menjaganya mendapat maaf dan ampunan, terbebas dari neraka dan masuk syurga.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Mulia  keutamaan dan anugerah-Nya.

(Lihat kitab Fiqhul Ad’iyyah wal adzkar II/17-20. As Syaikh Abdur Rozaq bin abdil Muhsin Al Badr. )

– See more at: http://www.voa-islam.com/read/doa/2010/01/21/2797/keutamaan-sayyidul-istighfar/#sthash.dms0KqRO.dpuf

LPG – EL PI JI


LPG merupakan bahan bakar berupa gas yang dicairkan (Liquified Petroleum Gasses) merupakan produk minyak bumi yang diperoleh dari proses distilasi bertekanan tinggi. Fraksi yang digunakan sebagai umpan dapat berasal dari beberapa sumber yaitu dari Gas alam maupun Gas hasil dari pengolahan minyak bumi (Light End). Komponen utama LPG terdiri dari Hidrokarbon ringan berupa Propana (C3H8) dan Butana (C4H10), serta sejumlah kecil Etana (C2H6,) dan Pentana (C5H12).

LPG digunakan sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan industri. LPG terutama digunakan oleh masyarakat tingkat menengah keatas yang kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ketahun karena termasuk bahan bakar yang ramah lingkungan. Sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga, LPG harus memenuhi beberapa persyaratan khusus dengan tujuan agar aman dipakai dalam arti tidak membahayakan bagi si pemakai dan tidak merusak peralatan yang digunakan serta effisien dalam pemakaiannya.

Oleh sebab itu untuk menjaga faktor keselamatan, LPG dimasukan ke dalam tabung yang tahan terhadap tekanan yang terbuat dari besi baja dan dilengkapi dengan suatu pengatur tekanan. Disamping itu untuk mendeteksi terjadinya kebocoran LPG, maka LPG sebelum dipasarkan terlebih dahulu ditambahkan zat pembau (odor) sehingga apabila terjadi kebocoran segera dapat diketahui. Pembau yang ditambahkan harus melarut sempurna dalam LPG, tidak boleh mengendap. Untuk maksud itu digunakan etil merkaptan (C2H5SH) atau butil merkaptan (C4H9SH). Sedangkan dibidang industri produk elpiji digunakan sebagai pengganti freon, aerosol, refrigerant / cooling agent, kosmetik dan dapat pula digunakan sebagai bahan baku produk khusus.

Jenis LPG

Sesuai dengan penggunaannya sebagai bahan bakar elpiji dibedakan atas:

    1. LPG Mix

Adalah camuran propane dan butana dengan komposisi antara 70- 80% dan 20-30% volume dan diberi odorant (Mercaptant) dan umumnya digunakan untuk bahan bakar rumah tangga.

    1. LPG propane dan Elpiji butana.

Adalah elpiji yang masing-masing mengandung propane 95 % dan butana 97,5 % volume dan diberi odorant (mercaptant), umumnya digunakan untuk keperluan industri.

Persyaratan LPG


 

Syarat-syarat utama dalam pemakaian LPG adalah harus dipenuhinya:

  1. Syarat Pembakaran

Pada saat digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor LPG harus memberi warna api kompor yang biru dan tidak memberi asap. Agar api kompor berwarna biru, maka komposisi campuran propana dan butana harus minimum 97,5%. Sebaliknya jika LPG mengandung fraksi C5+(C6 heavier) lebih dari maksimumnya yaitu 2,0% maka nyala api kompor agak kemerah-merahan. Jadi agar syarat pembakaran menjadi baik maka komposisi C2 harus maksimum 0,2% vol, C3 dan C4 minimum 97,5% vol serta kandungan C5+(C6 heavier) maksimum 2,0% vol.

  1. Syarat Penguapan

Kemampuan menguap adalah sifat penting dalam penggunaan, LPG harus cukup mudah menguap agar mudah dinyalakan diwaktu dingin. Seperti diketahui saat dalam tabung gas LPG adalah berbentuk cair, namun saat dipakai dalam kompor (pada tekanan atmosfer) dengan cepat LPG berubah menjadi gas. Untuk memenuhi persyaratan penguapan maka Tekanan Uap LPG tidak boleh lebih dari 120 psig.

  1. Syarat Keselamatan

Dalam pemakaiannya sebagai bahan bakar rumah tangga, jika terjadi kebocoran maka LPG harus cepat dapat dideteksi dengan diberi bau yang khas, agar baunya cepat dikenali saat terjadi kebocoran maka pada LPG diberi campuran Ethyl atau Buthyl mercaptan sebanyak 50/100 AG.

Saat masih di pabrik, jika terjadi kebocoran LPG di malam hari akan sangat berbahaya, karena Spesific Grafity LPG sama dengan atau lebih besar dari SG udara, maka LPG akan terdistribusi merata di atas tanah pada malam hari.

Untuk menjaga agar cairan LPG tidak merusak tabung gas dalam penyimpanan atau merusak kompor dalam penggunaannya dengan terjadinya proses pengkaratan maka harus ada persyaratan pemeriksaan Copper strip pada 100oF selama 1 jam dengan nilai maksimum No. 1.

  1. Syarat Kebersihan

Syarat kebersihan secara umum adalah dibatasinya kandungan air dan kandungan belerang, dimaksudkan agar pada penggunaannya LPG tidak memberikan kotoran sama sekali.

Sifat LPG

Perlu diketahui, gas LPG bersifat flammable (mudah terbakar). Dalam batas flammabality, LPG adalah sumber api yang terbuka. Sehingga letupan (percikan api) yang sekecil apapun dapat segera menyambar gas LPG.

Maka untuk menjaga keamanan pastikan bahwa bau gas LPG telah hilang sama sekali dari dalam rumah, walaupun membutuhkan waktu yang agak lama. Hal ini karena sifat gas LPG yang sangat lamban berputar di udara.

Sebagai bahan bakar, gas LPG mudah terbakar apabila terjadi persenyawaan di udara. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan perlu diketahui beberapa sifat khususnya.

  1. Tekanan gas LPG cukup besar, sehingga bila terjadi kebocoran LPG akan membentuk gas secara cepat, memuai dan sangat mudah terbakar.

  2. LPG menghambur di udara secara perlahan sehingga sukar mengetahuinya secara dini.

  3. Berat jenis LPG lebih besar dari pada udara sehingga cenderung bergerak kebawah.

  4. LPG tidak mengandung racun.

  5. Daya pemanasannya cukup tinggi, namun tidak meninggalkan debu dan abu (sisa pembakaran).

  6. Cara penggunaannya cukup mudah dan praktis.

Parameter Uji dan Spesifikasi LPG

Parameter uji LPG beserta spesifikasinya sebagai berikut:

Analisa

Satuan

Metoda

Min

Max

Specific Gravity at 60 / 60oF

ASTM D-1657

To be Reported

Komposisi:

ASTM D-2163

C2

%Vol

0,2

C3 + C4

%Vol

97,5

C5 + (C5 and heavier)

%Vol

2,0

RVP at 100oF

psi

ASTM D-1267

120

Weathering test at 36oF

%Vol

ASTM D-1837

95

Total Sulfur

grams/100cuft

ASTM D-2784

15+)

Copper Corrosion 1 hours/1000F

ASTM D-1838

No. 1

Ethyl or Buthyl Mercaptan added

mL/1000 AG

50*)

Water Content

Visual

No Free Water

+) Sebelum ditambah ethyl atau buthyl mercaptan

*) Tidak dilakukan di laboratorium

Ref. Dirjen migas no. 25K/36/DDJM/1990,Tgl. 14 Mei 1990

Proses Pemisahan LPG

Proses pemisahan LPG berlangsung pada tekanan tinggi dan terjadi pada dua buah kolom pemisahan yaitu:

  1. Deethanizer

Deethanizer adalah proses pemisahan kandungan gas etana yang terkandung didalam umpan yang berasal dari puncak kolom stabilizer pada proses distilasi, dengan menggunakan prinsip distilasi bertekanan tinggi. Pada proses Deethanizer ini akan beroperasi dengan baik apabila semua etana yang terkandung dapat dipisahkan, sedang cairan di dasar kolom yang berupa cairan propana dan butana akan dipisahkan di kolom Depropanizer, sedang gas

etana akan keluar dari puncak kolom serta dialirkan sebagai gas sistim atau untuk diproses lebih lanjut.

  1. Depropanizer

Di kolom depropanizer ini umpannya dari cairan dasar kolom deethanizer yang akan dipisahkan antara Propana dan Butana, sistim proses di depropanizer dan di deethanizer sama, baik kondisi maupun peralatannya. Adapun proses depropanizer diatur dengan tekanan tinggi dan temperatur relatif rendah. Diharapkan fraksi ringan akan menguap dan keluar dari puncak kolom sebagai produk propana, sedang cairan yang ada didasar kolom sebagai produk Butana.

http://liguifiedpetroleumgas.blogspot.com/

Kesesatan Sekte Wahabi Kerajaan Arab Saudi


 

Perbedaan Antara Wahbiyyah dan Wahhabiyyah

Wahhabiyyah Rustumiyyah

Dongeng ini sangat populer di kalangan Salafi-Wahhabi, padahal cerita ini adalah fiktif belaka dan tidak lebih dari hanya sebuah dongeng semata, tapi aneh nya dongeng ini bukan saja di sukai oleh anak-anak, tapi justru sangat populer dan di sukai oleh Ustadz atau Syekh Salafi-Wahhabi, Cuma saja dongeng ini beredar dengan beragam judul, dikalangan Salafi-Wahhabi lebih sering didongengkan dengan judul Siapakah Wahhabi sesungguhnya ? dan Inilah Wahhabi Sesungguhnya dan bahkan karena terlalu terbawa dan percaya dengan dongeng populer Wahhabiyyah Rustumiyyah ini, tanpa mencari tau kebenaran nya, sebagian orang menyangka cerita fiktif tersebut adalah sebuah kenyataan, meskipun tidak bisa membuktikan kebenaran ceritanya, karena kebiasaan para pengikut mereka yang hanya bisa membaca tapi tidak mencari Fakta yang mengerikan, hanya bisa mendengar tak bisa berkomentar, sehingga dongeng tersebut terus disebarkan oleh orang-orang yang tidak punya malu dan tanggung jawab (semoga Allah membalasnya dengan balasan yang setimpal).

Dongeng Populer Wahhabiyyah Rustumiyyah ini menceritakan tentang ajaran seorang yang bernama Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum [208 H/823 M] atau konon disebut dengan nama Wahhabi, dan di akhir cerita di vonis sesat oleh seorang Ulama bernama Al-Lakhmi atau nama lengkap Ali bin Muhammad Al-Lakhmi [478 H/1085 M], adapun bila ada kesamaan nama atau sebutan dalam dongeng tersebut hanyalah sebuah kebetulan atau memang ada misi dibalik nama-nama tersebut, namun nama-nama dan sebutan dalam dongeng populer ini tidak ada hubungan dengan SalafiWahhabi dengan bermacam variannya, yang juga difatwakan sesat oleh Ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah seluruh dunia, karena Wahhabi yang difatwakan sesat oleh Ulama Ahlus Sunnah sedunia adalah ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi [1206 H/1791M], sekali lagi bahwa Wahhabi dalam dongeng tersebut tidak ada hubungan apa pun dengan Wahhabi yang beredar disekeliling kita sekarang ini atau yang sering menyebut diri nya Salafimari kita ikuti dongeng populer ini sampai akhir, agar generasi kita tidak termakan oleh sebuah dongeng atau cerita yang tidak bisa dibuktikan kebenaran nya (semoga Allah menjaga kita semua dari fitnah Agama ini).

Begini Cerita nya !  Dongeng ini kami copas dari situs Syekh Salafi-Wahhabi, tapi ingat ini hanya sebuah dongeng ! harap baca sampai tuntas, agar tidak salah paham.

INILAH USTADZ SANG PENDUSTA

Yth – Abu Yahya Badrussalam. Lc.  

Lahir pada tanggal 27 April 1976 di desa Kampung Tengah, Cileungsi, Bogor, tempat dimana studio Radio Rodja berdiri.

Pendidikan

Pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas Hadits pada tahun 2001

Tampang BEGO dari Sang Pendusta…tapi dalam dirinya tersimpan kedengkian yang sangat teramat sangat kepada umat islam yang tidak sefaham

.

Dongeng Wahhabiyyah Rustumiyyah

(awal dongeng)– Cerita ini berawal dari dialog antara Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas Islam di Maroko (tidak jelas Universitasnya).

Salah seorang Dosen itu berkata: Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia , demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin sangat condong kepadanya,dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Sekte, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Sekte Wahhabi.”

Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: Sungguh banyak pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.

Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitasini terdapat Perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya .Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”

Dosen itu berkata : ”saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.

Asy Syaikh berkata : saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini.”

Dosen itu pun berkata :baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqah Wahhabi adalah Firqah yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi ’yar yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahhabiyyun membangun sebuah masjid,”Bolehkan kita Sholat di Masiid yang dibangun olehorang-orang Wahhabi itu ??”maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:Firqah Wahhabiyyah adalah firqah yang sesat, yang masjidnya wajib untuk dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu ’minin, dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin ”.

Dosen itu berkata lagi :Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,”

Kemudian Asy Syaikh menjawab : Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu !”

Dosen itu berkata: ”anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya ??

Asy Syaikh menjawab:dari sampul luarnya saja.”

Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: ”Namanya adalah Kitab Al-Mi’yar , yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H dikota Fas, di Maroko.”

Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya:wahai syaikh, tolong catat baik- baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan Biografi Imam Al- Lakhmi ??

Dosen itu berkata:Ya,”kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan Biografi ulama. Didalam kitab tersebut terdapat Biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.

Kemudian Asy Syaikh berkata : Kapan beliau wafat?

Yang membaca kitab menjawab: ”beliau wafat pada tahun 478 H

Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: wahai syaikh tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmikemudian ditulis.

Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata : Wahai para masyaikh….!!! Saya ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir) ???? kecuali kalau dapat wahyu????”

Mereka semua menjawab :Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda !”

Asy syaikh berkata lagi : bukankah Wahhabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab ????

Mereka berkata : ”Siapa lagi???

Asy Syaikh berkata:Coba tolong perhatikan..!!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, …

Nah,ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belum lahir. bahkan sampai 22 generasi keatas dari beliau sama belum yang lahir.apalagi berdakwah..

KAIF ??? GIMANA INI???…”

(Merekapun terdiam beberapa saat..)

Kemudian mereka berkata:Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahhabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut ??” mohon dijelaskan dengan dalil yang memuaskan, kami ingin mengetahui yang sebenarnya !

Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang : Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq Fii SyimalAfriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Perancis ?

Dosen itu berkata:Ya ini ada,

Asy Syaikh pun berkata :Coba tolong buka di huruf “ wawu ... maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “ Wahhabiyyah

Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang biografi firqah Wahhabiyyah itu.

Dosen itu pun membacakannya: Wahhabi atau Wahhabiyyah adalah sebuah sekte KHAWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al- Abadhi, Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H dikota Thorat di Afrika Utara.

Penulis mengatakan bahwa firqah ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlussunnah.

Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata :Inilah Wahhabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah Wahhabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki. Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah   ,  maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khawarij, karena dakwah beliau ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul. “………………………………(akhir dongeng)

 

Itulah dongeng lengkap yang sering diceritakan oleh para Syekh Salafi-Wahhabi kepada pengikut setia mereka, hati-hati jangan terjebak oleh dongeng ini …..!!!

BENARKAH CERITA ITU SEBUAH DONGENG  

Dalam dongeng populer itu menceritakan bahwa ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum bernama Wahhabiyah nisbah kepada nama Abdul Wahhab, ternyata ajaran yang disebarkan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum itu bukan Wahhabiyyah ( الوهابيه ) tapi Wahbiyyah ( الوهبية ), lalu kenapa juga ajaran nya disebut Wahbiyyah ? apakah Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum ? nah tentu saja bukan karena ajaran Wahbiyyah tersebut adalah nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H) [عبد الله بن وهب الراسبي] [Lihat Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya- halaman 145], lalu pecah kepada beberapa firqah, nah firqah nya Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum di sebut Wahbiyyah Rustumiyyah (bukan Wahhabiyyah Rustumiyyah), bahkan dalam kitab yang tersebut di atas (rujukan dalam dongeng) sangat jelas bahwa Al-Lakhmi di tanyakan tentang kaum Wahbiyyah, bukan tentang Wahhabiyyah, tetapi dalam dongeng disebutkan bahwa Al-Lakhmi ditanyakan tentang Wahhabiyyah, ini jelas-jelas tipuan dan pembodohan, simak penjelasan berikut ini :

Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun juzuk II halaman 98, beliau berkata :

وكان يزيد قد أذل الخوارج ومهد البلاد فكانت ساكنة أيام روح ورغب في موادعة عبد الوهاب بن رستم وكان من الوهبية فوادعه

Perhatikan dari teks di atas

(ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ)

dan adalah Abdul Wahhab bin Rustum sebagian dari

 Wahbiyyah

Maksudnya, Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum adalah pengikut Wahbiyyah bukan Wahhabiyyah, dan juga bukan pendiri Wahbiyyah sehingga ada anggapan bahwa ajarannya bernama Wahhabiyyah nisbah kepada namanya Abdul Wahhab, sungguh anggapan yang sangat keliru.

Perbedaan antara Wahbiyyah dan Wahhabiyyah bagaikan langit dan bumi, ajuh ap dari panggang baik dari penulisan atau bacaannya, atau pun pada nisbah dan ajarannya, tapi kemiripan penulisan tulisan dan bacaannya membantu para Syekh Salafi-Wahhabi untuk menipu para simpatisan mereka, maka tertipulah orang-orang yang hanya bisa melihat tapi tak mau berpikir. (na’uzubillah).

Bahkan dalam Al-Mi’yaar al-Mu’rib wa al-Jaami’ al-Mughrib ‘an Fataawaa Ifriiqiyyah wa al-Andalus wa al-Maghrib juzuk 11 halaman 168 di tulis oleh Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi (sebagaimana rujukan dalam dongeng di atas)

وسئل اللخمي عن قوم من الوهبية سكنوا بين أظهر أهل السنة زمانا وأظهروا الآن مذهبهم وبنوا مسجدا ويجتمعون فيه ويظهرون مذهبهم في بلد فيه مسجد مبني لأهل السنة زمانا ، وأظهروا أنه مذهبهم وبنوا مسجدا يجتمعون فيه ويأتي الغرباء من كل جهة كالخمسين والستين ، ويقيمون عندهم ، ويعملون لهم بالضيافات ، وينفردون بالأعياد بوضع قريب من أهل السنة . فهل لمن بسط الله يده في الأرض الإنكار عليهم ، وضربهم وسجنهم حتى يتوبوا من ذلك ؟

Perhatikan dari teks di atas

(ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻠﺨﻤﻲ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ)

Dan Al-Lakhmi ditanyakan tentang satu kaum dari Wahbiyyah

MaksudnyaImam Al-Lakhmi ditanyakan tentang satu firqah dari Wahbiyyah, sementara dalam dongeng di atas disebutkan Al-Lakhmi ditanyakan tentang firqah Wahhabiyyah, sangat jelas ini tipuan belaka.

 Wahhabiyyah dalam penulisan bahasa Arab ber-tasydid pada (Ha) dan ada (Alif) di depan (Ha), sementara Wahbiyyah tulisan nya tidak ber-tasydid pada (Ha) dan tidak ada (Alif) di depan (Ha), maka fatwa Al-Lakhmi bukan tentang faham Wahhabiyyah, tapi tentang firqah Wahbiyyah, dan tidak ada hubungan antara  Wahhabiyyah dan Wahbiyyah Rustumiyyah ibadhiyyah.

Dan dalam buku seorang sejarawan asal  Perancis, sebagaimana rujukan dalam dongeng itu pula, yaitu Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil [1364 H/1945 M], lihatlah penyimpangan cerita itu dengan apa yang tersebut dalam buku rujukan nya, ini tulisan Al-Faradbil dalam buku nya :

وقد سموا أيضا الوهبيين نسبة إلى عبد الله بن وهب الراسبي ، زعيم الخوارج

Dan sungguh mereka dinamakan Wahbiyyin (الوهبيين) karena dinisbahkan kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi, yang di tuduh sebagai Khawarij

[Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya– halaman 145].

Ternyata dalam buku Al-Faradbil juga tertulis Wahbiyyin, bukan Wahhabiyyin, dan dengan sharih disebutkan nisbahnyaWahbiyyah atau Wahbiyyin bukan nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum sebagaimana dalam dongeng di atas, akan tetapi Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.

Semakin terang benderang upaya dusta / makar para Syekh SalafiWahhabi hendak memutar balikkan fakta, sungguh tipuan yang hampir sempurna, banyak trik yang telah mereka susupi dalam kitab, buku, situs dan blog mereka, dan para pengikut mereka tidak pernah mempertanyakan atau membuktikan kebenarannya, sikap para pengikut mereka yang hanya bisa taqlid buta, semakin mendukung para syekh akan terus mempertahankan taktik ini, (semoga membuka mata para pecinta dongeng itu).

Dan perhatikan nama-nama kitab Wahbiyyah berikut ini :

كتـاب ( تلخيص عقائد الوَهْبِيَّة في نكتة توحيد خالق البرية ) * للشيخ إبراهيم بن بيحمان اليسجني من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر

( ت : 1232هـ / 1817م )

كتاب ( العقيدة الوَهْبِيَّة ) * للشيخ أبي مسلم ناصر بن سالم البَهْلانِي من علماء عُمَان

( ت : 1339هـ / 1920م )

كتاب ( دفع شبه الباطل عن الإباضية الوَهْبِيَّة المحقة ) * للشيخ أبي اليقظان إبراهيم من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1393هـ / 1973م )

Perhatikan, ini pengakuan dan pernyataan dari mereka sendiri bahwa faham mereka bernama Wahbiyyah– الوَهْبِيَّة bukan Wahhabiyyah, semua mata pun bisa melihat dengan sangat jelas, hanya hati yang ingkar yang masih mempertahankan cerita yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, ketika cerita atau sejarah sudah tidak lagi sesuai dengan fakta, maka pantaslah cerita itu masuk dalam kategori Dongeng.

Silahkan saja bercerita, tapi bukan untuk di percaya, tapi seharusnya seorang Ustadz tidak mengelabui murid-muridnya dengan cerita dusta, apalagi setingkat Ustadz lulusan luar negeri, sungguh sangat disayangkan. (semoga allah membuka mata mereka)

WAHHABI ADALAH NAMA AJARAN SYEKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB AT-TAMIMI AN-NAJDI

Berikut bukti pengakuan dari Syaikh Wahhabi yakni Ibnu Baz dalam kitab Fatawa Nur ‘ala al-darb pada soal yang ke 6 sebagai berikut :

س 6 – يقول السائل: فضيلة الشيخ، يسمي بعض الناس عندنا العلماء في المملكة العربية السعودية بالوهابية فهل ترضون بهذه التسمية؟ وما هو الرد على من يسميكم بهذا الاسم؟

Soal ke 6 – Seseorang bertanya kepada Syaikh : Sebagian manusia menamakan Ulama-Ulama di Arab Saudi dengan nama Wahhabi [Wahhabiyyah], adakah antum ridha dengan nama tersebut ? dan apa jawaban untuk mereka yang menamakan antum dengan nama tersebut  ?

Syaikh Ibnu Baz menjawab sebagai berikut :

الجواب: هذا لقب مشهور لعلماء التوحيد علماء نجد ينسبونهم إلى الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب رحمة الله عليه

Jawab : Penamaan tersebut masyhur untuk Ulama Tauhid yakni Ulama Nejed [Najd], mereka menisbahkan para Ulama tersebut kepada Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab.
dan bahkan Ibnu Baz memuji nama tersebut, ia berkata :

فهو لقب شريف عظيم

Nama itu (Wahhabiyah) adalah panggilan yang sangat mulia dan sangat agung”.

Sungguh pengakuan yang sangat jujur yang seharusnya dimiliki oleh semua SyekhSalafiWahhabi, kenapa harus main curang kalau memang yakin dengan kebenaran dakwah Wahhabi ? lagi pula kebenaran dan kesesatan bukan pada sebuah nama atau julukan, justru kebohongan yang semakin lama semakin banyak Nampak kepermukaan, akan membuat para penggemar SalafiWahhabi kecewa, ketika mereka tahu ternyata Wahhabi bukan bermanhaj Salaf tapi dikuasai oleh RUH Free Masonry.

KECEROBOHAN PARA SYEKH SALAFIWAHHABI DALAM DONGENG INI

  1. Menghubungkan Fatwa tentang firqah Wahbiyyah dengan firqah Wahhabiyyah.
  2. Menghilangkan atau menganggap sama Wahbiyyah dengan Wahhabiyyah.
  3. Cerita nya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam kitab atau buku rujukan yang tersebut dalam cerita itu.
  4. Menceritakan bahwa Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum adalah pendiri Wahbiyyah, agar sesuai dengan tujuan cerita.
  5. Ternyata tidak ada ajaran bernama Wahhabi pada masa daulah Rustumiyyah.
  6. Wahbiyyah ternyata nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.
  7. Main curang untuk membela satu paham yang mereka anggap benar.
  8. Menutupi kebohongan dengan kedustaan , atau lebih jelasnya lagi Najis disucikan  dengan kotoran.

MISI DIBALIK DONGENG INI

Siapa pun bisa menebak apa misi di balik trik ini, trik yang sudah terlalu sering digunakan oleh para Syekh Wahabi Arab Saudi , walaupun trik ini kelihatan sangat super bodoh tapi tetap mereka pertahankan, karena sangat efektif mempengaruhi orang bodoh (awam), ideologi bodoh itu sangat ilmiah dan masuk akal di kalangan orang bodoh, tapi orang yang berpendidikan pasti bisa melihat apa maksudnya dongeng itu ? dia pasti bisa merasakan ada sesuatu di balik cerita yang tidak ada manfaat itu, dan bahkan sangat jelas dalam dongeng itu pun telah ada pembelaan terhadap ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab , kemiripan sebuah nama, mereka gunakan untuk menutupi kesesatan ajaran mereka, agar orang buta bertambah gelap dalam kebutaan nya, dan menyangka itulah Wahhabi sesungguhnya yang difatwakan sesat oleh ulama Ahlus Sunnah, dan ajaran sesat Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab pun terlepas dengan hanya sebuah dongeng belaka (na’uzubillah min dzalik).

FATWA ULAMA AHLUS SUNNAH WALJAMA’AH TENTANG AJARAN SYEKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB AT-TAMIMI

Al-Imam Ibn Abidin Al-Asy’ari Al-Hanafi , berkata :

Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah.

Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik.

Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H. (Hasyiyah Raddul Muhtar ‘ala Ad-Durr al-Mukhtar-juzuk 4- halaman 262).

Al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid An-Najdi Al-Asy’ari Al-Hanbali , berkata :

Abdul Wahhab bin Sulaiman At-Tamimi An-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah , yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru.Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan.

Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah.

Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya.Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang.

Beliau selalu berkata kepada masyarakatHati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.

Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya.

Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya. (As-Suhub Al-Wabilah ‘ala Dharaih Al-Hanabilah-halaman 275).

Al-Imam Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki Al-Asy’ari Asy-Syafi’I:

Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibnu Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah. (Fitnah Al-Wahhabiyah, halaman. 54).

Al-Imam Ahmad bin Muhammad As-Shawi Al-Asy’ari Al-Maliki:

Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah , dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin , sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah , mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta. (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain– juzuk 3- halaman 307).

Pandangan Ulama empat Madzhab di atas sangat jelas untuk ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi yang bernama Wahhabi , bukan untuk ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum atau Firqah Wahbiyyah Rustumiyyah Ibadhiyyah.

KESIMPULAN

~ Firqah yang difatwakan sesat oleh Al-Lakhmi dalam dongeng adalah ajaran yang dinisbahkan kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum yang bernama Wahhabiyyah, tapi kenyataan nya dalam rujukan kitab itu, bukan bernama Wahhabiyyah tapi Wahbiyyah.

~ Wahbiyyah bukan nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum, tapi nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.

~ Wahbiyyah dan Wahhabiyyah adalah dua nama untuk dua ajaran yang berbeda dan masa berbeda.

~ Wahhabi atau Wahhabiyyah yang telah difatwakan sesat oleh Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah semua Madzhab, sejak kemunculan nya sampai sekarang adalah ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi, dan tidak ada hubungan dengan fatwa Al-Lakhmi.

~ Ada misi di balik dongeng tersebut, mereka ingin membela ajaran Syekh mereka dengan cara berdusta dan membodohi para pengikut setia mereka, dan mengalihkan semua Fatwa Ulama hlus Sunnah Waljama’ah kepada ajaran lain yang hampir serupa nama nya dalam penulisan dan bacaannya.

~ Fatwa Ulama Ahlus Sunnah seluruh Madzhab, ditujukan kepada ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdi, yakni ajaran SalafiWahhabi.

~ Wahhabi dalam dongeng tersebut tidak ada hubungan dengan SalafiWahhabi, bukan sebagai bukti sesat nya atau tidak sesatnya.

~ Wahhabi yang sesungguhnya hanya ada satu yakni ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi, karena ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum tidak pernah dinamakan dengan nama Wahhabi kecuali hanya dalam dongeng itu saja.

~ Hati-hati membaca dongeng, jangan sampai anda termakan dan menjadi korban sebuah dongeng, apalagi dongeng dalam masalah Agama.

Semoga tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca semua, dan juga kepada siapa pun yang pernah termakan oleh dongeng itu, Wallahul muwaffiq ila aqwamit thoriq, amiin…

(Al-Asy’ari.Com)

Al Qur’an bukan makhluk


 

.

Telah tetap dari imam Al Karobisi Rohimahullah sesungguhnya beliau berkata:لفظى بالقرآن مخلوق lafazku dengan al-Quran itu makhluk” dan perkataan ini pun di fahami juga dari perkataan Imam Abu Hanifah RODIYALLAHU Anhu,dan juga di fahami dari sebagian perkataan Imam Al muhaddis AL Bukhari RA yang memiliki kita As Sohih Al Jami ,walau pun ada sebagian orang yang kurang memahami perkataan Al Bukhari ini,adapun Imam Ahmad,maka beliau menisbatkan label jahmiyah bagi orang yang berkata seperti itu,dan menyatakan bidah bagi yg berkata;Alquran bukan mahluk”, maka sebenarnya dalam masalah ini perlu perincian dan penjelasan yang detail,dengan meminta pertolongan Allah seraya memujiNya,aku berkata:

Abu Ĥaniifah yang jelas termasuk salaf menjelaskan apa yang dimaksud dengan ungkapan: “Al-Qur’an tidak diciptakan” ketika beliau mengatakan dalam Al-Fiqh Al-Akbar:

 

والقرآن كلام الله تعالى في المصاحف مكتوب, وفي القلوب محفوظ وعلى الألسن مقروء, وعلى النبي عليه الصلاة والسلام منزل, ولفظنا بالقرآن مخلوق وكتابتنا له مخلوقة وقرائتنا له مخلوقة والقرآن غير مخلوق. 

 

:Al-Qur’an adalah kalam Allah Taalaa, yang ditulis pada halaman (muşĥafs), dihafal di dalam hati, diucapkan di lidah, dan di turunkan kepada Nabi (sall-Allahu alaihi wa sallam),Dan Ucapan kami dgn bacaan Al-Qur’an itu diciptakan, dan bacaan kami dari Al-Qur’an itu dibuat[MAHLUK], tetapi Al-Qur’an tidak diciptakan.

 

Maka kata “Al-Qur’an”, dalam ujung perkataan beliau itu maksudnya adalah sifat kalam Allah” yakni kalimat “al Qur’an” DALAM PERKATAAN itu mengacu pada SIFAT kalam Allah yang qodim/ kekal yang bukan berupa huruf, jadi tdk ada perbedaan antara kalimat: “sifat kalam ” dan kalimat “Al-Qur’an,” keduanya adalah sinonim. abu hanifah lebih membuat jelas lagi ketika ia mengatakan dalam beberapa paragraf berikutnya:

 

ويتكلم لا ككلامنا ونحن نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا آلة ولاحروف. 

Allah berbicara, tetapi tidak seperti pembicaraan kita,kita berbicara melalui instrumen (pita suara, anggota badan, huruf,suara] tetapi Allah berbicara tanpa instrumen atau pun huruf.

 

والحروف مخلوقة وكلام الله تعالى غير مخلوق. 

 

huruf adalah ciptaan, dan kalam Allah itu tidak diciptakan.

 

Jadi Abuu Ĥaniifah mengatakan bahwa “Al-Qur’an itu kalam Allah,” dan kemudian berkata: “Allah berbicara dgn tanpa instrumen atau huruf.” lebih lanjut ia menekankan hal ini dengan mengatakan “huruf adalah ciptaan, dan kalam Allah itu tidak diciptakan,yakni sifat kalam Allah bukan dgn huruf…

 

Dari ungkapan beliau ini dapat disimpulkan bahwa kalaimat “Al-Qur’an” itu memiliki dua makna, Yang pertama adalah sifat kalam qodim Allah , sedangkan makna yang kedua adalah huruf, bahasa Arab fasih dalam mushaf, contoh makna ke dua ini seperti ketika seseorang berkata: “tolong bawakan al-Quran di rak”, yakni maksudnya mushaf. Ketika salaf berkata: “Al-Qur’an tidak diciptakan,”maka jelas yang dimaksud oleh mereka adalah makna yang pertama, bukan yang kedua.

Inilah penjabaran daripada perkataan Imam Abu Hanifah RA YANG MESTI KITA KETAHUI, Karena SELANJUTNYA kita akan menjumpai perkataan Al Imam Ahmad RA yg berkata;

 

ومن قال لفظي بالقرآن مخلوق فهو جهمي، ومن قال لفظي بالقرآن غير مخلوق فهو مبتدع 

 

: barang siapa berkata :lafazku dengan al-Quran adalah makhluk’ maka dia seorang Jahmi dan barang siapa berkata : ‘pelafadan Al Quran bukan makhluk’ maka dia mubtadi[ahli bidah]’ 

 

sedangkan sebagaimana telah di sebutkan bahwa imam Abu Hanifah berkata: ولفظنا بالقرآن مخلوق lafad kami dengan Al quran itu mahluk’ “maka ibarat dari perkataan beliau ini memungkinkan muncul pemaknaan atau penafsiran yg salah dan juga MUNGKIN  MAKNA yg benar.sebagaimana akan kita ketahui di depan

 

 

Adapun perkataan Imam Ahmad RA:

ومن قال لفظي بالقرآن مخلوق فهو جهمي، ومن قال لفظي بالقرآن غير مخلوق فهو مبتدع 

 

barang siapa berkata : lafazku dengan al-Quran adalah makhluk’ maka dia seorang Jahmi dan barang siapa berkata : ‘pelafadan Al Quran bukan makhluk’ maka dia mubtadi [ahli bidah] ‘

Maksud SEBENARNYA BELIAU DENGAN PERKATAANNYA TERSEBUT ADALAH sebuah bentuk larangan beliau atas dasar waronya beliau, supaya siapa pun jangan membahas dan berkata”lafad alquran itu mahluk atau pun bukan mahluk.

 

lalu jika seseorang berkata;lafadz kami dengan Al quran adalah mahluk /Al quran mahluk, “,perkataannya ini memiliki dua kemungkinan :

 

pertama jika maksud dari perkataan ” Al Quran ”  adalah bahwa bacaannya,huruf huruf dan suara dalam mushaf adalah mahluk, maka ini adalah benar,walau pun Salaf mengatakan bahwa perkataan Al-Qur’an mahluq/diciptakan dengan maksud huruf yang tertera dalam mushaf adalah mahluk, adalah bidah atau sebuah inovasi jelek,alasannya karena dapat menyesatkan seseorang,yakni  akan menimbulkan orang utk berpikir bahwa sifat Allah yakni kalamNya itu di ciptakan/dibuat. Ibnu Aabidiin dalam Ĥaasħiyah nya 3/712 (Dar Al-Fikr ) mengatakan: “Intinya bahwa yang tidak diciptakan itu adalah Al-Qur’an dgn makna “kalam Allah” yaitu sifat (abadi) yang tetap pada Diri-Nya, dan bukan “alquran” dalam arti ungkapkan huruf dalam mushaf. sehingga bukan makna ini yang dimaksudkan.

 

Kedua jika yang di maksud dengan perkataan ‘Al quran” itu adalah hanya tex dalam mushaf yg di baca lafadnya dan di sertai meniadakan sifat Kalam Allah ,dengan meyakini bahwa kalamnya hanyalah sesuatu yg di ciptakanNya yg di tulis di mushaf,atau di papan DLL,maka ini adaLah jahmi

 

Maka apa yang di maksud oleh imam Ahmad dari perkataan “lafadz alquran” itu memiliki dua makna:

Pertama adalah muta’aliq malfud;sesuatu yang taaluq dengan yang di lafadkan yakni sifat Kalam Allah,maka ini tdk ada kekuasaan bagi hamba dan tdk mungkin bisa di lakukannya,

Kedua adalah talafud; melafadkan tex dalam mushaf,maka ini adalah perbuatan hamba.

Nah jika seseorang berkata: “Al-Qur’an mahluq/diciptakan,” maka itu akan memberi waham;sangkaan atas makna yg pertama yakni sifat kalam Allah itu di ciptakan,maka ini jelas salah.dan begitu juga jika seseorang berkata Alquran tidak di ciptakan:,maka ini pun akan memberi waham; sangkaan atas makna yang kedua yakni sangkaan bahwa text huruf2 mushaf dan suara yg membaca mushaf tidak di ciptakan,dan ini pun salah, oleh sebab itu maka Imam Ahmad mengambil sikap melarang menyebutkan alquran mahluk atau pun bukan mahluk,karena keduanya akan menimbulkan waham;salah sangka. itulah kenapa Imam Ahmad RA berkata:

 

 

ومن قال لفظي بالقرآن مخلوق فهو جهمي، ومن قال لفظي بالقرآن غير مخلوق فهو مبتدع 

 

: barang siapa berkata :lafazku dengan al-Quran adalah makhluk’ maka dia seorang Jahmi dan barang siapa berkata : ‘pelafadan Al Quran bukan makhluk’ maka dia mubtadi[ahli bidah]’ 

 

Lalu Imam Abdullah Al bukhari menjelaskan dan memisahkan juga membedakan antara sesuatu yg berdiri pada Allah dengan sesuatu yang berdiri pada Hamba, Imam Bukhari menyebut mahluk bagi pelafadzan/lafad alquran yang ada pada mushaf alquran,begitu juga beliau menyatakan kemahlukan suara ,gerakan dan penulisan alquran,dan beliau menafikan kemahlukkan daripada mutaaliq malfud; yang di taaluqi oleh lafad Alquran yakni Kalam Allah,sebagaimana masalah ini telah di beberkannya dalam kitab kholqu af’al al ibad,di dalamnya beliau telah mendatangkan penjelasan dan perbedaan dengan luas antara keduanya yg dengannya hilanglah subhat dan jelaslah al haq,Berkata Al Bukhari RA DALAM KITABNYA KHOLQU AF’AL AL IBAD 2/119:

 

 بل المعروف عن أحمد وأهل العلم أن كلام الله تعالى غير مخلوق وما سواه فهو مخلوق وأنهم كرهوا البحث والتفتيش عن الأشياء الغامضة وكان يجتنب أهل الكلام والخوض والتنازع إلا فيما جاء به العلم وبينه النبي صلى الله عليه وسلم. 

 

:Bahkan yang maruf dari Imam Ahmad dan dari ahli ilmu sesungguhnya KALAM ALLAH itu tidak di ciptakan [bukan mahluk] dam adapun selainNya itu di ciptakan[mahluk] dan sesungguhnya mereka tidak suka membahas dan memperdalam atas hal hal yg samar dan karena itu imam ahmad menjauhi ahli kalam dan menjauhi memperdalam juga berselisih kecuali \dalam sesuatu yg datang ilmunya [yg qot’i] dan di jelaskan oleh Nbai SAW.

 

Dan telah mashur di kalangan salaf bahwa yg berkata lafad alquran mahluk adalah jahmi,dan yg berkata lafad alquran bukan mahluk itu adalah mubtadi[ahli bidah] yakni kebidahan selain bidah jahmiyah, karena perkataan ini [lafad alquran itu mahluk] memiliki dua makna;pertama mutaaliq malfud;yang taaluq dari sesuatu yg diBACA [Alquran] dengan maksud sifat kalam Allah yang bukan perbuatan hamba dan tdk kuasa di lakukannya, yang kedua adalah melafadkannya,ini adalah perbuatan hamba, dan ketika di katakan alquran mahluk dengan makna yg kedua, maka itu mencakup juga makna yg pertama,dan ini adalah perkataan jahmiyah,dan ketika pun di balik yakni berkata Alquran bukan mahluk,maka ini pun mencakup juga makna yg kedua,maka ini adalah biDah yg lain lagi yakni bidah kaum ittihad; allah/sifat Allah menyatu dgn mahluk,maka jelas perkataan “lafad alquran” ini memiliki makna yg mustarok;berbarengan antara makna talafud;melafAdkan dan makna mutaaliq malfud bih;yg taaluq dengan yg di lafadkan yakni SIFAT kalam Allah,ini berbeda dengan perkataan salaf:  

 

الصوت صوت القارئ ، والكلام كلام الباري

 

;Suara adalah suara yang membaca ,dan perkataan [kalam] adalah kalam Al bari [Allah]

 

maka sesungguhnya suara itu husus dengan perbuatan hamba dan tidak mencakup pada bacaan yang menjadi sebab adanya suara tersebut,berbeda dengan lafad sebagaimana di jelaskan sebelumnya,jika di maksud dengan lafad adalah sesuatu yg taaluq dgn yg dilafadkannya yakni alquran [dengan makna sifat Kalam Allah] dan meyakini bahwa itu di ciptakan maka ia adalah muktazilah karena kalam Allah tidak di ciptakan,tetapi jika maksudnya bahwa suara dan perkataanya itu mahluk,dan bukan apa yg di ucapkan dengannya yakni bukan yg taaluk dgn lafad tersebut [sifat kalam Allah] ,maka tidak apa apa,sebagaimana kita berkata:tinta mahluk yaitu sesuatu yg di pakai menulis alquran,suhuf mahluk,suara manusia itu mahluk,dan kita ketika berbicara itu mahluk,tetapi dengan keyakinan bahwa mutaaliq almalfudz; sesuatu yang taaluq dgn apa yg di baca dari alquran itu bukan mahluk,yaitu kalam Allah yg merupakan salah satu sifat daripada sifatNya. 

 

 

Dan oleh sebab itu Ad dzahabi membenarkan perkataan Al karobisi dan i’tidzar pada Imam Ahmad dengan perkataan beliau dakam siyar alam nubala 12/82:

 

 

ولا ريب أن ما ابتدعه الكرابيسي، وحرره في مسألة التلفظ، وأنه مخلوق هو حق، لكن أباه الامام أحمد لئلا يتذرع به إلى القول بخلق القرآن، فسد الباب، لانك لا تقدر أن تفرز التلفظ من الملفوظ الذي هو كلام الله إلا في ذهنك

 

:“Tidak diragukan, sesuatu bid’ah yang dilakukan Karabisi dan ditulisnya tentang masalah pelafalan Al-Qur’an dan menyatakan bahwa itu makhluk’ hal itu adalah benar, akan tetapi Al-Imam Ahmad menolaknya dengan alasan supaya tidak mengantarkan pada pendapat ”Al-Qur’an [sifat kalam Allah] makhluk,” Maka beliau (Al-Imam Ahmad) menutup pintu itu, karena engkau tidak dapat membedakan (kepada para pendengarmu) antara at-talaffuzh (perbuatanmu dalam melafazkan) dan al-malfuzh (yang di lafazkan) yaitu kalamullah kecuali hanya dalam benakmu sendiri.”

perkataan Imam dzahabi ini benar benar telah membuang kekeliruan dalam masalah ini…

 

 

kesimpulan:

Sesungguhnya ketika seseorang berkata:Pelafazan Alquran adalah mahluk /Alquran adalah mahluk,maka kita tanya:apakah yang di maksud oleh anda adalah perbuatan anda yg berupa gerakan lidah,bibir dan suara yg di dengar?? atau maksud anda adalah sesuatu yang taaluq dengan bacaan anda yakni sifat kalam Allah ??? jika maksudnya yang kedua, yaitu sifat kalam Allah,maka itu bukanlah mahluk. 

 

Maka sesungguhnya perkataan : Lafadz Alquran bukan mahluk dengan sikap menafikan atau menetapkannya”, itu tidak benar,Dan adapun dengan di rinci yaitu seandainya yang di maksud dengan lafad disana adalah talafud:melafadkannya yg merupakan perbuatan hamba,maka benar itu adalah mahluk,karena seorang hamba dan juga perbuatannya itu di ciptakan [mahluk],dan seandainya yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah sesuatu yg taaluq dengan lafad yg di bacanya yaitu Al quran [Kalam Allah] SEBAGAIMANA makna pertama “alquran”yg telah di sebutkan di atas,maka itu bukanlah mahluk,karena kalamNya adalah sifatNya dan sifatNya tidaklah di ciptakan [mahluk],nah rincian ini sesuai dengan isarah Imam Ahmad dalam perkataannya: 

 

من قال : لفظي بالقرآن مخلوق يريد به القرآن فهو جهمي “

 

:Barang siapa berkata:lafadku terhadap Alquran adalah Mahluk, maksudnya adalah Alquran maka ia adalah jahmi.

 

 

Maka perkataan beliau: “maksudnya adalah Alquran”, itu menunjukan bahwa jika seseorang mengatakan lafad Al quran adalah mahluk dan maksud dari perkataan tersebut adalah talafud;melafadkan tex alquran yang mana itu adalah perbuatan hamba,maka orang tersebut bukanlah jahmi…walllaohu a’lam.

 

AL-ASY’ARI MELALUI 7 FASE PEMIKIRAN AQIDAH


.

HATI-HATI KITAB ULAMA MADZHAB IMAM ASY-SYAFI’I DISELEWENGKAN OLEH SEKTE WAHABI ARAB SAUDI

Buku yang atas ini disusun atas selera Sekte Wahabi

Judul Buku : Abul Hasan Al-Asy’ari Imam yang terdzalimi
tebal : 246 Hal
Ukuran : 15,5 x 24

OOO==OOO

Camera 360Buku yang ini disusun atas selera dari para Khawarij

Detail Buku

51 Ijma’ Serat-serat Aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah

Penulis : Abul Hasan al Asy’ari; Muh. Dawam Sukardi;
Penerbit : Pustaka Azzam
Subjek : TAUHID/AQIDAH;
Bahasa : INDONESIA
Tahun : 2001
Fisik : 222 hal.; 21 cm.
No Panggil : KK 2X3 ASY s 2001

IMAM AL-ASY’ARI BERMADZHAB IMAM AHMAD BIN HAMBAL

PENERBIT BUKU INI ( DIATAS dan DIATASNYA LAGI ) ADALAH DIBAWAH KUASA ARAB SAUDI – ISINYA MENGIKUTI VERSI KERAJAAN ARAB SAUDI.

APABILA KITA BACA DAN DIFAHAMI , MAKA KITA TIDAK AKAN MARAH TERHADAP KELANCANGAN PARA PEMUKA SEKTE DARI ARAB SAUDI TELAH MENYELEWENGKAN SEJARAH ISLAM , TAPI MALAH  GELI DAN MENGGELIKAN ATAS KETOLOLAN NYA .

=

Supaya lebih semarak kisahnya

Bahwa sesungguhnya Imam al-Asy’ari ini dalam kehidupannya melalui 7 alam dalam menentukan warna Aqidahnya :

1. / Mengikuti Sekte Zamaksyari , karena tidak puas maka pindah  Sekte ke…

2. / Mengikuti Sekte Ibnu Taimiyah , karena tidak puas maka pindah  Sekte ke…

3. /Mengikuti Sekte Zahiriyah , karena tidak puas maka pindah  Sekte ke…

4./ Mengikuti Sekte Abdul Wahab , karena tidak puas maka pindah  Sekte ke…

5. / Mengikuti Sekte Free Masonri , karena tidak puas maka pindah  Sekte ke…

6. / Mengikuti Sekte Abduh , karena tidak puas maka pindah  Sekte ke…

7. / Sekarang Imam Al-Asy’ari lagi StandBy… , lagi tunggu Imam Abdul Wahab muncul lagi di arah matahari tenggelam ( nejed )…karena menurut kepercayaan , bahwa Abdul Wahab itu tidak mati ….tapi menghilang dan satu saat akan muncul kembali bersama dajjal.

Jadi sebenarnya Imam Ai-Asy’ari itu terakhir memilih Madzhabnya Abduh dan kemudian mempelajari kitab Suci Al-Manar Al-Masonry dan bergabung dengan  Sekte Wahhabi/Sekte Salafi.

OOO===OOO

SEJARAH IMAM AL-ASY’ARI YANG SEBENARNYA ADALAH MADZHAB IMAM SYAFI’I , DAPAT DIBACA PADA BUKU YANG DIBAWAH INI

Judul: Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Penerbit: Khalista
Penulis: Muhammad Idrus Ramli
Tebal: 312 halaman

“ Kalau memang Nahdlatul Ulama mengklaim Mengikuti madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah , mengapa mengikuti madzhab al-Asy’ari , kok tidak mengikuti madzhab ulama salaf yang saleh saja yang memang benar-benar Ahlussunnah Wal-Jama’ah ? ”

“Apakah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa madzhab al-Asy’ari itu Ahlussunnah Wal-Jama’ah atau al- firqah al-najiyah?”

“Mengapa Ahlussunnah Wal-Jama ‘ah hanya mewajibkan mengetahui sifat dua puluh yang wajib bagi Allah? Bukankah dalam al-Asma’al-Husna sendiri, nama-nama dan sifat-sifat Allah berjumlah sembilan puluh sembilan ?”

Tiga pertanyaan menggelitik itu datang pada penulis di forum Seminar.

Pertama, dari peserta yang tampaknya beraliran Salafi.

Kedua, walaupun lebih baik dari pertanyaan sebelumnya , namun juga menunjukkan bahwa pada saat ini, hal-hal yang sebenarnya dianggap sebagai ideologi dan keyakinan di kalangan masyarakat , ternyata seringkali digugat kebenarannya.

Ketiga , tampak semacam gugatan yang bernada filosofis.

Kalau pertanyaan-pertanyaan itu tidak segera dijawab akan memunculkan pertanyaan berantai.

Sebab, kesimpulan yang bisa ditangkap dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bahwa madzhab al-Asy’ari bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Madzhab al-Asy’ari tidak mengikuti ajaran ulama salaf yang saleh , dan pada gilirannya Nahdlatul Ulama bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Benarkah…?

Nah, dari berbagai pertanyaan itulah buku ini disusun oleh seorang aktivis Bahtsul Masa’il di lingkungan NU.

Di sini sarat akan kajian sejarah , metodologi , sistematika , profil tokoh -ahli tafsir , hadits , fiqih , teologi dan tashawwuf-, ulasan kitab , kesaksian dan pengakuan para ulama , serta dalil-dalil madzhab al-Asy’ari.

000==000

 http://www.anwarbadruzzaman.com/2013/05/benarkah-al-imam-abu-hasan-al-asyari.html

Oleh Abu Zahrah 

KhUSUS kepada mereka yang JUJUR ingin memahami tentang jawaban daripada tuduhan golongan Wahhabi mengenai al- Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari bertaubat dari manhaj yang disusun oleh beliau yang kita ketahui sekarang ini.

Kami sediakan artikel ini agar kekeliruan yang di cetuskan oleh golongan Wahhabi ini dapat di hindarkan.

Artikel ini perlu dibaca hingga tuntas, jika tidak, anda tidak akan faham. Baca perlahan-lahan dan jauhkan membaca dalam keadaan emosi.

Ada artikel yang tersebar di kalangan sebagian pakar, khususnya di kalangan golongan wahhabi yang mengatakan bahwa perjalanan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase dalam kehidupan beliau.

( Lihat Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya`irah, Abd al-Rahman bin Saleh al-Mahmud(1995),Maktabah al- Rusyd,Riyadh,hal. 378.)

  • Pertama: Fase ketika al Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari mengikuti pemahaman Muktazilah dan menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun.
  • Kedua: Fase di mana al Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari aliran Mu’tazilah dan merintis madzhab pemikiran teologis ( ilmu akidah ) dengan mengikuti mazhab Ibn Kullab.
  • Ketiga: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada madzhab yang dirintisnya yaitu mengikuti madzhab Ibn Kullab dan kembali kepada Ahl al-Sunnah Wa al Jama`ah yang mengikut manhaj Salaf al-Salih dengan mengarang sebuah kitab yang berjudul al Ibanah `an Usul al-Diyanah.

 

Berdasarkan hal ini , Sekte Wahhabi/Sekte Salafi membuat kesimpulan bahwa madzhab al-Asy`ari yang berkembang dan diikuti oleh majoritas kaum muslimin hingga saat ini adalah pemikiran al- Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari pada fase kedua yaitu mengikuti madzhab Ibn Kullab yang bukan dari pemahaman Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan telah dibuang oleh al-Imam al-Asy`ari , dengan kitab terakhir yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.

 

Oleh karena itu , menurut Sekte Wahhabi/Sekte Salafi madzhab al-Asy`ari yang ada sekarang sebenarnya mengikuti madzhab Ibn Kullab yang tidak mengikuti pemahaman Ahl al-Sunnah Wa al- Jama`ah dan tidak mengikuti madzhab al-Asy`ari pada fase ketiga yang asli yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

 

Inilah kenyataan daripada artikel yang direka oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi dan tuduhan   yang disebar secara menyeluruh oleh mereka pada dewasa ini.

Oleh karena hal itu, artikel yang dibuat oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi ini sudah tentu mempunyai banyak pendustaan mengenai fakta sejarah dan fakta ilmiah.

Sebelum kita mengkaji artikel di atas satu persatu, ada baiknya kita memperinci terlebih dahulu makna yang tersembunyi ( hidden meaning ) di balik artikel mereka itu. Apabila hal tersebut dikaji , ada tiga makna yang tersembunyi di balik artikel tersebut.

 

Pertama : Perkembangan pemikiran al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase di dalam kehidupannya,1.Mu’tazilah ,2. mengikuti madzhab Ibn Kullab dan terakhir beliau kembali kepada ajaran Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah. Ini adalah artikel pokok yang dipropagandakan oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi. Artikel ini mengandung dua artikel  .

 

Kedua : Abdullah bin Sa`id bin Kullab bukan pengikut Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah.

 

Ketiga : Kitab al-Ibanah `an Usul al- Diyanah merupakan fase terakhir dalam kehidupan al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari yaitu fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepangkuan ajaran Salaf al-Salih atau Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah.

 

SANGGAHAN/BANTAHAN.

 

Pertama,Pemikiran al Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase?

Benarkah pemikiran al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari melaui tiga peringkat perkembangan di dalam kehidupannya?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengamati dan mengkaji sejarah kehidupan al- Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang ditulis oleh para alim ulama’.

 

Al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari merupakan salah seorang tokoh kaum Muslimin yang sangat masyhur dan mempunyai fakta yang jelas.

 

Beliau bukan tokoh kontroversial dan bukan tokoh yang misteri yaitu perjalanan hidupnya tidak diketahui orang , lebih-lebih lagi berkaitan dengan hal yang amat penting seperti yang kita bicarakan ini.

 

Seandainya kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti kenyataan dalam artikel yang di reka oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi itu , menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari melalui tiga fasa perkembangan pemikiran , maka sudah tentu para sejarawan akan menyatakannya dan menjelaskannya di dalam buku- buku sejarah.

 

Maklumat mengenai ini juga sudah pasti akan masyhur dan tersebar luas sebagaimana fakta sejarah hanya menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari hanya bertaubat dan meninggalkan faham Mu’tazilah saja.

 

Semua sejarawan yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari hanya menyatakan kisah naiknya al-Imam Abu al- Hassan al- Asy`ari ke atas mimbar di masjid Jami`Kota Basrah dan berpidato dengan menyatakan bahwa beliau telah keluar daripada faham Mu’tazilah.

 

Di sini kita bertanya , adakah sejarawan yang menyatakan kisah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari pemahaman pemikiran Abdullah bin Sa`id bin Kullab…?…  Sudah tentu jawabannya , tidak ada.

 

Apabila kita menelaah atau meneliti buku-buku sejarah , kita tidak akan mendapatkan fakta atau maklumat yang mengatakan al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari bertaubat dari ajaran Ibn Kullab baik secara jelas maupun samar.

 

Oleh karena itu , maklumat atau fakta yang kita dapati ialah kesepakatan para sejarawan bahwa setelah al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari bertaubat daripada faham Mu’tazilah , beliau kembali kepada ajaran Salaf al-Salih seperti kitab al- Ibanah dan lain-lain yang ditulisnya dalam rangka membela madzhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

 

Al-Imam Abu Bakr bin Furak berkata : ” Syaikh Abu al-Hassan Ali bin Ismail al-Asy`ari radiyallahu`anhu berpindah daripada madzhab Mu’tazilah kepada madzhab Ahl al- Sunnah Wa al- Jama`ah dan membelanya dengan hujjah-hujjah rasional dan menulis karangan- karangan dalam hal tersebut…”

( Tabyin Kidzb al- Muftari, al-Hafiz Ibn Asakir (1347 H) tahqiq Muhammad Zahid al- Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 104 ).

 

Sejarawan terkemuka , al-Imam Syamsuddin Ibn Khallikan berkata : ” Abu al-Hassan al-Asy`ari adalah perintis pokok-pokok akidah dan berupaya membela madzhab Ahl al- Sunnah.

 

Pada mulanya Abu al- Hassan adalah seorang Mu’tazilah , kemudian beliau bertaubat dari pandangan tentang keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Quran di masjid Jami` Kota Basrah pada hari Jumaat “.

( Wafayat al -A’yan, al-Imam Ibn Khallikan, Dar Shadir,Beirut, ed. Ihsan Abbas, juz 3, hal. 284 ).

 

Sejarawan al-Hafiz adz-Dzahabi berkata : ” Kami mendapat informasi bahwa Abu al- Hassan adz-Asy`ari bertaubat dari faham Mu’tazilah dan naik ke mimbar di Masjid Jami’ Kota Basrah dengan berkata : Dulu aku berpendapat bahawa al-Quran itu makhluk dan…Sekarang aku bertaubat dan bermaksud membantah terhadap faham  Mu’tazilah “.

( Syiar A`lam al-Nubala, al- Hafidz adz- Dzahabi,Muassasah al-Risalah, Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, 1994, hal. 89).

 

Sejarawan terkemuka , Ibn Khaldun berkata : ” Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al- Asy`ari dan berdebat dengan Sebagian tokoh Mu’tazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka ( Mu’tazilah ) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab , Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harith al-Muhasibi daripada kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah “.

( Ibn Khaldum (2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, h. 853 ).

 

Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldum tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Mu’tazilah, beliau mengikuti madzhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf dan Ahl al- Sunnah Wa al Jama`ah.

 

Demikian juga, maklumat atau fakta sejarah yang dinyatakan di dalam buku- buku sejarah yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti : Tarikh Baghdad karya al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi , Tabaqat al- Syafi`iyyah al-Kubra karya al- Subki , Syadzarat al-Dzahab karya Ibn al-Imad al-Hanbali , al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn al-Atsir , Tabyin Kizb al-Muftari karya al-Hafiz Ibn Asakir , Tartib al-Madarik karya al- Hafiz al-Qadhi Iyadh , Tabaqat al-Syafi`iyyah karya al-Asnawi , al- Dibaj al-Muadzahhab karya Ibn Farhun , Mir`at al-Janan karya al- Yafi`I dan lain-lain ,  semunya sepakat bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham Mu’tazilah , beliau kembali kepada madzhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf.

 

Disamping itu , seandainya al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari ini melalui tiga peringkat aliran pemikiran , maka sudah tentu hal tersebut akan diketahui dan dikutip oleh murid-murid dan para pengikutnya karena mereka semua adalah orang yang paling dekat dengan al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari dan orang yang melakukan kajian tentang pemikiran dan sejarah perjalanan hidupnya.

 

Oleh karena  itu sudah semestinya mereka akan lebih mengetahui daripada orang lain yang bukan pengikutnya , lebih- lebih lagi melibatkan tokoh besar yaitu al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari yang pasti menjadi buah bibir pelajar dan para alim ulama’.

 

Maka dari itu jelaslah , bahwa ternyata selepas kita merujuk kepada kenyataan murid-murid dan para pengikut al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari , kita tidak akan menemui fakta sejarah yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan telah melalui tiga fasa pemikiran yang di dakwa oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi ????!!!.

 

Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan para pengikutnya bersepakat bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan beliau berpindah kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah seperti yang diikuti oleh al-Harith al-Muhasibi , Ibn Kullab , al Qalanisi , al-Karabisi dan lain-lain.

 

Apabila kita mengkaji karya-karya para alim ulama’ yang mengikuti dan pendukung madzhab al-Asy`ari seperti karya-karya yang dikarang oleh al-Qadhi Abu Bakar al- Baqillani , al-Syaikh Abu Bakr bin Furak , Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi , Abu Ishaq al-Syirazi , al-Hafiz al-Baihaqi dan lain-lain.

 

Kita semua tidak akan menemukan satu fakta pun yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari meninggalkan madzhab yang dihidupkan kembali olehnya yaitu Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah , sehingga tidak rasional apabila Sekte Wahhabi/Sekte Salafi dakwaan mengatakan al-Imam Abu al- Hassan al- Asy`ari telah meninggalkan madzhabnya tanpa diketahui oleh para murid- muridnya dan pendukungnya.

 

APAKAH WAHABI YG SALAH MENGARTIKAN AQIDAH SALAF ATAU MAYORITAS ULAMA YG KETEMU SALAF LANGSUNG YG SALAH MEMAHAMI PENDAPAT 2 SALAF?? …(  inilah ketololan Sekte Wahhabi/Sekte Salafi ).

 

Tapi Yang nyata ( menurut mereka ) , bahwa seluruh ulama salaf yang ingin selamat , wajib mengikuti aqidahnya Ibnu Taimiyah sesuai dengan sejarah Sekte Wahhabi/Sekte Salafi.

 

Ini adalah kenyataan yang tidak masuk akal dan dusta sama sekali yang jauh dari kebenaran.

 

Sekte Wahhabi/Sekte Salafi menyatakan bahwa al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari meninggalkan madzhab yang dirintiskan olehnya bersandarkan metodologi al- Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitabnya al- Ibanah `an Usul al-Diyanah dan sebagian kitab-kitab lainnya yang mengikuti metodologi tafwidh berkaitan sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dan al-Sunnah.

 

Metodologi tafwidh ini adalah metodologi majoriti ulama’- ulama’ Salaf al-Salih.

 

Berdasarkan hal ini , al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dianggap menyalahi atau meninggalkan metodologi Ibn Kullab yang tidak mengikuti metodologi salaf sebagaimana yang di tuduhkan oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi ini.

 

Dari sini lahirlah sebuah pertanyaan, apakah isi kitab al- Ibanah yang di klaim sebagai madzhab Salaf bertentangan dengan metodologi Ibn Kullab , atau dengan kata lain , adakah Ibn Kullab bukan pengikut madzhab Salaf seperti yang ditulis oleh al- Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah…???…

 

Pertanyaan di atas membawa kepada kita untuk mengkaji kenyataan berikutnya.

 

KEDUA,

IBN KULLAB BUKAN ULAMA’ SALAF DAN AHL AL- SUNNAH WA AL- JAMA`AH …???…

 

Setelah al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari meninggalkan faham Muktazilah , dia mengikuti metodologi Abdullah bin Sa`id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi.

 

Artikel tersebut telah menjadi kesepakatan bagi kita dengan kelompok yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase tetapi mereka berbeda dengan kita , karena kita mengatakan bahwa metodologi Ibn Kullab sebenarnya sama dengan metodologi Salaf , karena Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan tokoh ulama’ Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf.

 

Hal ini bisa dilihat dengan memperhatikan pernyataan para pakar berikut ini.

Al-Imam Tajuddin al-Subki telah berkata : Bagaimanapun Ibn Kullab termasuk Ahl al Sunnah… Aku melihat al-Imam Dhiyauddin al- Khatib ,  ayah al-Imam Fakhruddin al-Razi , menyebutkan Abdullah bin Said bin Kullab di dalam akhir kitabnya Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam , berkata :  Di antara teologi Ahl al-Sunnah pada masa khalifah al-Makmun adalah Abdullah bin Said al-Tamimi yang telah mengalahkan Mu’tazilah di dalam majlis al-Makmun dan memalukan mereka dengan hujjah-hujjahnya

( Al-Subki (t.t), Tabaqat al-Syafi`eyyah al-Kubra, Dar Ihya’ al-Kutub, Beirut, ed Abdul Fattah Muhammad dan Mahmud al-Tanahi, juz 2, hal. 300 ).

 

Al-Hafiz Ibn Asakir alDimasyqi telah berkata : Aku pernah membaca tulisan Ali ibn Baqa’ al- Warraq , ahli hadith dari Mesir ,  berupa risalah yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Abi Zaid al-Qairawani ,  seorang ahli fiqih madzhab al-Maliki.

 

Dia adalah seorang tokoh terkemuka madzhab al-Imam Malik di Maghrib ( Moroko pen ) pada zamannya.

 

Risalah itu ditujukan kepada Ali ibn Ahmad ibn Ismail al- Baghdadi al- Mu’tazili sebagai jawapan terhadap risalah yang ditulisnya kepada kalangan pengikut madzhab Maliki di Qairawan karena telah memasukkan pandangan-pandangan Muktazilah.

 

Risalah tersebut sangat panjang sekali , dan sebagian jawaban yang ditulis oleh Ibn Abi Zaid kepada ali bin Ahmad adalah sebagaimana berikut :  ” Engkau telah menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah ,  padahal engkau tidak pernah menceritakan suatu pendapat dari Ibn Kullab yang membuktikan dia memang layak disebut ahli bid`ah.

Dan kami sama sekali tidak mengetahui adanya orang ( ulama’- pen ) yang menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah.

Justru maklumat yang kami terima , Ibn Kullab adalah pengikut sunnah ( ahl al- Sunnah pen ) yang melakukan bantahan terhadap Jahmiyyah dan pengikut ahli bid`ah lainnya , dia adalah Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab ( al- Qaththan, wafat 240H pen ).

( Tabyin Kidzb al-Muftari oleh al- Hafiz Ibn Asakir ( 1347 H ) tahqiq Muhammad Zahid al- Kautsari,Maktabah al- Azhariyyah li at- Turats, cet.1, 1420 H, hal 298 299 ).

 

Data sejarah yang disampaikan oleh al-Hafiz Ibn Asakir di atas memuatkan kesaksian yang sangat penting dari ulama’ sekaliber al-Imam Ibn Abi Zaid al-Qairawani terhadap Ibn Kullab , bahawa ia termasuk pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan bukan pengikut ahli bid`ah.

 

Al-Hafiz adz-Dzahabi telah berkata : Ibn Kullab adalah seorang tokoh ahli kalam ( teologi – ilmu berkenaan dengan ketuhanan ) daerah Bashrah pada zamannya .

Selanjutnya adz- Dzahabi berkata : Ibn Kullab adalah ahli kalam yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu’tazilah pen).

Ia mempunyai karya diantaranya al-Shifat , Khalq al-Af’al dan al-Radd ala al- Mu’tazilah.

(Lihat Siyar A’lam al- Nubala , Maktabah al-Shafa , cet.1, 1424 H, juz 7, hal 453).

 

Di dalam kitab Siyar A’lam an- Nubala yang ditahqiqkan oleh Syeikh Syuaib al-Arnauth , pernyataan adz- Dzahabi tersebut dipertegas oleh al-Syeikh Syuaib al- Arnauth dengan komentarnya mengatakan : Ibn Kullab adalah pemimpin dan rujukan Ahl al- Sunnah pada masanya . Al-Imam al-Haramain menyebutkan di dalam kitabnya al-Irsyad bahwa dia termasuk sahabat kami ( madzhab al- Asy`ari).

(Siyar A’lam an-Nubala cetakan Muassasah al- Risalah (1994), Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, juz 11, hal. 175).

 

Demikian pula al-Hafiz Ibn Hajar al- `Asqalani menyatakan bahwa Ibn Kullab sebagai pengikut Salaf dalam hal meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat yang berkaitan dengan sifat Allah. Mereka juga disebut dengan golongan mufawwidhah ( yang melakukan tafwidh ).

( Ibn Hajar al- `Asqalani (t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291 ).

 

Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa al-Imam Ibn Kullab termasuk dalam kalangan ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al- Jama`ah dan konsisten dengan metodologi Salaf al- Salih dalam pokok-pokok akidah dan keimanan . Mazhabnya menjadi inspirasi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari ( perintis mazhab al- Asy`ari ).

 

Di sini mungkin ada yang bertanya apakah metodologi Ibn Kullah hanya diikuti oleh al-Imam al- Asy`ari …???…

 

Jawabannya adalah tidak.

 

Metodologi Ibn Kullab tidak hanya diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari saja , akan tetapi diikuti juga oleh ulama’ besar seperti al-Imam al-Bukhariyaitu pengarang Sahih al-Bukhari , kitab hadits yang menduduki peringkat terbaik dalam segi kesahihannya.

 

Dala konteks ini , al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani telah berkata :  ” Al-Bukhari dalam semua yang disajikannya berkaitan dengan penafsiran lafaz-lafaz yang gharib ( aneh ) , mengutipnya dari pakar- pakar bidang tersebut seperti Abu Ubaidah , al-Nahzar bin Syumail , al-Farra’ dan lain-lain.

Adapun kajian-kajian fiqh , sebagian besar diambilnya dari al-Syafi’i , Abu Ubaid dan semuanya. Sedangkan permasalahan-permasalahan teologi ( ilmu kalam ) , sebagian besar diambilnya dari al-Karrabisi , Ibn Kullab dan sesamanya ” .

( Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t), Syarh Sahih al-Bukhari ,Salafiyyah,  Cairo , juz 1,hal. 293 ).

 

Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al- `Asqalani tersebut menyimpulkan bahwa al- Imam Abdullah bin Said bin Kullab adalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi ulama’ Salaf ,  oleh karena itu dia juga diikuti oleh al- Imam al-Bukhari , Abu al-Hassan al- Asy`ari dan lain-lain.

 

Di sini mungkin ada yang bertanya , apabila Ibn Kullab termasuk salah seorang tokoh ulama’ Salaf dan mengikuti Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah , beliau ( Ibn Kullab ) juga diikuti oleh banyak ulama’ seperti al-Imam al-Bukhari dan lain- lain , lalu mengapa Ibn Kullab dituduh menyimpang dari metodologi Salaf atau Ahl al- Sunnah Wa al-Jama`ah…??…

 

ATAU WAHABI YG TDK TAU MAKSUD UCAPAN SALAF? MANA PENGAKUAN PARA ULAMA TRHADAP FMAHAMAN WAHABI??

 

Hal tersebut sebenarnya datang daripada satu persoalan , yaitu tentang pendapat apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk atau tidak.

 

Al- Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya berpandangan untuk tidak menetapkan apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran itu makhluk atau bukan.

 

Menurut al-Imam Ahmad bin Hanbal , pandangan bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk adalah bid`ah.

 

Sementara al-Karabisi , Ibn Kullab , al-Muhasibi , al-Qalanisi , al-Bukhari , Muslim dan lain-lain berpandangan tegas , bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran adalah makhluk.

 

Berangkat dari perbedaan pandangan tersebut akhirnya kelompok al-Imam Ahmad bin Hanbal menganggap kelompok Ibn Kullab termasuk ahli bid`ah , meskipun sebenarnya kebenaran dalam hal tersebut berada di pihak Ibn Kullab dan kelompoknya.

 

Dalam konteks ini al-Hafiz adz- Dzahabi telah berkata : ” Tidak diragukan lagi bahwa pandangan yang dibuat dan ditegaskan oleh al-Karabisi tentang masalah pelafazan al- Quran ( oleh pembacanya ) dan bahwa hal itu adalah makhluk , adalah pendapat yang benar . Akan tetapi al-Imam Ahmad enggan membicarakannya karena khuatir membawa kepada pandangan kemakhlukan al-Quran .  Sehingga al-Imam Ahmad lebih cenderung menutup pintu tersebut rapat- rapat ” .

( Al-Dzahabi (1994), Siyar A`lam al- Nubala, Muassasah al- Risalah, Beirut, ed, Syuaib al- Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 11, hal. 510 ).

 

Lebih jelas baca di Meluruskan keslahfahaman perkataan alquran bukan mahluk

 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Kullab bukanlah ulama’ yang menyimpang dari metodologi Salaf yang mengikuti fahaman Ahl al-Sunnah Wa al Jama`ah , sehingga madzhabnya juga diikuti oleh al-Imam al Bukhari , al-Asy`ari dan lain- lain.

 

Sekarang apabila demikian adanya , dari mana asal- usul pendapat bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan madzhab dan pendapat-pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab ..?..

 

Pertanyaan ini mengajak kita untuk mengkaji artikel yang terakhir berikut ini.

 

KETIGA,

KITAB AL-IBANAH AN USUL AL-DIYANAH

 

Kitab al-Ibanah `an Usul al- Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari melalui tiga fasa perkembangan di dalam kehidupannya.

 

Memang harus diakui , bahwa al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya.

 

Di dalam kitab al-Ibanah , al-Imam Abu al-Hassan al Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh makna yang diikuti oleh majoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat.

 

Berdasarkan hal ini , sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan madzhabnya yang kedua yaitu madzhab Ibn Kullab ,  dan kini beralih kepada metodologi Salaf.

 

Di atas telah kami paparkan , bahwa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf.

 

Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan.

 

HANYA SAJA Sekte Wahhabi/Sekte Salafi TIDAK MEMAHAMI MAKSUD TAFWID!!  karena telah terikat oleh faham Ibnu Taimiyah , ATAU MEREKA LEBIH TAHU METODE SALAF DARIPADA ULAMA YG KETEMU LANGSUNG DENGAN SALAF??

 

Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan klaim yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf , kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.

 

Oleh sebab itu , bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab…?…

 

Di sini , dapatlah kita ketahui bahwa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan Sekte Wahhabi/Sekte Salafi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab , kerana kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti metodologi Ibn Kullab , sehingga tidak mungkin dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut.

 

Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab , kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu : ” Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al- Ibanah”.

(Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t.) , Lisan al-Mizan , Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291).

 

Pernayataan al-Hafiz Ibn Hajar al- `Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’mereka , karena kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf , juga mengikuti metodologi Ibn Kullab.

 

Hal ini membawa kepada kesimpulan bahwa metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA , dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.

 

Dengan demikian , kenyataan al- Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan dakwaan Sekte Wahhabi/Sekte Salafi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan.

 

Bahkan kenyataan tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase perkembangan saja yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenar sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab , al-Muhasibi , al-Qalanisi , al- Karabisi , al-Bukhari , Muslim , Abu Tsaur , al-Tabari dan lain-lain.

 

Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.

 

Dalil lain yang menguatkan lagi bahawa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah , karena al- Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al- Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta , mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari.

 

Di dalam hal ini , al-Hafiz adz-Dzahabi telah berkata :  ” Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad , dia mendatangi Abu Muhammad al Barbahari berkata : ” Aku telah membantah al Jubba’i . Aku telah membantah Majusi . Aku telah membantah Kristian “ . Abu Muhammad menjawab , ” Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad “.

Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab al-Ibanah .

Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari ” .

(Al-Dzahabi (1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed,Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372;Ibn Abi Ya’la al-Farra’(t.t.) Tabaqat al- Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18).

 

Fakta sejarah di atas menyimpulkan , bahwa al- Barbahari dari sebagian kelompok Hanabilah tidak menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari.

 

Kemudian al- Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari , ternyata ditolaknya juga.

 

Hal ini menjadi bukti bahwa al- Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al- Asy`ari tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi…. AYO ADA APA YA????

 

Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.

 

Perlu diketahui pula , bahwa sebelum fase al-Imam Abu al- Hassan al-Asy`ari , kelompok Hanabilah yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn Kullab , al-Bukhari , Muslim , Abu Tsaur , ath-Thabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL- QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.

 

Sekarang , apabila kitab al- Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab , lalu bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa bahwa al- Asy`ari telah membuang madzhabnya?

 

Berdasarkan kajian yang mendalam , para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh dengan tahrif/ distoris , pengurangan dan penambahan.

 

Terutama kitab al- Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh Sekte Wahhabi/Sekte Salafi !!! Dan untuk lebih panjang lebar tentang penjelasan ini , baca dalam risalah yang berbahasa arab , nama risalahnya adalah شبهة الأطوار الثلاثة لأبى الحسن الأشعرى التي يروج لها الوهابية  dan bisa di download di 4shared ana,klik:  شبهة

00-00

Al-Quran – Makhluk

http://www.anwarbadruzzaman.com/2013/04/meluruskan-kesalah-fahaman-ungkapanal.html

000==000